Kamis, 13 Oktober 2011

10 Soal-Jawab


DEFINISI POLITIK
DEFINISI KHILAFAH DAN KHALIFAH
DARUL ISLAM DAN DARUL KUFUR
KAFIR HARBI, KAFIR MUSTA’MIN DAN AHLU DZIMMAH
 JIZYAH DAN DZIMMAH
WAJIB MENERAPKAN HUKUM ISLAM PADA ORANG KAFIR
KEBERADAAN KEDUTAAN BESAR NEGARA-NEGARA KAFIR
DIALOG ANTAR AGAMA
MAKNA BAHASA, ISTILAH DAN SYAR’I
SIKAP ISLAM TERHADAP IDE NASIONALISME


DEFINISI POLITIK

Banyak orang menganggap politik itu kotor. Benarkah demikian? Sebenarnya apa sih yang dinamakan dengan politik? Lalu, apakah kita –kaum Muslim- harus menjauhinya atau terjun di dalamnya?

                Politik adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, mencakup urusan mereka di dalam maupun di luar negeri. Aktivitas politik diselenggarakan oleh negara dan rakyat. Negara merupakan institusi yang secara langsung melakukan pengaturan urusan rakyat, sedangkan rakyat berfungsi mengontrol negara.
                Definisi bersandar kepada fakta (kenyataan) yang ada tentang politik. Disamping itu, definisi tersebut juga sesuai dengan arti menurut bahasa. Di dalam bahasa Arab, politik atau yang biasa dikenal dengan kata siyâsah, berasal dari kata: sâsa, yasûsu, siyâsah; maknanya berarti mengatur urusan rakyat. Di dalam kamus al-Muhith1 dinyatakan: sustu ar-ra’iyah siyâsah (saya mengatur urusan rakyat dengan suatu peraturan): amartuhâ wa nahaituha. Artinya, saya mengatur/memelihara urusan rakyat dengan perintah dan larangan. Definisi itu juga diperoleh dari hadits-hadits yang menggambarkan mengenai aktivitas para penguasa, muhasabah (kritik) yang dilakukan rakyat terhadap para penguasa, maupun kepedulian terhadap hal-hal yang menyangkut kemaslahatan kaum Muslim.
                Telah diriwayatkan dari Abi Hazim, yang berkata: ‘Aku telah tinggal bersama-sama dengan Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits dari Rasulullah saw yang bersabda:

«كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء ، كلما هلك نبي خلفه نبي ، وأنه لا نبي بعدي ، وستكون خلفاء فتكثر ، قالوا : فما تأمرنا ؟ قال : فوا ببيعة الأول فالأول ، وأعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم»

Dahulu, urusannya bani Israil diatur oleh para Nabi. Setiap kali Nabi tersebut meninggal (binasa) seketika digantikan oleh Nabi lainnya. Sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku. Dan kelak (sepeninggalku yang mengatur/memelihara) adalah para Khulafa yang jumlah mereka itu banyak. Ditanyakan (oleh para sahabat): ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Dijawab: ‘Bai’atlah (Khalifah) yang pertama dan yang pertama. Dan serahkanlah kepada mereka hak-hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang menjadi urusan (dan tanggung jawab) mereka’. (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah saw lainnya:

«ما من عبد يسترعيه الله رعية لم يحطها بنصيحة إلا لم يجد رائحة الجنة»
Tidaklah seorang hamba yang Allah serahkan kepadanya urusan kaum Muslim, kemudian ia tidak mengaturnya dengan nasehat, kecuali tidak akan mencium bau surga. (HR. Muslim)

«ما من والٍ يلي رعية من المسلمين فيموت وهو غاش لهم إلا حرم الله عليه الجنة»
Tidaklah seorang wali (penguasa) yang memerintah kaum Muslim, lalu ia mati sementara ia mengabaikan urusan kaum Muslim, kecuali Allah mengharamkan kepadanya surga. (HR. Bukhari)

«ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون، فمن عرف فقد برئ ومن أنكر فقد سلم إلا من رضي وتابع»
Akan ada para pemimpin (umara) yang kalian kenali (kemudian kalian taati) dan (ada pula yang kemudian) kalian ingkari. Barangsiapa yang mengetahuinya, maka ia terlepas, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia selamat. Kecuali orang yang meridhai dan mengikutinya (mereka tidak selamat). (HR. Muslim dan Tirmidzi)

«من أصبح وهمه غير الله فليس من الله، ومن أصبح لا يهتم بالمسلمين فليس منهم»

Barangsiapa yang (bangun) pagi-pagi sementara dia tidak memikirkan (mempedulikan) urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk ke dalam golongan mereka. (HR. Hakim)

Dari Jarir bin Abdullah berkata:

«بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقامة الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم»

Aku membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta untuk menasehati setiap Muslim. (HR. Muttafaq ‘alaihi)

                Hadits-hadits tersebut diatas, baik yang berkitan dengan para penguasa yang mengendalikan pemerintahan, atau pun yang berkait dengan umat sebagai pihak yang melakukan koreksi terhadap para penguasa, atau juga yang berkait dengan kaum Muslim satu dengan lainnya yang harus peduli terhadap kemaslahatan kaum Muslim dan untuk saling nasehat menasehati; semua itu menjadi sumber istinbath (penggalian hukum) mengenai definisi politik (siyasah) yang bermakna pengaturan/pemeliharaan urusan umat. Dengan demikian definisi tentang siyâsah dapat digolongkan sebagai definisi yang syar’i, karena diistinbath dari dalil-dalil syara, disamping memiliki implikasi hukum terhadap penguasa Muslim maupun kaum Muslim.
                Berdasarkan definisi itu pula kita bisa menyatakan bahwa kotor atau tidaknya politik itu sangat ditentukan oleh ideologi dan peraturan yang menjadi rambu-rambu di dalam politik (yaitu di dalam pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan rakyat). Apabila ideologi dan peraturan yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu kehidupan berpolitik itu adalah ideologi dan peraturan kapitalis sekular, maka itulah kenyataan yang saat ini dipraktekkan oleh para penguasa di negara-negara Barat, dan diikuti oleh para penguasa muslim. Jika Islam dijadikan sebagai ideologi dan dasar kehidupan bermasyarakat/bernegara dan syariat Islam dijadikan sebagai sistem hukumnya, maka hadits-hadits Nabi saw diatas itulah gambaran pelaksanaannya.
                Sejak runtuhnya negara Khilafah Islam dan dipaksakannya sistem hukum dan sistem politik kufur di negeri-negeri Islam, warna politik Islam telah sirna. Pemikiran politik Barat yang bersumber dari akidah (ideologi) kapitalisme sekular telah menempati posisi yang sebelumnya di duduki oleh pemikiran politik Islam. Kaum Muslim mesti menyadari bahwa pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan kaum Muslim dengan Islam tidak mungkin terwujud kecuali dengan berdirinya kembali Daulah Khilafah Islamiyah, sekaligus merekatkan dan menyatukan kembali kaum Muslim dengan aktivitas politik yang bersumber dari akidah Islam.
                Para penjajah kafir telah membius kaum Muslim dengan pemahaman sekular, yaitu menjauhkan kaum Muslim dengan aktivitas politik, menjauhkan Islam dengan negara dan aktivitas politik. Mereka berdalih bahwa aktivitas politik itu adalah dusta dan kotor, sehingga tidak layak (agama) Islam ditempatkan di tempat-tempat yang kotor. Islam adalah ajaran yang sakral dan harus dijauhkan dari aktivitas politik. Maksud dari para penjajah adalah menjauhkan umat Islam dari aktivitas yang bisa membangkitkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah. Mereka menyadari bahwa kekuatan kaum Muslim –secara ideologis dan politis- justru terletak pada institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Bagi mereka, tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah merupakan lonceng kematian negara-negara kafir sekular dan sirnanya peradaban Barat yang selama ini mereka agung-agungkan. Oleh karena itulah, mereka mencekoki kaum Muslim dengan pemahaman yang keliru, yaitu menjauhkan umat Islam dari aktivitas politik.
                Padahal, politik adalah sesuatu yang netral. Ideologi dan interaksi yang diarahkan oleh sistem hukum yang mengatur aktivitas politiklah yang menentukan apakah aktivitas politik itu ‘bersih’ atau ‘kotor’.
                Kepedulian kaum Muslim terhadap politik dan kewajibannya untuk melakukan aktivitas politik sudah dimulai sejak pertama kali diutusnya Rasulullah saw, yaitu pada saat beliau membentuk ‘partai politik’ di kota Makkah. Beliau melakukan pengkaderan; membina orang-orang yang telah memeluk Islam; membacakan ayat-ayat setiap kali ayat-ayat tersebut beliau terima; menjawab dan memberikan solusi kepada para sahabat-sahabatnya manakalah terdapat persoalan diantara mereka. Hal itu tampak jelas dalam ayat-ayat yang diturunkan di kota Makkah selama beliau membina para sahabat dan menyampaikan risalah Islam kepada para penduduk Makkah.
                Rasulullah saw mencela dan menghujat para pembesar kota Makkah yang kufur, paganisme (penyembahan berhala) bahkan dengan berhala-berhalanya; mencela adat istiadat kafir –seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup-; menghina penipuan di dalam transaksi perdagangan (timbangan); bahkan beliau dan para sahabat menunjukkan perhatian yang sangat tinggi terhadap konstelasi politik internasional. Paling tidak hal itu tercermin pada firman Allah Swt:
]غُلِبَتِ الرُّومُ%فِي أَدْنَى اْلأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ%فِي بِضْعِ سِنِينَ ِللهِ اْلأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ%بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ[
Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi itu) bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (TQS. ar-Rum [30]: 2-5)

Ayat diatas menjadi penjelas bagi para sahabat –saat itu- yang berpolemik (berdiskusi) dengan orang-orang kafir Quraisy tentang konstelasi politik internasional. Orang-orang musyrik lebih suka jika kekaisaran Persia dapat mengalahkan kerajan Romawi, sebab kekaisaran Persia adalah penyembah api dan dekat dengan paganisme. Sementara kaum Muslim menyukai jika kerajaan Romawi yang memenagkan peperangan melawan kekaisaran Persia, sebab mereka adalah ahli kitab2.
                Kaum Muslim tidak akan mampu memikul dakwah Islam kepada bangsa-bangsa lain, atau mencegah skenario jahat yang ditujukan kepada umat, jika kaum Muslim tidak memahami secara global konstelasi politik internasional dan sikap dari negara-negara besar terhadap mereka. Artinya, penyebarluasan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, mengungkap makar jahat negara-negara kafir, melawan skenario mereka, dan sejenisnya, merupakan kewajiban yang harus ditegakkan. Dan hal ini tidak akan mungkin dapat diwujudkan tanpa memahami percaturan dan konstelasi politik internasional.
                Berdasarkan hal ini, aktivitas politik adalah perkara yang wajib dipahami oleh kaum Muslim. Kaum Muslim wajib terjun ke kancah perpolitikan, dengan menjadikan akidah Islam sebagai dasar pijakannya dan syariat Islam –yang terkait dengan aktivitas politik- sebagai rambu-rambunya. Hanya saja kewajiban untuk memperhatikan politik dan pengaturannya harus selalu dikaitkan dengan perkara utama kaum Muslim, yaitu melangsungkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah, yang menjalankan aktivitas pemerintahannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh pelosok dunia melalui dakwah dan jihad fi sabilillah. Ini adalah perkara yang menyangkut hidup matinya kaum Muslim.



