Sabtu, 01 Oktober 2011

Sejarah Perkembangan Konsep Sufi, Tasawuf, dan Tarekat


Pengantar:
            Sufi, tasawuf dan tarekat merupakan konsep-konsep yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, saling melengkapi, atau bahkan merupakan suatu rangkaian istilah yang memiliki kontinuitas. Hampir setiap orang pernah mendengar istilah sufi, tasawuf, dan tarekat. Namun belum tentu setiap orang memahami betul pengertian konsep-konsep tersebut. Ketiga konsep tersebut dapat dikatakan serupa tapi tak sama. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ketiga konsep tersebut yang dijelaskan berdasarkan telaah historis, yaitu sejarah perkembangan istilah sufi, tasawuf dan tarekat dalam beberapa kurun waktu (abad). 
Sejarah Perkembangan Konsep Sufi, Tasawuf dan Tarekat
Pada abad pertama Hijriah istilah tasawuf atau sufi belum dikenal. Pada masa itu yang dikenal adalah istilah-istilah seperti nussak, zuhhad, dan ubbad yang merupakan pola hidup yang ditampilkan oleh para sahabat Rasulullah saw dan tabi’in (generasi setelah sahabat Rasulullah saw). Nussak merupakan bentuk jamak (banyak) dari Nasik yang berarti orang-orang yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah. Zuhhad merupakan bentuk jamak dari Zahid. Kata Zahid diambil dari kata Zuhd yang secara bahasa berarti ‘tidak ingin’, tetapi secara istilah dimaknai sebagai orang-orang yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi. Adapun ubbad merupakan kata jamak dari Abid yang berarti orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah swt (Solihin, 2003: 14-15). Namun istilah zuhhad, lebih dikenal daripada istilah nussak dan ubbad. Konsep zuhhad (kata kerja: zuhud) seringkali digunakan untuk menyebut kesalehan asketis, yaitu ketaatan melalui kesederhanaan yang di dalamnya juga mencakup atau mewakili unsur nussak dan ubbad. 
Secara etimologis zuhud berasal dari kata zahaada yang berarti ‘menahan diri’. Dalam tasawuf ‘menahan diri’ (zuhud) merujuk pada menahan diri dari sesuatu yang hukum aslinya dalam ajaran Islam adalah mubah (boleh) (Bagir, 2006: 107). Menurut Rahman (Rahman, 1984: 190) pada abad pertama dan kedua hijriah kata zuhhad digunakan untuk menyebut ‘kaum pertapa’ yang merupakan cikal bakal kaum sufi.
Menurut Al Taftazani (Al-Taftazani, 2008: 67) zuhud dalam Islam bukan sebuah bentuk kerahiban atau memutuskan diri dari dunia. Zuhud dalam Islam merupakan sebuah nilai yang dilaksanakan oleh manusia, yang menjadikan pelakunya mempunyai pandangan tersendiri terhadap kehidupan dunia, melaksanakan kehidupan dunia, namun tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai penguasa di dalam hati. Kehidupan dunia tidak mampu memalingkan seorang zahid (pelaku zuhud) dari Tuhannya. Namun menurut Bagir zuhud seringkali diidentikan dengan asketisme. Asketisme merupakan suatu sikap biarawan atau rahib-rahib yang menghindari kehidupan dunia guna menyucikan diri agar dapat bertemu dengan Tuhan. Konsep zuhud yang diidentikan dengan asketisme seringkali dibarengi dengan faqr (kefakiran) yang secara praktis dilakukan dengan menjalani hidup sederhana bahkan serba kekurangan (Bagir, 2006: 105-106).
Terdapat dua pendapat yang berbeda dalam memandang zuhud, sebagian memandang zuhud sebagai penolakan secara mutlak terhadap kehidupan dunia, sebagian lain memandang zuhud cukup dengan tidak terikat dengan kahidupan dunia. Terlepas dari perdebatan tersebut, zuhud secara umum dapat diartikan sebagai kesalehan asketis, yaitu suatu kesalehan (ketaatan pada agama) yang dilakukan dengan menjalani hidup sederhana.