DEFINISI KHILAFAH DAN KHALIFAH

Banyak orang sering mendengar kata Khalifah dan Khilafah, apa sebenarnya pengertian dari Khalifah dan Khilafah itu? Dan apa implikasinya terhadap kaum Mudlim?

                Di dalam al-Quran terdapat kata Khalifah yang diulang sebanyak dua kali. Masing-masing pada surat al-Baqarah ayat 30, dan surat Shâd ayat 29. Sebagai contoh, di dalam surat al-Baqarah tercantum:
]إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً[
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (TQS. al-Baqarah [2]: 30)

Kata Khalifah disitu ditafsirkan sebagai saling bergantinya kaum yang satu dengan kaum yang lain seiring dengan pergantian waktu1. Makna ini mengambil arti menurut bahasa, yang sering dimaknai ‘yang dibelakang’, atau ‘pengganti yang kemudian’, atau ‘yang menyusul’, dan sejenisnya.
                Namun, Khalifah dan Khilafah yang disinggung dalam pembahasan kita kali ini bukanlah makna sebagaimana yang tercantum di dalam ayat-ayat al-Quran diatas. Khalifah dan Khilafah yang dimaksudkan disini terkait dengan aspek politik.
                Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia2. Kata lain dari Khilafah adalah Imamah; dimana Khilafah dan Imamah memiliki makna yang sama. Menurut Imam al-Haramain, al-Juwaini, Imamah (atau Khilafah) adalah kepemimpinan yang sempurna dan mencakup umum, yang berkait dengan perkara khusus maupun umum yang ada hubungannya dengan agama maupun dunia, di dalamnya tercakup penjagaan atas negeri-negeri (kaum Muslim), memelihara urusan masyarakat, menegakkan dakwah melalui hujjah dan pedang (maksudnya jihad-pen), mengatasi kezhaliman dan kesewenang-wenangan sekaligus mengganjar pelakunya yang zhalim, serta memberikan hak-hak terhadap orang-orang yang terhalang hak-haknya3.
                Berdasarkan hal ini maka Khilafah itu merupakan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem hukum Islam atas seluruh rakyatnya, dan menyebarluaskan dakwah Islam dengan dakwah (hujjah) dan jihad fi sabilillah ke seluruh penjuru dunia.
                Adapun Khalifah adalah Sulthan al-A’zham4, yaitu kepala negara di dalam sistem Khilafah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Hanya saja Umar bin Khaththab lebih suka disebut dengan Amirul Mukminin, atau Ali bin Abi Thalib yang lebih suka disebut dengan Imam. Semua itu memiliki makna yang sama dengan Khalifah.
                Rasulullah saw telah memerintahkan kaum Muslim agar mereka mengangkat seorang Khalifah setelah beliau wafat, yang dibai’at dengan bai’at yang syar’i, memerintah kaum Muslim berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menegakkan syariat Allah, serta berjihad bersama-sama kaum Muslim melawan musuh-musuh Allah. Beliau bersabda:

«كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء ، كلما هلك نبي خلفه نبي ، وأنه لا نبي بعدي ، وستكون خلفاء فتكثر ، قالوا : فما تأمرنا ؟ قال : فوا ببيعة الأول فالأول ، وأعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم»

Dahulu, urusannya bani Israil diatur oleh para Nabi. Setiap kali Nabi tersebut meninggal (binasa) seketika digantikan oleh Nabi lainnya. Sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku. Dan kelak (sepeninggalku yang mengatur/memelihara) adalah para Khulafa yang jumlah mereka itu banyak. Ditanyakan (oleh para sahabat): ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Dijawab: ‘Bai’atlah (Khalifah) yang pertama dan yang pertama. Dan serahkanlah kepada mereka hak-hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang menjadi urusan (dan tanggung jawab) mereka’. (HR. Muslim)

                Lebih dari itu, beliau saw memperingatkan kaum Muslim agar jangan sampai ada periode (masa) dimana kaum Muslim hidup tanpa ada Khalifah, yang memimpin dan mengatur/memelihara seluruh kaum Muslim. Apabila ada masa yang kosong dari seorang Khalifah, maka kaum Muslim wajib segera untuk mengangkat Khalifah yang baru (dan syar’i). Sabda Rasulullah saw:

من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية

Barangsiapa mati dan dipundaknya tidak membai’at seorang Imam (Khalifah), maka matinya (seperti) mati (dalam keadaan) jahiliah.

Sabda Rasulullah saw lainnya:

فإن رأيت خليفة فألزمه و إن ضرب ظهرك فإن لم يكن خليقة فالهرب

Apabila kalian menyaksikan seorang Khalifah, hendaklah kalian mentaatinya meskipun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya apabila tidak ada Khalifah akan terjadi kekacauan. (HR. Thabrani)

                Allah Swt dengan tegas memerintahkan kita untuk mengangkat seorang Khalifah. Ini bisa dimengerti dari ayat:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ[
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Tidak mungkin Allah Swt memerintahkan kita untuk mentaati orang (institusi) yang tidak ada (gaib). Oleh karena itu ayat tersebut bisa dipahami berupa perintah terhadap kaum Muslim untuk mengadakan/mendirikannya terlebih dahulu (jika Khalifah atau institusi Khilafah tidak ada), kemudian barulah mentaatinya. Sebab terdapat kaedah ushul yang terkenal:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

Suatu kewajiban tidak akan sempurna (dijalankan) tanpa sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.

Dengan kata lain, kewajiban untuk mentaati ulil amri –dalam hal ini adalah Khalifah kaum Muslim yang menerapkan sistem hukum Islam atas rakyatnya- tidak akan sempurna bahkan tidak mungkin dilakukan tanpa keberadaannya, maka keberadaannya itu hukumnya wajib pula.
                Selama lebih dari 13 abad sejak Rasulullah saw wafat, kaum Muslim telah menjaga dan menjalankan amanat Rasulullah saw untuk selalu menjaga keberadaan Khalifah dan institusi Khilafah. Ketika beliau wafat, kedudukannya sebagai kepala negara digantikan oleh para Khulafa ar-Rasyidin, kemudian berganti dengan masa Khulafa dari bani Umayah, lalu para Khulafa dari bani Abbasiyah, setelah itu para Khulafa dari bani Utsmaniyah. Sampai kemudian, pada tahun 1924 M (1342 H), insitusi Khilafah Islam berhasil dirobohkan oleh Mustafa Kamal Ataturk –seorang Yahudi- dengan bantuan penjajah Inggris dan organisasi rahasia zionis, Free Masonri. Dan diatas puing-puing reruntuhan Khilafah itu dibangun Republik Turki modern yang sekular. Khalifah pertama adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra, dan Khalifah yang terakhir adalah Sulthan Abdul Majid II. Artinya, kita –kaum Muslim- tidak lagi memiliki institusi Khilafah lebih dari 80 tahun!
                Tatkala Rasulullah saw wafat, para sahabat Rasulullah saw (di Madinah) menyibukkan diri dalam perkara yang paling urgen, yaitu memilih pengganti Rasul sebagai kepala negara yang akan memimpin seluruh kaum Muslim, dan yang akan menjaga pelaksanaan seluruh sistem hukum Islam. Mereka mendahulukan proses penggantian dan pemilihan kepemimpinan ini dari pada menjalankan kewajiban lainnya (yang juga dianjurkan untuk didahulukan), yaitu mengebumikan jenazah Rasulullah saw. Setelah Abu Bakar terpilih, barulah jenazah Rasulullah saw dikebumikan. Hal itu berlangsung tidak lebih dari tiga hari dua malam. Ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan, atau ke-Khilafahan, dan memilih serta mengangkat seorang Khalifah (kepala negara) atas seluruh kaum Muslim merupakan kewajiban terbesar kaum Muslim. Tidak pernah kaum Muslim –sepanjang sejarahnya yang telah lalu- kosong dari kepemimpinan (seorang Khalifah).
                Sayangnya, setelah runtuhnya ke-Khilafahan terakhir (pada tahun 1924 M), umat Islam tidak peduli lagi dengan keberadaan Khalifah dan institusi Khilafah. Ditambah lagi keberhasilan peradaban Barat kafir mencuci otak kaum Muslim dengan ideologi kapitalisme-sekular, dan memaksakan sistem pemerintahan demokrasi sekular atas negeri-negeri kaum Muslim, hingga akhirnya kaum Muslim merasa bangga dengan slogan-slogan dan pemikiran-pemikiran Barat yang sekular lagi kufur, seperti demokrasi, liberalisme, HAM, dan sebagainya. Sementara itu, pemahahaman umat Islam terhadap Khalifah dan institusi Khilafah, dari sisi kewajiban untuk mendirikannya, telah sirna. Bahkan menyebutkan namanya saja keliru. Maka, sebagaimana isyarat hadits diatas, jika institusi ke-Khilafahan lenyap, kaum Muslim tertimpa kekacauan, bagaikan anak ayam kehilangan induk; tidak memiliki pelindung/penjaga; tidak ada yang bisa mengatasi kezhaliman; tidak ada yang bisa mengganjar pelaku yang zhalim; tidak ada negara yang bisa membalas dan melawan para penjajah kafir yang menduduki negeri-negeri Islam; tidak ada yang mampu membela penindasan dan pembantaian yang dialami kaum Muslim; tidak ada yang bisa menghentikan arogansi negara-negara kufur; tidak ada yang mempedulikan harta kekayaan negeri-negeri Muslim yang dirampas; tidak ada yang memperhatikan, mengatur dan memelihara urusan-urusan kaum Muslim; tidak ada yang menegakkan sistem hukum Islam; tidak ada yang menjalankan jihad fi sabilillah; dan tidak ada lagi Darul Islam, tempat dimana di dalamnya setiap manusia akan merasakan keamanan dan keadilan karena diterapkan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
                Kenyataan-kenyataan itu tidak akan menghilangkan status hukum untuk mewujudkan Khalifah serta ke-Khilafahan. Sebab, apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tetap hukumnya wajib hingga hari kiamat, betapapun pandangan manusia terhadap perbuatan tersebut. Mentaati Khalifah adalah wajib, dan hal itu tidak mungkin tanpa mendirikan terlebih dahulu institusi Khilafah Islam. Maka mengembalikan lagi institusi Khilafah adalah kewajiban bagi kaum Muslim, bahkan termasuk kewajiban yang paling besar. Melalaikan kewajiban yang diperintahkan Allah Swt dan Rasul-Nya merupakan tindakan maksiat. Oleh karena itu meninggalkan kewajiban terbesar sama artinya dengan terjerumus di dalam kemaksiatan yang paling besar. Na’udzubillahi min dzalika.
               
DARUL ISLAM DAN DARUL KUFUR

Sebagian besar kaum Muslim tidak mengetahui apa yang dinamakan dengan Darul Islam dan Darul Kufur. Sebagian lainnya malah enggan, pobi sekaligus takut mendengar dan menyebut istilah tersebut. Apa sebenarnya yang dinamakan dengan Darul Islam dan Darul Kufur?

                Istilah Darul Islam dan Darul Kufur, sebenarnya sangat masyhur dan populer di dalam khasanah kitab-kitab fiqih Islam. Karena jauhnya pemahaman dan pergaulan kaum Muslim dari khasanah tsaqafah Islam, maka mereka tidak mengenal lagi istilah tersebut. Bahkan –untuk sebagian orang- merasa pobi dan takut karena nama tersebut dikaitkan dengan gerakan-gerakan politik dan bersenjata. Belum lagi stigma (cap buruk) yang ditempelkan pada istilah ini oleh para penguasa Muslim maupun negara-negara kafir penjajah, untuk menjauhkan kaum Muslim dari pemahaman yang benar tentang Darul Islam.
                Di dalam bahasa Arab, kata dâr memiliki banyak makna, antara lain: al-‘arshah (halaman rumah), al-bina (bangunan), al-mahallah (daerah/distrik). Jadi, setiap tempat yang didiami oleh suatu komunitas manusia disebut dengan dâr-nya mereka1. Dalam bentuk jamaknya kata dâr bermakna kabilah, juga bermakna balad (negeri)2.
                Kata dâr ini banyak dijumpai di dalam al-Quran maupun hadits-hadits Nabi saw. Sebagai contoh misalnya:
]وَالدَّارُ اْلآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ[
Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa, apakah kamu sekalian tidak mengerti? (TQS. al-A’raaf [7]: 169)
]ذَلِكَ جَزَاءُ أَعْدَاءِ اللهِ النَّارُ لَهُمْ فِيهَا دَارُ الْخُلْدِ جَزَاءً بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ[
Demikianlah balasan (terhadap) musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya, sebagai pembalasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (TQS. Fushshilat [41]: 28)

Sabda Rasulullah saw:

أن رسول الله -صلعم- أتى المقبرة فقال السلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون

Sesungguhnya Rasulullah saw pernah mendatangi pemakaman, kemudian beliau bersabda, ‘Assalamu’alaikum dar qaumi mukminin, wa inna insya Allah bikum lahiqun’ (Semoga keselamatan tetap dilimpahkan kepada kalian, tempat kaum mukminin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian). (HR. Muslim)

                Meskipun demikian, terdapat nash (hadits) yang kemudian mengalihkan arti secara bahasa tersebut menjadi arti yang syar’i, yaitu hadits:


«كَانَ رَسُوْلُ اللهِ B إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ اَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَاتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ : أغْزُوْا بِسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَّرَ بِاللهِ، أغْزُوْا
وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَمْثُلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا، وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ اِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتَهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ
فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ
مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»

‘Rasulullah saw, apabila mengangkat seorang amir untuk memimpin tentara atau sariyah (peperangan tanpa disertai Rasulullah-pen) beliau memberikan nasehat kepadanya agar bertakwa kepada Allah, dan agar berbuat baik kepada orang-orang muslim yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda: ‘Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah. Berperanglah tetapi janganlah kalian melampaui batas, janganlah kalian berkhianat, janganlah kalian memotong-motong mayat, janganlah kalian membunuh anak kecil. Apabila engkau bertemu dengan musuhmu dari orang-orang musyrik maka ajaklah mereka kepada tiga hal atau pilihan. Dan pilihan apa saja yang mereka tentukan maka terimalah, dan berhentilah kalian dalam memerangi mereka. Ajaklah mereka kepada Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah mereka untuk merubah negara mereka menjadi darul Muhajirin, dan beritahukan kepada mereka bahwa jika mereka menerima hal itu, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang muhajirin. Jika mereka menolak untuk merubah negara mereka menjadi darul Islam, maka beritahukan kepada mereka bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim (yaitu) diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai’ dan ghanimah kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolak, maka pungutlah atas mereka jizyah, dan jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau perangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR. Muslim dan Ahmad)

                Dengan demikian, istilah Darul Islam –yang biasa disebut juga dengan Darul Muhajirin, atau Darul Hijrah, atau Darul as-Salam- sebenarnya merupakan istilah yang syar’i, karena memiliki implikasi hukum (tertentu) terhadap kaum Muslim. Istilah tersebut biasa didengar dan diucapkan oleh kaum Muslim di masa peradaban Islam mencapai puncak-puncaknya, dan banyak dijumpai di dalam kitab-kitab fiqih.
                Para fuqaha imam madzhab telah membahas pengertian Darul Islam dan Darul Kufur, membuat definisinya dan menjabarkannya secara detail. Imam al-Kassani menjabarkan pemahaman madzhab Hanafi tentang Darul Islam dan Darul Kufur, bahwa Darul Kufur akan menjadi Darul Islam apabila (sistem) hukum Islam berkuasa di negeri tersebut3. Pendapat madzhab Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh ar-Ramli, menyebutkan bahwa Darul Islam adalah jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan musuh4. Sementara Ibnu al-Qayyim menukil pendapat madzhab Hambali, bahwa jika negeri tersebut didiami oleh kaum Muslim dan hukum-hukum Islam diterapkan disana5.
                Dari paparan hadits maupun penjelasan para fuqaha tersebut tampak adanya dua unsur yang mendominasi istilah Darul Islam dan Darul Kufur. Dua unsur tersebut adalah:
  1. Penerapan hukum-hukum Islam di tempat tersebut.
  2. Kekuatan Islam –yakni keamanannya- untuk menjaga/memelihara penduduknya dari ancaman musuh.
Jadi, Darul Islam adalah negeri (wilayah) yang didalamnya diterapkan sistem hukum Islam, dan (sistem) keamanannya berada di tangan Islam dan kaum Muslim. Negeri semacam ini tidak akan pernah ada eksistensinya kecuali berbentuk Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah. Dari sini pula kita bisa memahami bahwa negeri-negeri Islam yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai ‘negara Islam’ atau Darul Islam, pada hakekatnya bukan ‘negara Islam’, atau bukan Darul Islam. Negara-negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Iran, Libia dan sejenisnya tidak termasuk Darul Islam, karena sistem keamanan negara-negara tersebut tergantung dan menggantungkan dirinya kepada Amerika Serikat, Inggris, atau Rusia, yang notabenenya adalah negara kafir. Bahkan penerapan sebagian kecil hukum-hukum Islam, seperti potong tangan bagi pencuri, atau rajam bagi pezina, atau hukum qishash bagi pembunuhan yang disengaja, tidak bisa memasukkan negara-negara tersebut ke dalam Darul Islam. Sebab, sebagian besar muamalah dan interaksi mereka dalam bidang pendidikan, sosial, politik, militer, ekonomi dan sejenisnya, merujuk kepada sistem hukum demokrasi sekular, bukan sistem hukum Islam.
Sedangkan Darul Kufur adalah negeri (wilayah) yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur, dan (sistem) keamanannya berada bukan di tangan Islam dan kaum Muslim. Dari pengertian ini, Darul Kufur bukan hanya mencakup negara-negara kapitalis Barat sekular seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Spanyol, Jerman, Italia dan sejenisnya; melainkan juga negeri-negeri Muslim seperti Uzbekistan, Pakistan, Irak, Mesir, Suriah, Malaysia, dan lain-lain. Jadi, selama negeri tersebut tidak menerapkan sistem hukum Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim; atau sistem keamanannya tidak berada di tangan Islam dan kaum Muslim; maka negeri tersebut tergolong Darul Kufur. Sebaliknya, jika suatu negeri, meskipun kaum Muslim di dalamnya adalah minoritas, menerapkan sistem hukum Islam, dan keamanannya berada di tangan Islam dan kaum Muslim, maka negeri tersebut termasuk Darul Islam.
Pada saat ini, kita tidak menjumpai adanya Darul Islam, meskipun di negeri-negeri Muslim. Yang ada adalah Darul Kufur. Padahal kita –kaum Muslim- diperintahkan untuk merubah negeri, tempat kita hidup, menjadi Darul Islam, sebagaimana yang dipaparkan oleh hadits Rasulullah saw.


KAFIR HARBI, KAFIR MUSTA’MIN DAN AHLU DZIMMAH

Sebagian kaum Muslim menyikapi orang-orang kafir sebagai pihak yang harus diperangi. Sebagian lainnya menganggap mereka sebagai sahabat sebagaimana layaknya sesama kaum Muslim. Dan sebagian lainnya menjaga jarak. Bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi orang-orang kafir?

                Apabila kita mengkaji ayat-ayat al-Quran maupun hadits-hadits Nabi saw yang berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang kafir, maka kita akan menjumpai nash-nash yang secara sepintas tampak berlawanan, padahal hakekatnya tidak demikian. Sebagai contoh, dijumpai ayat:
]وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ[
Dan bunuhlah mereka (orang-orang kafir itu) dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. (TQS. al-Baqarah [2]: 191)
]مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ[
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. (TQS. al-Fath [48]: 29)

Di sisi lain terdapat pula ayat:
]لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (TQS. al-Mumtahanah [60]: 8)