Pola hidup zuhud sangat dianjurkan bagi pelaku tasawuf karena kalangan sufi berkeyakinan bahwa manusia cenderung terlalu menikmati hal-hal keduniaan yang mubah (sesuatu yang diperbolehkan dalam ajaran Islam) sehingga khawatir manusia akan terjerumus kedalam sikap berlebihan (Bagir, 2006: 107-109). Zuhud dilakukan agar manusia tidak berlebihan dalam menikmati sesuatu karena sikap berlebihan dikhawatirkan membuat manusia terlena dengan kehidupan dunia dan melupakan kehidupan akhirat (ibadah).
Pada abad kedua Hijriah muncul istilah sufi. Istilah sufi pertama kali digunakan oleh seorang zahid (pelaku zuhud) yang berasal dari Syiria (Suriah) bernama Abu Hasyim (wafat 780 M / 148 H) (Solihin, 2003: 15). Sufisme dapat dideskripsikan sebagai interiorisasi (proses pendalaman) dan intensifikasi (kegiatan sungguh-sungguh) dari keyakinan dan praktik Islam. Kata shufi memiliki makna asli seseorang yang menggunakan busana dari wol. Pada abad kedelapan (masehi / 1 H) kata tersebut kadang-kadang diterapkan terhadap muslim yang kecenderungan asketisnya mendorong mereka untuk mengenakan pakaian wol yang kasar dan tidak nyaman (Esposito, 2001 [V]: 206). Pemakaian pakaian kasar yang terbuat dari wol merupakan tanda kepertapaan dan penolakan terhadap dunia (Rahman, 1984: 190).
Etimologi-etimologi lain dikemukakan oleh penulis-penulis Islam yang ada kemudian, seperti kata ‘sufi’ berasal dari kata shafa yang berarti menjadi murni atau dari kata shuffah yang bermakna bagian yang ditinggikan pada masjid Nabi (Nabawi) di Madinah yang biasa digunakan oleh orang-orang miskin untuk duduk-duduk dan melakukan peribadatan (Rahman, 1984: 190). Secara bertahap istilah sufi merujuk pada suatu kelompok yang membedakan diri dari orang lain dengan cara menekankan ajaran-ajaran dan praktik-praktik khusus tertentu dari Al Qur’an dan Sunnah (Esposito, 2001 [V]: 206).
 Cara hidup sufi yang telah dikenal umum sebagai jenis kehidupan perlahan-lahan menggantikan istilah-sitilah terdahulu seperti zuhhad, nussak, dan ubbad (Rahman, 1984: 190). Fase asketisme (zuhud) setidaknya sampai pada abad dua hijriah dan memasuki abad tiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit (nyata) dari asketisme Islam (zuhud) ke sufisme (Siregar, 2002: 36). Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh sufi. Pada tahap ini ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada pola hidup zuhud. Para sufi pada tahap ini mulai memperkenalkan disiplin dan metode untuk menjadi sufi (sufisme) (Bagir, 2006: 100).
Pada abad ke-9 M (3 H) isim masdar (gerund) dari kata sufi, yaitu tasawuf, yang secara harfiah berarti ‘menjadi sufi’ atau ‘sufisme’, diadopsi oleh wakil-wakil kelompok (para tokoh) sufi sebagai penamaan yang tepat (Eposito, 2001 [V]: 206). Selanjutnya sufi lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Tasawuf dalam pengertian ini adalah sebutan untuk tata cata (proses) menjadi sufi.
Tasawuf merupakan salah satu tipe mistisisme dalam Islam yang juga dikenal dengan sebutan sufi. Namun istilah sufi seringkali merujuk pada orang atau pelaku tasawuf (Siregar, 2002: 31). Tasawuf merupakan sebutan untuk mistik (mistisisme) Islam. Mistik berasal dari kata Yunani myein yang berarti menutup mata. Pada perkembangan selanjutnya, kata mistik mengandung arti sesuatu yang misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik seringkali merujuk pada “arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama”. Secara luas mistik didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal dan cinta kepada yang Mutlak (Schimmel, 2000: 1-2).