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang sejenis, demikian pula dengan hadits-hadits Rasulullah saw.
                Untuk mengetahui konteks dan obyek dari ayat-ayat maupun hadits-hadits seperti itu, maka diperlukan pengkajian terhadap nash-nash syar’i. Kebodohan di dalam memahami nash-nash semacam itu dapat berakibat pada tindakan sembrono dan gegabah, yang berujung pada kesesatan dan kenestapaan.
                Dari berbagai pengkajian, para ulama telah menjabarkan maksud dan sasaran dari nash-nash tersebut, kemudian mengeluarkan istilah-istilah untuk memudahkan kaum Muslim membedakan dan menentukan sikap terhadap orang-orang kafir. Istilah-istilah tersebut adalah: kafir harbi, kafir musta’min, dan ahlu dzimmah. Istilah-istilah ini sangat masyhur di dalam pembahasan hukum-hukum Islam, terutama yang berhubungan dengan jihad fi sabilillah. Lagi pula, masyarakat kaum Muslim dan negara (yaitu Daulah Islamiyah saat itu) mempraktekkannya secara praktis, sehingga dengan sendirinya sebutan kafir harbi, kafir musta’min atau pun ahlu dzimmah bukanlah sesuatu yang sangat asing.
                Kafir harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min1. Mu’ahid sendiri adalah orang kafir yang menjadi warga negara kafir yang memiliki perjanjian (mu’ahidah) dengan negara Khilafah. Negaranya dinamakan dengan Daulah mu’ahidah (negara yang memiliki perjanjian dengan negara Khilafah). Ibnul Qayyim menyebutnya dengan istilah ahlu al-hudnah atau ahlu ash-shulhi2. Kadangkala disebut juga dengan al-muwadi’in3. Sedangkan kafir musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin masuk (al-aman, semacam visa-pen), baik orang itu muslim atau pun kafir harbi4.
                Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim. Contoh kafir harbi hukman untuk saat ini adalah negara-negara kafir seperti Mongolia, Brazil, Argentina dan sejenisnya. Sedangkan contoh kafir harbi fi’lan adalah Amerika Serikat, Israil, Inggris, Australia, Perancis, Rusia, India, China, dan sejenisnya, yaitu mencakup negara-negara kafir yang menduduki negeri-negeri kaum Muslim, memusuhi, mengusir atau memerangi kaum Muslim.
                Adapun ahlu dzimmah atau biasa dikenal juga dengan kafir dzimmi, adalah setiap orang yang tidak beragama Islam dan menjadi rakyat (warga negara) Daulah Khilafah Islamiyah. Dan biasanya Daulah Islamiyah mempunyai akad dzimmah (perjanjian) dengan mereka.
                Terhadap kafir harbi muharibah fi’lan (yaitu negara kafir yang de facto tengah memerangi kaum Muslim), maka Daulah Islamiyah tidak dibolehkan melakukan interaksi apapun kecuali jihad fi sabilillah. Tidak diperkenankan membuka hubungan diplomatik, hubungan dagang, atau perjanjian lainnya. Warga negara kafir harbi muharibah fi’lan tidak memperoleh jaminan keamanan kecuali jika mereka datang ke Daulah Islamiyah untuk mendengarkan Kalamullah. Firman Allah Swt:
]وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ[
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (TQS. at-Taubah [9]: 6)

Pengecualian lainnya adalah jika orang itu datang untuk menjadi warga negara Daulah Islamiyah (menjadi kafir dzimmi). Firman Allah Swt:
]قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
[
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)

                Terhadap kafir harbi ghairu muharibah fi’lan (yaitu negara kafir yang de facto tidak sedang berperang dengan Daulah Islamiyah), maka dibolehkan melakukan interaksi, seperti mengadakan perjanjian perdagangan, perjanjian untuk bertetangga baik. Terhadap warga negaranya dibolehkan mengunjungi/memasuki wilayah Daulah Islamiyah, baik untuk kepentingan dagang, melancong, atau keperluan lainnya yang dibolehkan, sesuai dengan teks perjanjian bilateral (jika terikat dengan suatu perjanjian)
                Terhadap kafir musta’min, maka atasnya diberikan jaminan keamanan/perlindungan selama masa pemberian jaminan tersebut. Masa pemberian jaminan keamanan tersebut bisa satu bulan, dua bulan atau tiga bulan, selama tidak lebih dari satu haul (satu tahun). Apabila masa tinggalnya sebagai kafir musta’min di dalam wilayah Daulah Islamiyah mencapai masa satu tahun, maka atasnya diberikan dua pilihan; yaitu keluar dari wilayah Daulah Islamiyah, atau menjadi kafir dzimmi dengan membayar jizyah.
                Sedangkan terhadap ahlu dzimmah atau kafir dzimmi, maka berlaku sesuai dengan akad dzimmah-nya. Atas mereka berlaku hukum umum, yaitu:

لهم ما لنا وعليهم ما علينا

Apa yang menjadi hak kita (kaum Muslim) juga menjadi hak mereka, begitu pula apa yang menjadi kewajiban kita –kaum Muslim- menjadi kewajiban mereka (dalam hukum-hukum publik).
               
                               
JIZYAH DAN DZIMMAH

Apa yang dimaksud dengan akad dzimmah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw dengan orang-orang (kabilah) kafir. Dan apa yang dimaksudkan dengan jizyah, apakah jizyah sama dengan pajak yang dikenakan atas orang-orang kafir?

                Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
                Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam1. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik.
                Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir, sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam2. Apabila orang-orang kafir itu telah memberikan jizyahnya, maka wajib bagi kaum Muslim melindungi jiwa dan harta mereka.
                Landasan dikenakannya jizyah atas kafir dzimmi adalah ayat:
]قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
[
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)

Di masa Rasulullah saw, beliau kerap kali melakukan perjanjian berupa akad dzimmah dengan berbagai kabilah. Beliau –misalnya- pernah melakukannya dengan Yahudi bani Adi di daerah Taima, dengan Yahudi bani Aridl, dengan penduduk Ailah (di perbatasan dengan Syam-pen), dengan penduduk Jarba dan Adzrah, begitu pula dengan penduduk Maqna3, dan lain-lain.
                Dari Urwah bin Zubair, berkata bahwa Rasulullah saw telah menulis surat kepada penduduk Yaman, yang berbunyi:

ومن كان على يهوديته أو نصرانيته فإنه لايفتن عنها وعليه الجزية

Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi atau pun Nasrani, maka ia tidak akan dipaksa (yakni dibiarkan memeluk agamanya itu-pen), tetapi atasnya dikenakan jizyah.

                Jizyah diambil dari orang-orang kafir dzimmi, baik mereka itu beragama Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabiah, dan lain-lain. Jizyah diambil dari laki-laki kafir yang sehat akalnya dan telah baligh; tidak diambil dari kalangan wanita, anak-anak, maupun orang gila. Jizyah dipungut setahun satu kali.
                Besarnya jizyah ditetapkan oleh Khalifah dan menjadi otoritas Khalifah dalam pengelolaannya. Rasulullah saw tatkala mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, menetapkan jizyah sebesar satu dinar. Umar bin Khaththab ra menetapkan jizyah dari penduduk Syam dan Mesir yang tergolong kaya sebesar empat dinar, yang kehidupannya menengah dua dinar, dan yang kehidupannya sederhana tetapi berpenghasilan satu dinar. Terhadap penduduk Irak, beliau menetapkan 48 dirham bagi yang kaya, 24 dirham bagi yang menengah dan 12 dirham bagi yang kehidupannya biasa-biasa saja. Banyak kasus di masa ke-Khilafahan Islam, dimana Daulah Islamiyah membebaskan sama sekali kafir dzimmi dari kewajiban jizyah, disebabkan mereka fakir atau miskin (karena tidak mampu); atau pada kasus dimana Daulah Islamiyah tidak mampu memberikan perlindungan dan jaminan keamanan atas harta dan jiwa mereka, terutama di daerah-daerah perbatasan negara. Dengan demikian jizyah itu tidak sama dengan pajak pada sistem kapitalis.
                Disamping kafir dzimmi memenuhi kewajibannya, yaitu membayar jizyah dan tunduk terhadap syariat Islam (yang terkait dengan hukum-hukum publik), maka mereka berhak memperoleh hak-haknya, antara lain: bebas memeluk agamanya dan menjalankan aktivitas ibadahnya, terjaga harta dan jiwanya, memperoleh hak-hak yang sama dengan kaum Muslim sebagai warga negara (seperti hak memperoleh jaminan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain yang menjadi kewajiban negara). Ali bin Abi Thalib pernah berkata: ‘Ahlu dzimmah membayar jizyah agar harta mereka sama seperti harta kita dan nyawa mereka seperti nyawa kita’4.           
                Berdasarkan hal ini, kehidupan kafir dzimmi di dalam Daulah Islamiyah bisa dikatakan memperoleh kesejahteraan dan keadilan pada tingkat yang paling tinggi yang pernah dijumpai di dalam sejarah peradaban manusia. Sebab, tidak ada lagi diskriminasi dalam pelaksanaan hukum, atau diskriminasi dalam memperoleh hak-hak publik (kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain).
Siapa saja yang mengkaji sejarah umat manusia akan menjumpai bahwa keadilan dan perlakuan Islam terhadap kafir dzimmi tiada bandingannya, bahkan tidak dijumpai pada peradaban Barat masa sekarang. Bangsa Amerika yang dielu-elukan kehebatannya dalam demokrasi dan HAM, hingga saat ini masih bersikap diskriminatif terhadap warga negaranya sendiri yang berkulit hitam maupun keturunan hispanik, apalagi perlakuan mereka terhadap kaum pendatang yang nota benenya muslim. Kita belum lagi lupa bagaimana perilaku orang-orang Kristen ortodoks Serbia dan Kroasia terhadap kaum Muslim Bosnia dan Herzegovina. Perlakuan bangsa China terhadap kaum Muslim di propinsi Xinjiang yang dihuni etnis Uyghur (yang mayoritas muslim). Atau perlakuan orang-orang Hindu di India terhadap kaum Muslim (terutama di daerah Kashmir). Gambaran kaum kristen yang pendendam dan pembenci terhadap kaum Muslim juga sangat nyata, menghiasai lembaran-lembaran sejarah. Tengok saja bagaimana kerajaan Aragon dan Castilia di Andalusia (Spanyol dan Portugal) sebelum abad-abad pertengahan membantai kaum Muslim selama puluhan tahun, mencari, mengejar, menyiksa, dan membunuh mereka tanpa belas kasihan. Saat itu dikenal adanya mahkamah inquisisi, yang mengultimatum kepada kaum Muslim yang tertangkap pilihan (1) murtad, atau (2) disiksa lalu dibunuh. Pemandangan semacam itu sangat kontras di dalam kehidupan Daulah Abbasiyah yang memerintah kawasan Andalusia selama delapan abad, sehingga para sejarawan Eropa menjulukinya sebagai ‘the golden age of human’.
Lalu, adakah bukti-bukti sejarah dimana kaum Muslim (atau Daulah Islamiyah) memperlakukan orang-orang non muslim secara diskriminatif? Tidak ada, yang ada justru sebaliknya, mereka –orang-orang kafir dan negara-negara kafir Barat maupun Timur- memperlakukan kaum Muslim yang hidup di negara-negara mereka secra diskrimanatif. Jadi, apa maksud propaganda toleransi beragama yang mereka tujukan kepada kaum Muslim selama ini? Bukankah propaganda semacam itu lebih tepat ditujukan bagi mereka?



WAJIB MENERAPKAN HUKUM ISLAM PADA ORANG KAFIR

Selama ini banyak orang memahami bahwa hukum-hukum Islam ditujukan khusus bagi kaum Muslim, bukan orang-orang kafir. benarkah pemahaman seperti ini?

                Seorang muslim, siapappun dan dimanapun berada, wajib terikat dengan seluruh hukum-hukum Islam. Allah Swt berfirman:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
[
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

Artinya, setiap muslim terikat dengan keharusan untuk menjalankan hukum-hukum Islam, baik yang berhubungan dengan ibadah, pakaian, makanan-minuman, maupun yang berhubungan dengan interaksi sosial, ekonomi, politik, dan sejenisnya. Orang yang mengaku muslim dilarang untuk merujuk/menerapkan sistem hukum selain Islam.
                Di dalam kehidupan Daulah Islamiyah, orang-orang kafir (dzimmi maupun musta’min), sesuai dengan akad dzimmah dengan negara Khilafah, dibolehkan menjalankan hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan ibadah (termasuk tentang makanan, minuman, perkawinan, kematian dan sejenisnya) menurut hukum-hukum agama mereka, asalkan tidak menampakkan syi’ar-syi’ar agama mereka di hadapan kaum Muslim. Hal ini sesuai dengan makna dari hadits Rasulullah saw:

ومن كان على يهوديته أو نصرانيته فإنه لايفتن عنها وعليه الجزية

Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi atau pun Nasrani, maka ia tidak akan dipaksa (dibiarkan memeluk agamanya itu-pen), tetapi atasnya dikenakan jizyah.

Lagi pula Allah Swt memberikan kepada mereka kebebasan untuk memeluk akidahnya:
]لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ[
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

                Namun, dalam perkara yang menyangkut hukum-hukum publik, yaitu interaksi kafir dzimmi dengan kaum Muslim, baik dalam bidang ekonomi, sosial, peradilan, dan sejenisnya, maka atas mereka (orang-orang kafir dzimmi) diberlakukan hukum-hukum Islam. Mereka, sebagai warga negara Daulah Islamiyah, kedudukannya sama dengan kaum Muslim, yang juga sebagai warga negara Daulah Islamiyah. Firman Allah Swt:
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ
[
Maka putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan (hukum Islam), dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Islam) yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)
]إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ[
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili anatara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. (TQS. an-Nisa [4]: 105)

Ayat ini berbentuk umum, mencakup kaum Muslim maupun non muslim. Karena kalimat –li tahkuma baina an-nâs- berbentuk umum.
                Berdasarkan hal ini, dalam hukum-hukum publik, Daulah Islamiyah memberlakukan satu sistem hukum, yaitu hukum Islam. Dan ini diberlakukan atas seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim.
                Meskipun demikian, dalam kasus, jika datang (dari negara kufur) orang-orang kafir yang mengadukan perselisihan (permasalahan) yang mereka hadapi dengan sesama orang kafir lainnya, lalu mereka meminta negara Khilafah memutuskannya, maka dalam hal ini Daulah Islamiyah akan memberikan kepada mereka pilihan, apakah dihukumi berdasarkan hukum-hukum Islam, atau bukan. Firman Allah Swt:
]فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[
Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (TQS. al-Maidah [5]: 42)

Sebab-sebab turunnya ayat diatas –sebagaimana penuturan Imam Baihaqi- bahwa seorang laki-laki dari (daerah) Fadak telah berzina. Orang-orang Fadak menulis surat kepada orang-orang Yahudi di Madinah, supaya mereka bertanya kepada Rasulullah saw tentang hukuman terhadap orang yang berzina itu. Jika ia memerintahkan dijilid (dicambuk), maka diterima; tetapi jika memerintahkan dirajam, tidak diterima. Orang-orang Yahudi di Madinah bertanya kepada Nabi saw. Beliau memerintahkan agar orang itu dirajam1. Tidak lama kemudian diturunkanlah ayat diatas.
Jadi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang mengajukan dan meminta keputusan kepada Nabi saw. Komunitas orang-orang Yahudi itu sebagai suatu kabilah, dianggap sama dengan komunitas masyarakat negara lain, dimana antara Rasulullah saw dan mereka terdapat perjanjian (mu’ahadat). Oleh karena itu, faktanya berbeda dengan orang-orang kafir (dzimmi) yang hidup di dalam Daulah Islamiyah (sebagai warga negara), atau orang kafir musta’min yang datang dan masuk ke wilayah Daulah Islamiyah seraya menerima sistem hukum Islam yang berlaku di wilayah tersebut. Apabila orang-orang kafir dzimmi dan musta’min ini menolak untuk dihukumi dengan hukum-hukum Islam, maka Khalifah harus memaksa mereka untuk tunduk.
Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Najran yang bergama Nasrani, dengan kalimat:

إن من بايع منكم بالربا فلا ذمة له

Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang melakukan transaksi (jual beli) dengan riba, maka tidak ada lagi perlindungan (dzimmah) atasnya.

Kedudukan penduduk Najran saat itu adalah menjadi bagian dari Daulah Islamiyah, sehingga mereka adalah warga negara Daulah Islamiyah, dan atas mereka diberlakukan hukum-hukum Islam.



KEBERADAAN KEDUTAAN BESAR NEGARA-NEGARA KAFIR

Sebagai sebuah negara di lingkungan negara-negara lain secara internasional, apakah Daulah Islamiyah menerima dibukanya kantor-kantor perwakilan atau kedutaan besar negara-negara kafir? Dan apakah Islam mengakui ‘kekebalan diplomatik’ yang biasanya melekat pada staf dan pegawai kedutaan?

                Darul Islam atau negara Khilafah tidak mengakui keberadaan Darul Kufur (negara-negara kafir). Sebab, bagaimana mungkin Islam yang haq mengakui –secara hukum- keberadaan sistem kufur dan kebathilan yang ada di dunia. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan dakwah Islam yang bertujuan memberantas kekufuran dan kebathilan. Pengakuan atas keberadaan negara-negara kafir (Darul Kufur) itu didasarkan hanya pada realitas empirik saja. Dengan dasar inilah negara Khilafah mengadopsi hubungan-hubungannya dengan negara-negara lain dan bergaul dengan mereka di dalam masyarakat internasional. Artinya, hubungan negara Khilafah dengan negara-negara kafir tersebut memiliki visi untuk penyebarluasan risalah Islam ke negara-negara kufur itu dan dalam rangka meraih kemaslahatan bagi kaum Muslim. Negara Khilafah adalah negara yang bersifat ideologis, dan ideologi (Islam) inilah yang diyakini dan disebarluaskan ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad fi sabilillah.
                Negara Khilafah dibolehkan untuk menjalin hubungan diplomatik atau hubungan lainnya, seperti hubungan perdagangan, kerjasama ilmu dan teknologi, hubungan komunikasi dan transportasi, dan semacamnya. Asalkan negara-negara kafir tersebut tidak termasuk negara-negara kafir muharibah fi’lan (yaitu negara kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim), atau tidak tergolong negara kafir yang membantu negara kafir lainnya (bersekutu) dalam memerangi kaum Muslim, atau tidak sedang bermusuhan dan tidak memiliki ambisi untuk mencaplok negeri-negeri Islam.
                Diriwayatkan dari Abi Rafi’ bahwa Rasulullah saw bersabda:

إني لا أحبس بالعهد ولا أحبس الرسل

Sesungguhnya aku tidak memenjarakan seseorang karena adanya perjanjian, dan aku juga tidak akan memenjarakan para utusan (negara lain).

Diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Mas’ud, yang berkata:
جاء ابن النواحة و ابن اثال رسولا مسيلمة الى النبي -صلعم- فقال لهما: أتشهدان أني رسول الله؟ قالا: نشهد أن مسيلمة رسول الله. فقال رسول الله -صلعم- آمنت بالله ورسوله لو كنت قاتلا رسولا لقتلتكما. فمضت السنة ان الرسل لاتقتل
Telah datang Ibnu Nawahah dan Ibnu Atsal, dua orang utusannya Musailamah kepada Nabi saw. Kemudian Nabi berkata kepada keduanya: ‘Apakah engkau berdua bersaksi bahwa aku ini adalah Rasulullah? Keduanya menjawab: ‘Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah’. Rasulullah berkata lagi: ‘Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, seandainya engkau membunuh para utusan, maka aku pasti akan membunuh keduanya’. Waktu berlalu hingga satu tahun sementara utusan itu tidak dibunuh. (HR. Ahmad)

                Ini merupakan dalil dibolehkannya negara-negara kafir yang tergolong ghairu muharibah fi’lan (yang tidak sedang berperang/memerangi negara Khilafah dan kaum Muslim) untuk membuka kedutaan besarnya di negara Khilafah.
Disamping itu, hadits tersebut juga menunjukkan dengan terang adanya kekebalan diplomatik bagi para utusan (yaitu terhadap staf diplomatik dan sejenisnya), dengan tidak boleh dibunuhnya para utusan meskipun mereka terang-terangan menolak ajakan Rasulullah saw untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan mereka mengatakan keyakinannya dengan kerasulan Musailamah al-Kadzdzab (Nabi palsu).
Tentu saja, dibukanya kedutaan besar negara-negara kufur itu, sebelumnya harus didahului adanya mu’ahadat (perjanjian) dengan negara Khilafah. Selain itu, staf kedutaan asing tidak dibolehkan melakukan aktivitas yang tidak ditentukan di dalam klausul perjanjian, seperti melakukan aktivitas mata-mata dengan dalih kemanusiaan dan HAM, turut mengawasi jalannya aktivitas peradilan di negara Khilafah, membuat akses ke industri-industri strategis dan militer, memproviokasi gerakan separatisme dan pembangkangan, memfasilitasi pengembangan tsaqafah dan peradaban Barat, menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kufur, dan sejenisnya. Kegiatan semacam ini biasa dilakukan oleh staf kedutaan negara-negara asing, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, China, Australia, dan lain-lain di negeri-negeri muslim.
Dengan kata lain, terhadap negara-negara kafir muharibah fi’lan, atau negara kafir ghairu muharibah fi’lan yang tidak mendatangkan kemaslahatan bagi dakwah Islam dan kaum Muslim, tidak akan dilakukan hubungan diplomatik maupun pembukaan kedutaan besar.
Hubungan diplomatik tersebut berakhir dengan berakhirnya masa perjanjian:
]فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ[
Maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai pada batas waktunya. (TQS. at-Taubah [9]: 4)

Atau terdapat indikasi adanya kekhawatiran bahwa negara kafir tersebut melakukan pengkhianatan atau pelanggaran:
]وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللهَ
لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
[
Dan jika kamu khawatirkan (terjadinya) pengkhianatan dari suautu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. (TQS. al-Anfal [8]: 58)

                Perlu diketahui bahwa seluruh bentuk perjanjian, termasuk pembukaan hubungan diplomatik dengan cara membuka kedutaan besar negara kafir di negara Khilafah, tidak bersifat langgeng atau memakan waktu lama. Semuanya dibatasi oleh jangka waktu berlangsungnya perjanjian. Rasulullah saw menyetujui perjanjian Hudaibiyah dengan tenggat waktu 10 tahun, tidak lebih. Hal ini dipahami, karena Darul Islam tidak pernah mengakui keberadaan Darul Kufur secara hukum. Lagi pula, perjanjian dengan Darul Kufur yang bersifat langgeng sama artinya dengan memasung akrivitas jihad fi sabilillah, dan dapat menghentikan aktivitas dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Padahal, dakwah Islam harus disebarluaskan ke seluruh pelosok dunia, hingga Darul Kufur berubah menjadi Darul Islam, dengan cara dibebaskannya negara-negara kufur, sehingga orang-orang kafir berbondong-bondong masuk agama Islam, atau dengan kesediaan/kerelaan mereka untuk tinggal/hidup di bawah naungan negara Khilafah yang menerapkan sistem hukum Islam.