Menurut Al-Taftazani (Al-Taftazani, 2008: 1) tasawuf secara umum merupakan filsafat kehidupan dan jalan tertentu dalam berperilaku yang digunakan oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan akhlak, spiritual yang hakiki, dan sekaligus kebahagiaan rohani. Menurut Hamka (1952: 18) hidup kerohanian (tasawuf) ialah perjuangan manusia melawan hawa nafsu yang ada pada dirinya sendiri dalam rangka mencapai kesempurnaan sehingga manusia dapat menjadi Insan Kamil.
Pada dasarnya tasawuf adalah upaya yang dilakukan oleh para pelakunya untuk mengembangkan suatu tahapan disiplin (riyadhah) secara spiritual, psikologis, keilmuan dan jasmaniah yang dipercaya sebagai proses penyucian jiwa atau hati (Bagir, 2006: 92-93).
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thariqat yang berarti jalan (Effendy, 2001 [VI]: 112). Tarekat merupakan jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yang ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan (Sujuthi, 2001: 6). Tarekat dalam pengertian ini adalah sebuah tahapan dalam ilmu tasawuf yang harus dilalui oleh seorang sufi.
Pada perkembangan Islam berikutnya, pola hubungan spiritual dalam dunia tasawuf semakin tersebar dan dikenal di berbagai belahan dunia Islam. Keadaan ini membuat tasawuf menjadi terlembagakan menjadi organisasi sufi atau biasa dikenal dengan sebutan tarekat (Fathurahman, 2008: 25). Tarekat pada pengertian ini adalah organisasi sufi atau tasawuf, yaitu suatu perkumpulan para sufi yang secara bersama-sama mempelajari dan mempraktikan ilmu tasawuf.
Mochtar Effendy (2001[VI]: 112) menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga pengertian (definisi) yang merupakan definisi kata tarekat. Pengertian tarekat yang pertama bersifat teknis, yaitu sebagai sebutan untuk metode (cara) mengajarkan tasawuf. Pengertian tarekat yang kedua ialah sebagai sebutan bagi suatu organisasi yang terdiri dari kumpulan orang yang melatih diri dan menjalani hidup secara khusuk (sungguh-sungguh) untuk lebih mendekatkan (taqarrub) kepada Tuhan. Pengertian ketiga dari tarekat adalah suatu kelompok keagamaan yang merupakan bagian dari suatu agama tertentu (Islam, Kristen, dan lain-lain). Tarekat dalam pengertian yang ketiga ini dianggap sebagai sinonim dari istilah ordo di kalangan Kristen di Eropa. Ordo yaitu perserikatan orang-orang pria dan wanita yang mengikrarkan kaul “kemiskinan”, kemurnian dan ketaatan hidup rukun dibawah pimpinan seorang kepala, menurut suatu aturan hidup tertentu yang disahkan oleh Pusat Gereja.
Akhirnya kata “tarekat” bagi sufi masa terakhir (pasca abad ke-7 H) diartikan sebagai sekumpulan sufi yang bergabung dengan seorang syaikh (ilmu tasawuf) tertentu, tunduk pada aturan-aturan yang terperinci dalam tindakan spiritual, hidup secara berkelompok di dalam ruang-ruang peribadatan, atau berkumpul secara berkeliling dalam situasi tertentu, serta membentuk majelis-majelis ilmu dan zikir secara bersama-sama (terorganisir) (Al-Taftazani, 2008: 294).
Daftar Referensi
Al-Taftazani, Abu Wafa’ Al Ghanimi. (2008). Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Bagir, Haidar. (2006). Buku Saku Tasawuf. Bandung: Mizan.
Effendy, Mochtar. (2001). Ensiklopedi Agama dan Filsafat Buku 6. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Eposito, John L. (2001[V]). Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern Jilid 5. Bandung: Mizan.
Fathurahman, Oman. (2008). Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group.
Hamka. (1980). Tasauf Perkembangan dan dan Pemurniannya. Jakarta: Nurul Islam.
Rahman, Fazlur. (1984). Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Schimmel, Annemarie. (2000). Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Siregar, H.A. Rivay. (2002). Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: Rajawalipers.
Solihin, M. (2003). Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung: Pustaka Setia.
_________. (2005). Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa.
Sujuthi, Mahmud. (2001). Politik Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Jombang. Yogyakarta: Galang Press. 
Al Jiwantaqi Aden

Tidak ada komentar:

Posting Komentar