DIALOG ANTAR AGAMA

Banyak ulama dan intelektual muslim yang memfasilitasi dan terlibat aktif di dalam kegiatan ‘dialog antar agama dan peradaban’. Mereka berkumpul dengan tokoh-tokoh agama Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu, dan agama atau sekte-sekte lain di dunia membahas tentang perdamaian, toleransi beragama, HAM, peperangan dan sebagainya, lalu mengeluarkan berbagai rekomendasi. Bagaimana sikap kita terhadap dialog antar agama?

                Pada dasawarsa tahun 80-an mulai mengemuka adanya ide dialog antar peradaban dan antar agama. Munculnya ide ini berasal dari gagasan kaum orientalis yang didukung oleh anak-anak asuhnya –yang berasal dari kalangan intelektual muslim modern-. Negara-negara Barat sekular bertindak selaku sponsor, karena salah satu tujuan dari diadakannya dialog antar agama atau antar peradaban ini adalah mensosialisaikan nilai-nilai kapitalis dan demokrasi sekular, terutama ide tentang pluralisme. Malah Vatikan (sebagai markas besar kristen) dijadikan sebagai basis organisasi internasional dialog untuk agama dan perdamaian (yang bernama WCRP-World Council for Religion and Peace). Secara periodik dan bergiliran kota-kota besar negeri Islam pun menjadi tempat diadakannya seminar-seminar dialog antar agama dan peradaban.
                Alasan mendasar yang sering dilontarkan oleh mereka yang terlibat dengan dialog antar agama adalah, bahwa Islam tidak berbeda dengan agama-agama samawi lainnya (seperti Yahudi dan Nasrani). Menurut mereka, semua agama itu pada dasarnya sama, yaitu mengajak kebajikan dan keselamatan. Mereka beranggapan bahwa para Nabi itu semuanya adalah muslim. Jadi, siapa saja yang mengikuti para Nabi, maka mereka juga adalah muslim sebagaimana Nabi-nabi mereka.
                Mereka acapkali menyertakan ayat-ayat al-Quran untuk mendukung dalih yang mereka lontarkan, agar lebih dapat meyakinkan kaum Muslim, disamping agar tampak bahwa pernyataan mereka itu adalah benar dan Islami. Ayat-ayat al-Quran yang sering dijadikan senjata andalan mereka, antara lain:
]مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا[
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Quran) ini. (TQS. al-Hajj [22]: 78)
]وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ[
Aku berserah diri bersama Sulaiman, kepada Allah Rabbul ‘alamin. (TQS. an-Naml [27]: 44)
]فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ[
Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri (muslim). (TQS. adz-Dzariyat [51]: 36)

                Kata-kata aslama, aslamtu, muslim dan muslimin yang terdapat di dalam ayat-ayat tersebut, selalu mereka artikan dengan menonjolkan pengertian menurut bahasa, yang berarti ‘berserah diri’. Mereka menarik kesimpulan –dari ayat-ayat tersebut- bahwa seluruh Nabi itu muslim. maka, siapa pun yang mengikuti Nabi-nabi, baik itu Nabi Musa as, Nabi Isa as atau Nabi Muhammad saw, semuanya adalah muslim.
                Persoalannya adalah, apakah setiap orang yang disifati oleh Allah (di dalam al-Quran) dengan kata muslim, secara otomatis juga beragama Islam (yakni memeluk agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw)?
                Menurut bahasa, kata aslama telah digunakan oleh orang-orang Arab dengan makna inqâda, yaitu tunduk, patuh. Siapa saja yang tunduk atau patuh pada seorang Nabi, beriman kepada akidah yang dibawanya, mengikatkan diri dengan hukum-hukum yang diturunkan kepadanya, berarti dia –menurut bahasa- adalah muslim untuk agama tersebut, yaitu munqâdun, tunduk atau patuh terhadap agamanya itu. Allah Swt menyifati para pengikut Nabi-nabi tersebut dengan menggunakan kata-kata muslim atau muslimin. Meskipun demikian, Allah tidak menyatakan bahwa agama mereka adalah Islam.
                Pemakaian kata-kata aslama, aslamtu, muslim atau pun muslimin pada ayat-ayat diatas telah digunakan Allah Swt sesuai dengan makna menurut bahasa, sebagaimana orang-orang Arab menggunakannya dan menetapkan makna tersebut untuk kata-kata yang dimaksud.
                Allah Swt telah mengutus Nabi Muhammad saw dengan agama, yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya. Allah Swt menamai agama itu dengan agama Islam, dan para pemeluknya disebut dengan muslim. Kata Islam yang maknanya adalah agama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw terdapat di dalam beberapa ayat al-Quran, antara lain:
]إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ[
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah (agama) Islam. (TQS. Ali Imran [3]: 19)
]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ[
Siapa saja yang mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (adama itu) dari padanya. (TQS. Ali Imran [3]: 85)
]وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (TQS. al-Maidah [5]: 3)

                Kata Islam pada ayat-ayat al-Quran ini hanya memiliki satu makna, yaitu agama Islam, agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, kata Islam merupakan kata yang telah dipindahkan dari makna bahasa, yang artinya patuh, tunduk (inqiyâd) ke makna syariat, yaitu agama yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw (yakni agama Islam).
                Seperti halnya penamaan terhadap para pengikut para Nabi terdahulu dengan sebutan muslim, maka kata muslim juga ditujukan bagi pengikut Nabi Muhammad saw. Namun demikian, dua perkara ini berbeda faktanya. Penamaan muslim bagi orang-orang Yahudi atau Nasrani tidak dapat digunakan. Sebab, kata muslim telah dipindahkan dari makna bahasa ke makna syariat. Penggunaan suatu kata berdasarkan pengertian bahasa hanya bisa dipakai jika terdapat indikasi (qarinah) yang benar-benar menunjuk pada makna bahasa. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa Ratu Kerajaan Saba telah masuk Islam di hadapan Nabi Sulaiman as.
                Pemindahan makna kata yang berasal dari makna bahasa ke makna syariat, merupakan pembahasan yang masyhur di kalangan ahli ushul fiqih dan ahli lughah (bahasa). Selain itu, al-Quran juga telah memindahkan pengertian bahasa dari berbagai kata ke makna syariat. Contohnya dapat dilihat pada kata-kata: shalat, haji, shaum, wudlu, syahadah fi sabilillah, jihad, kharaj, dzimmi, ‘usyur, dan lain-lain. Kata shalat misalnya, makna bahasanya adalah do’a. Sedangkan makna syariatnya adalah serangkaian perbuatan tertentu yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw, berupa ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
                Apabila terdapat satu kata yang memiliki dua makna –yakni makna menurut bahasa dan makna menurut syariat-, maka penggunaan berdasarkan makna syariat lebih kuat dan layak dipakai. Sedangkan jika kata tersebut akan diartikan berdasarkan makna bahasa, maka hal itu memerlukan adanya indikasi (qarinah)1.
                Begitu juga dengan kata Islam, atau muslim. Kata tersebut tidak bisa dimaknai melainkan ditujukan pada agama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw, dan ditempelkan kepada para pengikut Nabi Muhammad saw.
                Ide dialog antar agama berasal dari ideologi kapitalis, tidak ada asal- usulnya di dalam Islam. Mereka telah meletakkan agama Yahudi dan Nasrani, begitu juga agama-agama lain berdampingan dengan agama Islam, seakan-akan tidak ada perbedaan dengan agama Islam. Mereka berdalih dengan menggunakan ayat:
]لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ[
Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya. (TQS. al-Baqarah [2]: 285)

Mereka telah mengeksploitasi unsur-unsur yang sama (common platform) pada setiap agama, lalu menyerukannya kepada umat manusia. Tragisnya, propaganda dialog antar agama justru didukung oleh para ulama dan intelektual muslim.
                Apa yang dilakukan mereka amat bertentangan dengan apa yang diperbuat Rasulullah saw terhadap orang-orang kafir (penganut agama selain Islam). Beliau saw menjadikan orang-orang kafir sebagai sasaran dakwah Islam, mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Tidak jarang beliau berdialog dengan mereka, baik orang-orang kafir musyrik kota Makkah, maupun orang-orang Nasrani (penduduk Najran), begitu juga dengan orang-orang Yahudi (Madinah). Hal itu tampak pada ayat-ayat yang diturunkan berkenan dengan akidah, yang sebagiannya dilatarbelakangi oleh adanya dialog Rasulullah saw dengan mereka untuk mengajak mereka memeluk Islam. Dialog dan perdebatan yang dilakukan Nabi saw dilandasi sikap dasar, bahwa Islam adalah ajaran yang benar, sedangkan selain Islam adalah ajaran/agama yang bathil!
                Apakah mereka yang terhasut propaganda dialog antar agama memiliki landasan seperti itu, ataukah mereka hanya mencari-cari ‘unsur-unsur yang sama’ dalam setiap agama, lalu itulah yang mereka dakwahkan? Jika itu yang dilakukan mereka, berarti jalan yang mereka tempuh berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Perhatikanlah bagaimana interaksi Rasulullah saw dengan para raja atau pemimpin kufur. Tiada lain mengajak mereka memeluk Islam. Beliau saw mengirimkan surat kepada Hiraklius, kaisar Romawi:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maham Penyayang. dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya, kepada Hiraklius, pembesar Romawi. Semoga keselamatan atas siapa saja yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya aku menyeru engkau dengan seruan (untuk memeluk) Islam. Islam-lah engkau, niscaya engkau selamat. Allah akan memberikan kepadamu pahala dua kali lipat. (Namun) jika engkau berpaling, maka engkau akan ikut menanggung dosa para petani (rakyat)2.

                Dengan gegabah mereka memotong pengertian ayat al-Quran, sebagai dalih untuk mempropagandakan unsur-unsur yang sama (kalimatun sawa).
]قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ[
Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, marilah kita menuju pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antyara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah yang tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagai tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah kami adalah orang-orang muslim’. (TQS. Ali Imran [3]: 64)

Walhasil, kita tidak bisa membiarkan mereka berada di dalam kekafiran dan kesesatan. Kita justru berkewajiban untuk menjelaskan kepada mereka bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Dan Allah memerintahkan mereka untuk meninggalkan keyakinan mereka yang keliru, untuk kemudian beralih memeluk Islam.
                Yang memprihatinkan lagi, mereka yang terlibat dalam propaganda dialog antar agama menolak untuk berdebat dengan peserta agama-agama lain. Meraka malah menyerang balik dengan melontarkan argumen:
]وَلاَ تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ[
Janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik. (TQS. al-Ankabut [29]: 46)

Secara sengaja mereka tidak melanjutkan ayat tersebut secara sempurna:
]إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ[
Kecuali dengan orang-orang zhalim diantara mereka. (TQS. al-Ankabut [29]: 46)

                Masalahnya adalah, apakah ada orang yang lebih zhalim dari pada orang-orang yang mewakli negara kafir, yang turut serta di dalam forum dialog antar agama atau dialog antar peradaban? Bukankah negara-negara kafir yang mensponsori mereka adalah negara-negara yang terlibat di dalam pembantaian kaum Muslim, baik itu perang Teluk, Bosnia Herzgovina, Kosovo, Albania, Afghanistan, Palestina, Irak, Kashmir dan lain-lain?
                Dialog antar agama adalah dialog yang dipaksakan negara-negara kafir Barat atas negeri-negeri muslim yang lemah. Tujuannya tiada lain untuk melepaskan akidah Islam dari benak kaum Muslim, menghilangkan sikap keras/tegas terhadap orang-orang kafir, melenyapkan makna jihad fi sabilillah, menumbuhkan apa yang mereka sebut sebagai ‘ukhuwah basyariyah’ (persaudaraan sebagai sesama manusia) yang notabenenya tidak ada di dalam Islam, memaksa kaum Muslim untuk menerima ide-ide pluralisme, perdamaian (menurut versi Barat), memelihara HAM (versi Barat), dan menjaga kepentingan-kepentingan Barat lainnya.
                Kaum Muslim harus bersikap waspada terhadap cara-cara licik yang dikemas dengan berbagai slogan manis, padahal isinya adalah racun yang mematikan!



MAKNA BAHASA, ISTILAH DAN SYAR’I

Di dalam bahasa Arab sering dipakai makna menurut bahasa, menurut istilah atau menurut syariat. Apa sesungguhnya yang disebut dengan ketiga istilah itu, dan bagaimana kita memaknai dengan tepat suatu kata berbahasa Arab?

                Hukum-hukum Islam bersumber dari sumber utama, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya adalah berbahasa Arab. Adakalanya suatu hukum itu diambil berdasarkan penggalian (istinbath) terhadap sumber-sumber syariat tersebut. Oleh karena itu orang yang ingin memahami hukum-hukum Islam, apalagi melakukan penggalian hukum, mutlak diperlukan kepiawaian dalam tata bahasa Arab. Jika tidak, besar kemungkinan akan terjerumus dalam kekeliruan, yang berujung pada kesesatan.
                Disini tidak berlaku pemeo ‘apalah arti sebuah nama’, karena justru di dalam kajian hukum Islam, kata itu sendiri amat bermakna. Hal ini juga disadari oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka secara sengaja melakukan pemutarbalikkan kata/istilah, sekaligus mendistorsi pengertian tertentu yang berasal dari kata berbahasa Arab yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, makna kata tersebut hilang ‘gregetnya’, dan tidak memiliki dampak hukum apapun terhadap kaum Muslim, meski sesungguhnya kata tersebut memiliki makna syariat.
                Contoh pemutarbalikkan dan pendistorsian kata/istilah adalah memalingkan makna kata yang bersifat syar’i menjadi bermakna bahasa yang tidak memiliki implikasi hukum. Misalnya, kata jihad yang diartikan secara syariat sebagai al-qital atau al-ghazwu (perang dan bertempur) dipalingkan artinya ke makna bahasa yaitu bersungguh-sungguh. Sehingga orang yang membangun disebut dengan jihad, orang yang sungguh-sungguh belajar juga termasuk jihad, seorang isteri yang berbakti kepada suaminya juga termasuk jihad, seorang guru yang rajin mengajar juga dianggap berjihad. Padahal, jihad adalah kewajiban yang terhadap pelakunya diganjar dengan pahala yang sangat besar, dan orang yang gugur di medan jihad termasuk sebagai syahid yang memiliki implikasi-implikasi hukum lainnya. Itu semua karena jihad fi sabilillah –menurut syariat- dimakna sebagai perang melawan orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah. Yang berbahaya justru lama kelamaan kaum Muslim menganggap lebih baik menyibukkan diri dengan membangun, mengajar, belajar, mengurusi rumah tangga, bekerja, dari pada berjihad fi sabilillah membantu saudara-saudara sesama muslim yang negerinya dicaplok oleh negara-negara kafir.
Kata Islam, yang arti menurut syariatnya adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, dipalingkan artinya menjadi makna menurut bahasa, yaitu berserah diri atau tunduk/patuh. Artinya –menurut pihak yang menyelewengkan arti ini- para penganur agama Yahudi, Nasrani, bahkan orang-orang Budha dan Hindu pun adalah orang-orang muslim (yaitu berserah diri kepada Tuhan). Muaranya adalah munculnya persepsi keliru dimana semua agama itu sama, karena berasal dari para Nabi. Dan banyak lagi istilah/kata yang dengan sengaja diselewengkan pengertiannya, dari pengertian menurut syariat menjadi pengertian menurut bahasa.
                Pemutarbalikkan pengertian dari suatu kata tidak boleh terjadi, karena kata adalah untaian huruf yang memiliki arti atau makna-makna tertentu yang tidak bisa ditujukan pada selain yang dimaksudkannya. Al-Quran memaparkan contoh ‘salah kaprah’ yang dipakai oleh orang-orang Arab waktu itu dengan menyamakan istilah/kata riba dengan bai’ (jual beli). Firman Allah Swt:
]الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

Islam melarang penggunaan istilah dengan makna yang tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya dari istilah tersebut1.
                Orang-orang Arab di dalam mengungkapkan makna menemouhnya melalui berbagai bentuk (ungkapan), yaitu: hakikat (arti sebenarnya), majaz (kata kiasan), ta’rib (Arabisasi dari kata lain), dan isytiqaq (pecahan kata)2. Hakikat ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hakikat lughawiyah (menurut makna bahasa), hakikat ‘urfiyah (menurut makna istilah/kebiasaan orang), dan hakikat syar’iyah (menurut makna syara).
                Hakikat (arti yang sebenarnya) yaitu lafadz-lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan makna yang ada di dalam benak manusia. Apabila lafadz yang diciptakan itu digunakan untuk makna yang telah dibuat oleh ahli bahasa, maka disebut dengan hakikat lughawiyyah. Contohnya adalah bahr berarti laut, asad berarti singa.
Apabila makna yang telah diciptakan itu digunakan untuk selain makna asalnya (bukan arti yang sebenarnya), yakni dipindahkan dari makna lughawi menuju makna lain, maka perlu diperhatikan beberapa hal. Jika pemindahan makna tersebut disebabkan adanya ‘urf (kebiasaan) maka dinamai dengan hakikat ‘urfiyah. Misalnya kata dâbbah yang asalnya diciptakan untuk menunjukkan arti setiap makhluk yang berjalan di muka bumi, mencakup manusia dan hewan. Akan tetapi kebiasaan ahli bahasa (‘urf) digunakan untuk hewan yang berkaki empat. Implikasinya, makna yang pertama dijauhi. Contoh lain adalah kata al-ghaith yang pada asalnya diciptakan untuk memberikan arti tempat yang rendah di permukaan bumi. Tetapi kemudian lebih populer -menurut kebiasaan ahli bahasa- dan digunakan untuk benda yang menjijikkan (faeses) yang keluar dari dubur. Contoh yang pertama adalah nama yang diciptakan untuk makna umum, kemudian menjadi khusus sesuai dengan kebiasaan penggunaan ahli bahasa pada sebagian maknanya. Sedangkan contoh kedua adalah nama yang dibuat untuk suatu makna yang kemudian lebih populer digunakan untuk makna lain karena adanya kebiasaan ahli bahasa (‘urf).
Jika suatu kata/istilah memiliki pengertian bahasa, ‘urfi dan syar’i, maka yang didahulukan –berdasarkan urutannya- adalah: makna hakiki yang syar’i, kemudian makna hakiki yang ‘urfi, lalu baru makna hakiki lughah3. Dalam kasus semacam ini, penggunaan makna bahasa harus memerlukan adanya indikasi (qarinah). Contoh masyhurnya adalah kata shalat. Kata ini memiliki tiga jenis pengertian tadi. Kata shalat harus dimaknai berdasarkan makna syar’i –sesuai dengan skala prioritas pemaknaan-, yaitu serangkaian perbuatan yang didahului oleh takbir dan diakhiri dengan salam. Apabila shalat akan dimaknai menurut bahasa (lughah), hal ini memerlukan indikasi (qarinah). Contoh kata shalat yang bermakna do’a terdapat pada ayat:
]خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
[
Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 103)
e
Kata shalat pada ayat ini dimaknai dengan doa, bukan shalat menurut makna syar’i.
                 Bisa dibayangkan jika jihad hanya dimaknai dengan kerja yang sungguh-sungguh, bukan perang fi sabilillah; shalat diartikan sebatas doa, bukan serangkaian aktivitas ubidiyah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam; shaum yang dimaknai dengan menahan diri, bukan dilandasi dengan niat dan mengisinya dengan aktivitas ibadah; Islam dipersepsikan dengan kepasrahan diri, bukan agama/din yang diturunkan Allah kepada Muhammad saw yang berisi akidah dan syariat Islam yang wajib dijalankan oleh para pemeluknya; dan lain-lain.
Dengan demikian, kita bisa mengerti urgensitas penggunaan istilah syar’i dibandingkan dengan pemaknaan menurut bahasa, sehingga terhindar dari kesalahan di dalam menafsirkan teks nash al-Quran maupun hadits. Pemutarbalikkan makna dan pendistorsian makna yang dilakukan oleh segelintir orang yang menamakan dirinya ‘intelektual muslim modern’ pada hakekatnya merupakan bentuk penyesatan secara sengaja untuk menggiring umat Islam menjauhi pengertian yang benar terhadap suatu kata/istilah syar’i, yang pada akhirnya bertujuan untuk mengubur pelaksanaan syariat Islam dalam-dalam.



SIKAP ISLAM TERHADAP IDE NASIONALISME

Kaum Muslim terpecah belah dalam berpuluh-puluh negara, membangga-banggakan bangsanya masing-masing, dan menonjolkan ide tentang nasionalismenya lebih tinggi dibandingkan apa pun. Tidak jarang, nasionalisme dijadikan dalih untuk membela kepentingan orang sebangsa dengan mengabaikan bangsa lain, padahal sama-sama muslim. Bagaimana sikap Islam terhadap ide nasionalisme?

                Islam adalah agama yang bersifat universal. Allah Swt menurunkan dinul Islam kepada Muhammad saw, tidak lain ditujukan untuk seluruh umat manusia. Firman Allah Swt:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ[
Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (TQS. Saba [34]: 28)

Ayat ini menunjukkan kelayakan risalah Islam beserta hukum-hukum Islam di dalamnya bagi seluruh umat manusia, tanpa memperhatikan lagi ras, suku bangsa, bangsa, jenis kelamin, zaman (waktu), tempat dan sebagainya. Syariat Islam sangat layak bagi umat manusia di masa Rasulullah saw hidup, masa sekarang, maupun masa yang akan datang.
                Konsekuensi dari hal itu adalah kewajiban untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia, ke setiap orang yang tidak menganut agama Islam (orang-orang kafir). Rasulullah saw bersabda:

أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي كان كل نبي يبعث الى قومه وبعثت الى كل أحمر وأسود

Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Dahulu setiap Nabi diutus hanya untuk kaumnya, sedang aku diutus untuk setiap orang, baik yang berkulit merah maupun hitam (untuk seluruh umat manusia)…. (HR. Ahmad)

                Disamping itu, Allah Swt dan Rasul-Nya mempersaudarakan sesama muslim, tanpa melihat lagi bangsa, suku, maupun tempat tinggalnya. Dan kenyataan ini merupakan nikmat tersendiri bagi kaum Muslim yang dianugerahkan Allah Swt.
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ[
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. (TQS. al-Hujurat [49]: 10)
]فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا[
Maka menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (TQS. Ali Imran [3]: 103)

Rasulullah saw bersabda:

المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه

Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya dizhalimi (oleh musuh). (HR. Bukhari dan Muslim)

ولا يقتل مؤمن مؤمنا في كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن و إن ذمة الله واحدة يجير عليهم أدناهم و أن المؤمنين بعضهم موالي بعض من دون الناس

Seorang mukmin itu tidak boleh membunuh orang mukmin lainnya karena (membela) orang kafir. Seorang mukmin tidak boleh menolong orang kafir untuk (melawan) orang mukmin. Sesungguhnya jaminan (perlindungan) Allah adalah satu, yang menjaungkau orang terendah dari mereka. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah penolong bagi sebagian lainnya. Mereka sangat berbeda dengan manusia lainnya1.

                Seruan Islam adalah seruan yang bersifat universal, yaitu menyelamatkan umat manusia dari kegelapan (kekafiran dan kemusyrikan) menuju cahaya (yaitu dinul Islam). Seruan ini tidak mungkin dipalingkan menjadi seruan yang bersifat kedaerah atau kebangsaan (qaumiyah).
                Nasionalisme merupakan ikatan yang dilandasi pada perasaan emosional manusia yang dimiliki secara bersama-sama dengan manusia lainnya di dalam suatu bangsa2. Ikatan ini lahir dari naluri untuk survive (untuk mempertahankan diri), perasaan senasib dan sepenanggungan, yang mendorongnya untuk melahirkan perlawanan dan keinginan untuk memimpin. Ikatan ini bukan lahir dari suatu pemikiran (ide). malah bisa dikatakan bahwa ikatan nasionalisme itu kosong dari pemikiran.
                Islam telah mengharamkan propaganda kepada nasionalisme (ashabiyah, yakni fanaitsme golongan) maupun kebangsaan (qaumiyah). Islam telah mencela nasionalisme dengan kata-kata yang sangat menjijikkan, sehingga tidak patut dijadikan pengikat bagi kaum Muslim. Celaan-celaan terhadap fanatisme golongan, termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme dilontarkan sendiri oleh Rasulullah saw:

من دعا إلى عصبية فليس منا

Siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk kita (kaum Muslim). (HR. Abu Daud)

                Islam memasukkan orang-orang yang tengah berperang dan menyerukan ashabiyah, lalu mati, maka matinya sama dengan mati dalam keadaan jahiliah. Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw:
ومن قاتل تحت راية عمية يغضب لعصبية أو يدعو إلى عصبية أو ينصر عصبية فقتل فقتلة جاهلية
Siapa saja yang berperang di bawah panji kejahilan, dia marah karena ashabiyah, atau menyerukan ashabiyah, atau ikut menolong (membantu) dalam rangka ashabiyah, lalu dia mati, maka matinya adalah mati jahiliah. (HR. Muslim)

Seruan kepada nasionalisme atau kebangsaan termasuk seruan-seruan jahiliah, karena pada masa jahiliah, ikatan kesukuan berada di atas segalanya, mengalahkan kebenaran. Berbangga-bangga dengan seruan jahiliah juga dikecam oleh Rasulullah saw, dan dikelompokkan sama dengan hewan-hewan yang menjijikkan yang pekerjaannya mengais-ngais tumpukan sampah, sebagaimana sabdanya:
من تعزى بعزاء الجاهلية فأعضوه هن أبيه ولا تكنوه
Siapa saja yang berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah, maka hendaklah kalian menyuruh mereka menggigit kemaluan bapaknya, dan janganlah kalian mengatakan hal itu secara samar-samar. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thabrani)
لينتهين أقوام يفتخرون بأبائهم أو ليكونن أهون على الله من الجعل يدهده النتن بأنفه
Sungguh hina dina kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka. Atau mereka itu akan benar-benar menjadi lebih hina di sisi Allah dari pada seekor ju’al (sejenis hewan) yang mengais-ngais sampah dengan menggunakan hidungnya. (HR. Ahmad dan Thabrani)

                Ide nasionalisme adalah ide yang asing bagi kaum Muslim. Ide ini diusung oleh peradaban Barat kafir ke negeri-negeri muslim pada awal masa penjajahan Barat (sekitar abad ke-16). Manuver kaum imperialis itu menjadi satu bagian dari serangan mereka di bidang pemikiran terhadap kaum Muslim. Di satu sisi mereka secara politis dan militer memperlemah kekuatan dan kekuasaan negara Khilafah Islamiyah Utsmaniyah dengan cara menjajah dan mengkapling-kapling negeri-negeri Islam yang satu, menjadi puluhan negara jajahan. Di sisi lain mereka menjejalkan ke dalam benak pemikiran kaum Muslim perasaan/sentimen kedaerahan, kesukuan, dan kebangsaan. Tujuannya untuk memecahbelah kaum Muslim, dan menjauhkan umat Islam dari kebangkitannya di bawah naungan negara yang satu, yaitu negara Khialafah Islamiyah.
                Siapa saja yang mengkaji sejarah Islam di masa negara Utsmaniyah, dan mencermati langkah-langkah imperialis kafir di negeri-negeri muslim yang dijajah mereka, akan menjumpai penyebarluasan propaganda kebangsaan atau nasionalisme. Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri Mesir dan peradaban Fir’aun sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir; mereka juga yang mempropagandakan sentimen ke-Melayuan, ke-India-an, ke-Pakistan-an, ke-Indonesia-an, dan lain-lain. Kaum imperialislah yang berada di belakang tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalisme di dunia Islam. Kaum imperialis meninggalkan wilayah jajahannya dengan menanam benih-benih yang bakal mereka panen di kemudian hari.
                Kita juga akhirnya mengerti bahwa kemerdekaan banyak bangsa –yang seluruhnya adalah kaum Muslim- pada periode tahun 1940-an dan 1950-an merupakan panen pertama bagi para penjajah; yaitu terhalangnya umat Islam oleh dinding yang sangat tebal untuk bangkit kembali menjadi sebuah peradaban besar di bawah satu bendera, bendera negara Khilafah. Umat Islam terpecah belah menjadi puluhan negara, yang memiliki banyak pemimpin/penguasa, berbeda-beda UU dan konstitusinya, padahal agama mereka satu, Tuhan mereka juga satu, dan peraturan mereka (yakni syariat Islam) juga satu. Lalu, atas dasar apa mereka berpecah belah dan terkotak-kotak menjadi puluhan negara?
                Berdasarkan hal ini, nasionalisme atau sentimen kebangsaan, kesukuan, golongan, ras dan sebagainya tidak mempunyai tempat di dalam Islam, dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Ikatan yang harus kita tumbuhkan di tengah-tengah masyarakat muslim adalah ikatan ukhuwah Islamiyah, yaitu ikatan yang menyatukan seluruh orang muslim berdasarkan akidah dan sistem (hukum) Islam yang diterapkan secara praktis di dalam Daulah Islamiyah. Selain ikatan Islam adalah bathil!
]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
[
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (TQS. Ali Imran [3]: 85)



1 Fairuz Zabâdi., al-Qamus al-Muhith., p.496., Darul Fikr., 1999
2 Ibnu Katsir., Tafsir al-Quran al-‘Azhim., jld III/512., Darul Fikr.
1 al-Qasimi., Min Mahasini at-Takwil, Mukhtashar Tafsir al-Qasimi., p. 6., Darun Nafaais
2 Taqiyuddin an-Nabhani., al-Khilafah., p. 3; Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid II/15., Darul Ummah
3 al-Juwaini., ath-Thariq ila al-Khilafah., p. 19., Darun Nahdlah al-Islamiyah
4 Fairuzzabadi., al-Qamus al-Muhith., p. 727., Darul Fikr
1 Ibnu al-Manzhur., Lisan al-Arab., jilid IV/298
2 Ibnu al-Manzhur., Lisan al-Arab., jilid IV/298
3 al-Kassani., Bada’i ash-Shana’i., jilid VII/130., Darul Kitab al-Arabi
4 ar-Ramli., Nihayah al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj., jilid VIII/82., Darul Fikr
5 Ibnu al-Qayyim., Ahkam Ahlu adz-Dzimmah., p. 366., Darul Ilmi lil Malayin
1 Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid II/232., Darul Ummah
2 Ibnul Qayyim., Ahkam Ahlu adz-Dzimmah., Darul Ilmi lil Malayin
3 Muhammad Khair Haekal., al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah., jilid I/701., Darul Bayariq
4 Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid II/234., Darul Ummah

1 as-Sarkhasi., Syarh as-Siyar al-Kabir., jilid I/140; Ibnu Qudamah., al-Mughni., jilid V/516; al-Kassani., Bada’i ash-Shana’i., jilid V/281
2 Abdul Qadim Zallum., al-Amwal fi Daulati al-Khilafah., p. 67., Darul Ilmi lil Malayin
3 Muhammad Hamidullah., Majmu’atu al-Watsaiq as-Siyasiyah., p. 98, 117-120., Darun Nafais

4 Ibnu Qudamah., al-Mughni., jilid VIII/445
1 Qamaruddin Shaleh., Asbabun Nuzul., p. 178., CV Diponegoro
1 Lihat Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid III/152-157
2 Muhammad Hamidullah., Majmu’ah al-Watsaiq as-Siyasiyah., p. 109., Darun Nafais
1 Muhammad Hussain Abdullah., Mafahim Islamiyah II., p. 10., Darul Bayariq
2 Atha bin Khalil., Taisir al-Wushul ila al-Ushul., p. 121., Darul Ummah
3 Muhammad Hussain Abdullah., Mafahim Islamiyah II., p. 8., Darul Bayariq
1 Ibnu Hisyam., Sirah Nabi saw., jilid I/501., Darul Fikr
2 Taqiyuddin an-Nabhani., Nizham al-Islam., p. 21., Hizbut Tahrir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar