DEFINISI POLITIK
DEFINISI
KHILAFAH DAN KHALIFAH
DARUL
ISLAM DAN DARUL KUFUR
KAFIR
HARBI, KAFIR MUSTA’MIN DAN AHLU DZIMMAH
JIZYAH DAN DZIMMAH
WAJIB
MENERAPKAN HUKUM ISLAM PADA ORANG KAFIR
KEBERADAAN
KEDUTAAN BESAR NEGARA-NEGARA KAFIR
DIALOG
ANTAR AGAMA
MAKNA
BAHASA, ISTILAH DAN SYAR’I
SIKAP ISLAM TERHADAP
IDE NASIONALISME
DEFINISI POLITIK
Banyak orang menganggap politik itu kotor. Benarkah
demikian? Sebenarnya apa sih yang dinamakan dengan politik? Lalu, apakah kita
–kaum Muslim- harus menjauhinya atau terjun di dalamnya?
Politik
adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, mencakup urusan mereka di
dalam maupun di luar negeri. Aktivitas politik diselenggarakan oleh negara dan
rakyat. Negara merupakan institusi yang secara langsung melakukan pengaturan
urusan rakyat, sedangkan rakyat berfungsi mengontrol negara.
Definisi
bersandar kepada fakta (kenyataan) yang ada tentang politik. Disamping itu,
definisi tersebut juga sesuai dengan arti menurut bahasa. Di dalam bahasa Arab,
politik atau yang biasa dikenal dengan kata siyâsah,
berasal dari kata: sâsa, yasûsu, siyâsah;
maknanya berarti mengatur urusan rakyat. Di dalam kamus al-Muhith1 dinyatakan: sustu ar-ra’iyah siyâsah (saya mengatur urusan rakyat dengan suatu
peraturan): amartuhâ wa nahaituha. Artinya,
saya mengatur/memelihara urusan rakyat dengan perintah dan larangan. Definisi
itu juga diperoleh dari hadits-hadits yang menggambarkan mengenai aktivitas
para penguasa, muhasabah (kritik)
yang dilakukan rakyat terhadap para penguasa, maupun kepedulian terhadap
hal-hal yang menyangkut kemaslahatan kaum Muslim.
Telah
diriwayatkan dari Abi Hazim, yang berkata: ‘Aku telah tinggal bersama-sama
dengan Abu Hurairah selama lima
tahun, dan aku mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits dari Rasulullah saw yang
bersabda:
«كانت
بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء ، كلما هلك نبي خلفه نبي ، وأنه لا نبي بعدي ، وستكون
خلفاء فتكثر ، قالوا : فما تأمرنا ؟ قال : فوا ببيعة الأول فالأول ، وأعطوهم حقهم
فإن الله سائلهم عما استرعاهم»
Dahulu,
urusannya bani Israil diatur oleh para Nabi. Setiap kali Nabi tersebut
meninggal (binasa) seketika digantikan oleh Nabi lainnya. Sesungguhnya tidak
ada lagi Nabi sesudahku. Dan kelak (sepeninggalku yang mengatur/memelihara)
adalah para Khulafa yang jumlah mereka itu banyak. Ditanyakan (oleh para
sahabat): ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Dijawab: ‘Bai’atlah
(Khalifah) yang pertama dan yang pertama. Dan serahkanlah kepada mereka hak-hak
mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang menjadi
urusan (dan tanggung jawab) mereka’. (HR. Muslim)
Sabda Rasulullah saw lainnya:
«ما
من عبد يسترعيه الله رعية لم يحطها بنصيحة إلا لم يجد رائحة الجنة»
Tidaklah
seorang hamba yang Allah serahkan kepadanya urusan kaum Muslim, kemudian ia
tidak mengaturnya dengan nasehat, kecuali tidak akan mencium bau surga. (HR.
Muslim)
«ما
من والٍ يلي رعية من المسلمين فيموت وهو غاش لهم إلا حرم الله عليه الجنة»
Tidaklah
seorang wali (penguasa) yang memerintah kaum Muslim, lalu ia mati sementara ia
mengabaikan urusan kaum Muslim, kecuali Allah mengharamkan kepadanya surga. (HR.
Bukhari)
«ستكون
أمراء فتعرفون وتنكرون، فمن عرف فقد برئ ومن أنكر فقد سلم إلا من رضي وتابع»
Akan ada para
pemimpin (umara) yang kalian kenali (kemudian kalian taati) dan (ada pula yang
kemudian) kalian ingkari. Barangsiapa yang mengetahuinya, maka ia terlepas, dan
barangsiapa yang mengingkarinya maka ia selamat. Kecuali orang yang meridhai
dan mengikutinya (mereka tidak selamat). (HR. Muslim dan Tirmidzi)
«من
أصبح وهمه غير الله فليس من الله، ومن أصبح لا يهتم بالمسلمين فليس منهم»
Barangsiapa
yang (bangun) pagi-pagi sementara dia tidak memikirkan (mempedulikan) urusan
kaum Muslim, maka ia tidak termasuk ke dalam golongan mereka. (HR.
Hakim)
Dari Jarir bin Abdullah berkata:
«بايعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقامة الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم»
Aku membaiat
Rasulullah saw untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta untuk
menasehati setiap Muslim. (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Hadits-hadits
tersebut diatas, baik yang berkitan dengan para penguasa yang mengendalikan
pemerintahan, atau pun yang berkait dengan umat sebagai pihak yang melakukan
koreksi terhadap para penguasa, atau juga yang berkait dengan kaum Muslim satu
dengan lainnya yang harus peduli terhadap kemaslahatan kaum Muslim dan untuk
saling nasehat menasehati; semua itu menjadi sumber istinbath (penggalian hukum) mengenai definisi politik (siyasah) yang bermakna
pengaturan/pemeliharaan urusan umat. Dengan demikian definisi tentang siyâsah dapat digolongkan sebagai
definisi yang syar’i, karena diistinbath dari
dalil-dalil syara, disamping memiliki implikasi hukum terhadap penguasa Muslim
maupun kaum Muslim.
Berdasarkan
definisi itu pula kita bisa menyatakan bahwa kotor atau tidaknya politik itu
sangat ditentukan oleh ideologi dan peraturan yang menjadi rambu-rambu di dalam
politik (yaitu di dalam pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan rakyat).
Apabila ideologi dan peraturan yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu
kehidupan berpolitik itu adalah ideologi dan peraturan kapitalis sekular, maka
itulah kenyataan yang saat ini dipraktekkan oleh para penguasa di negara-negara
Barat, dan diikuti oleh para penguasa muslim. Jika Islam dijadikan sebagai
ideologi dan dasar kehidupan bermasyarakat/bernegara dan syariat Islam
dijadikan sebagai sistem hukumnya, maka hadits-hadits Nabi saw diatas itulah
gambaran pelaksanaannya.
Sejak
runtuhnya negara Khilafah Islam dan dipaksakannya sistem hukum dan sistem
politik kufur di negeri-negeri Islam, warna politik Islam telah sirna.
Pemikiran politik Barat yang bersumber dari akidah (ideologi) kapitalisme
sekular telah menempati posisi yang sebelumnya di duduki oleh pemikiran politik
Islam. Kaum Muslim mesti menyadari bahwa pengaturan dan pemeliharaan
urusan-urusan kaum Muslim dengan Islam tidak mungkin terwujud kecuali dengan
berdirinya kembali Daulah Khilafah Islamiyah, sekaligus merekatkan dan
menyatukan kembali kaum Muslim dengan aktivitas politik yang bersumber dari
akidah Islam.
Para
penjajah kafir telah membius kaum Muslim dengan pemahaman sekular, yaitu
menjauhkan kaum Muslim dengan aktivitas politik, menjauhkan Islam dengan negara
dan aktivitas politik. Mereka berdalih bahwa aktivitas politik itu adalah dusta
dan kotor, sehingga tidak layak (agama) Islam ditempatkan di tempat-tempat yang
kotor. Islam adalah ajaran yang sakral dan harus dijauhkan dari aktivitas
politik. Maksud dari para penjajah adalah menjauhkan umat Islam dari aktivitas
yang bisa membangkitkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah
Khilafah Islamiyah. Mereka menyadari bahwa kekuatan kaum Muslim –secara ideologis
dan politis- justru terletak pada institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Bagi
mereka, tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah merupakan lonceng kematian
negara-negara kafir sekular dan sirnanya peradaban Barat yang selama ini mereka
agung-agungkan. Oleh karena itulah, mereka mencekoki kaum Muslim dengan
pemahaman yang keliru, yaitu menjauhkan umat Islam dari aktivitas politik.
Padahal,
politik adalah sesuatu yang netral. Ideologi dan interaksi yang diarahkan oleh
sistem hukum yang mengatur aktivitas politiklah yang menentukan apakah
aktivitas politik itu ‘bersih’ atau ‘kotor’.
Kepedulian
kaum Muslim terhadap politik dan kewajibannya untuk melakukan aktivitas politik
sudah dimulai sejak pertama kali diutusnya Rasulullah saw, yaitu pada saat
beliau membentuk ‘partai politik’ di kota Makkah. Beliau melakukan pengkaderan;
membina orang-orang yang telah memeluk Islam; membacakan ayat-ayat setiap kali
ayat-ayat tersebut beliau terima; menjawab dan memberikan solusi kepada para
sahabat-sahabatnya manakalah terdapat persoalan diantara mereka. Hal itu tampak
jelas dalam ayat-ayat yang diturunkan di kota
Makkah selama beliau membina para sahabat dan menyampaikan risalah Islam kepada
para penduduk Makkah.
Rasulullah
saw mencela dan menghujat para pembesar kota
Makkah yang kufur, paganisme (penyembahan berhala) bahkan dengan
berhala-berhalanya; mencela adat istiadat kafir –seperti mengubur anak
perempuan hidup-hidup-; menghina penipuan di dalam transaksi perdagangan
(timbangan); bahkan beliau dan para sahabat menunjukkan perhatian yang sangat
tinggi terhadap konstelasi politik internasional. Paling tidak hal itu
tercermin pada firman Allah Swt:
]غُلِبَتِ الرُّومُ%فِي أَدْنَى اْلأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ
غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ%فِي بِضْعِ سِنِينَ ِللهِ اْلأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ%بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ
وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ[
Telah
dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan
itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi itu)
bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (TQS.
ar-Rum [30]: 2-5)
Ayat diatas menjadi penjelas bagi para sahabat –saat
itu- yang berpolemik (berdiskusi) dengan orang-orang kafir Quraisy tentang
konstelasi politik internasional. Orang-orang musyrik lebih suka jika
kekaisaran Persia dapat mengalahkan
kerajan Romawi, sebab kekaisaran Persia adalah penyembah api dan
dekat dengan paganisme. Sementara kaum Muslim menyukai jika kerajaan Romawi
yang memenagkan peperangan melawan kekaisaran Persia, sebab mereka adalah ahli
kitab2.
Kaum
Muslim tidak akan mampu memikul dakwah Islam kepada bangsa-bangsa lain, atau
mencegah skenario jahat yang ditujukan kepada umat, jika kaum Muslim tidak
memahami secara global konstelasi politik internasional dan sikap dari
negara-negara besar terhadap mereka. Artinya, penyebarluasan risalah Islam ke
seluruh penjuru dunia, mengungkap makar jahat negara-negara kafir, melawan
skenario mereka, dan sejenisnya, merupakan kewajiban yang harus ditegakkan. Dan
hal ini tidak akan mungkin dapat diwujudkan tanpa memahami percaturan dan
konstelasi politik internasional.
Berdasarkan
hal ini, aktivitas politik adalah perkara yang wajib dipahami oleh kaum Muslim.
Kaum Muslim wajib terjun ke kancah perpolitikan, dengan menjadikan akidah Islam
sebagai dasar pijakannya dan syariat Islam –yang terkait dengan aktivitas
politik- sebagai rambu-rambunya. Hanya saja kewajiban untuk memperhatikan
politik dan pengaturannya harus selalu dikaitkan dengan perkara utama kaum
Muslim, yaitu melangsungkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah
Islamiyah, yang menjalankan aktivitas pemerintahannya berdasarkan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya, serta menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh pelosok
dunia melalui dakwah dan jihad fi
sabilillah. Ini adalah perkara yang menyangkut hidup matinya kaum Muslim.
DEFINISI KHILAFAH DAN KHALIFAH
Banyak orang sering mendengar kata Khalifah dan
Khilafah, apa sebenarnya pengertian dari Khalifah dan Khilafah itu? Dan apa
implikasinya terhadap kaum Mudlim?
Di
dalam al-Quran terdapat kata Khalifah yang diulang sebanyak dua kali.
Masing-masing pada surat al-Baqarah ayat 30, dan
surat Shâd ayat
29. Sebagai contoh, di dalam surat
al-Baqarah tercantum:
]إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً[
Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (TQS.
al-Baqarah [2]: 30)
Kata Khalifah disitu ditafsirkan sebagai saling
bergantinya kaum yang satu dengan kaum yang lain seiring dengan pergantian waktu1. Makna ini mengambil arti menurut
bahasa, yang sering dimaknai ‘yang dibelakang’, atau ‘pengganti yang kemudian’,
atau ‘yang menyusul’, dan sejenisnya.
Namun,
Khalifah dan Khilafah yang disinggung dalam pembahasan kita kali ini bukanlah
makna sebagaimana yang tercantum di dalam ayat-ayat al-Quran diatas. Khalifah
dan Khilafah yang dimaksudkan disini terkait dengan aspek politik.
Khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia2. Kata lain dari Khilafah adalah Imamah;
dimana Khilafah dan Imamah memiliki makna yang sama. Menurut Imam al-Haramain,
al-Juwaini, Imamah (atau Khilafah) adalah kepemimpinan yang sempurna dan
mencakup umum, yang berkait dengan perkara khusus maupun umum yang ada
hubungannya dengan agama maupun dunia, di dalamnya tercakup penjagaan atas
negeri-negeri (kaum Muslim), memelihara urusan masyarakat, menegakkan dakwah
melalui hujjah dan pedang (maksudnya jihad-pen),
mengatasi kezhaliman dan kesewenang-wenangan sekaligus mengganjar pelakunya
yang zhalim, serta memberikan hak-hak terhadap orang-orang yang terhalang
hak-haknya3.
Berdasarkan
hal ini maka Khilafah itu merupakan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem
hukum Islam atas seluruh rakyatnya, dan menyebarluaskan dakwah Islam dengan
dakwah (hujjah) dan jihad fi sabilillah ke seluruh penjuru
dunia.
Adapun
Khalifah adalah Sulthan al-A’zham4, yaitu kepala negara di dalam sistem
Khilafah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah
Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Hanya saja Umar
bin Khaththab lebih suka disebut dengan Amirul Mukminin, atau Ali bin Abi
Thalib yang lebih suka disebut dengan Imam. Semua itu memiliki makna yang sama
dengan Khalifah.
Rasulullah
saw telah memerintahkan kaum Muslim agar mereka mengangkat seorang Khalifah
setelah beliau wafat, yang dibai’at dengan bai’at yang syar’i, memerintah kaum
Muslim berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menegakkan syariat Allah,
serta berjihad bersama-sama kaum Muslim melawan musuh-musuh Allah. Beliau
bersabda:
«كانت
بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء ، كلما هلك نبي خلفه نبي ، وأنه لا نبي بعدي ، وستكون
خلفاء فتكثر ، قالوا : فما تأمرنا ؟ قال : فوا ببيعة الأول فالأول ، وأعطوهم حقهم
فإن الله سائلهم عما استرعاهم»
Dahulu,
urusannya bani Israil diatur oleh para Nabi. Setiap kali Nabi tersebut
meninggal (binasa) seketika digantikan oleh Nabi lainnya. Sesungguhnya tidak
ada lagi Nabi sesudahku. Dan kelak (sepeninggalku yang mengatur/memelihara)
adalah para Khulafa yang jumlah mereka itu banyak. Ditanyakan (oleh para
sahabat): ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Dijawab: ‘Bai’atlah
(Khalifah) yang pertama dan yang pertama. Dan serahkanlah kepada mereka hak-hak
mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang menjadi
urusan (dan tanggung jawab) mereka’. (HR. Muslim)
Lebih
dari itu, beliau saw memperingatkan kaum Muslim agar jangan sampai ada periode
(masa) dimana kaum Muslim hidup tanpa ada Khalifah, yang memimpin dan
mengatur/memelihara seluruh kaum Muslim. Apabila ada masa yang kosong dari
seorang Khalifah, maka kaum Muslim wajib segera untuk mengangkat Khalifah yang
baru (dan syar’i). Sabda Rasulullah saw:
من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa mati dan dipundaknya tidak membai’at
seorang Imam (Khalifah), maka matinya (seperti) mati (dalam keadaan) jahiliah.
Sabda Rasulullah saw lainnya:
فإن رأيت خليفة فألزمه و إن ضرب ظهرك فإن لم يكن خليقة فالهرب
Apabila
kalian menyaksikan seorang Khalifah, hendaklah kalian mentaatinya meskipun (ia)
memukul punggungmu. Sesungguhnya apabila tidak ada Khalifah akan terjadi
kekacauan. (HR. Thabrani)
Allah
Swt dengan tegas memerintahkan kita untuk mengangkat seorang Khalifah. Ini bisa
dimengerti dari ayat:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ[
Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
diantara kamu. (TQS. an-Nisa [4]: 59)
Tidak mungkin Allah Swt memerintahkan kita untuk
mentaati orang (institusi) yang tidak ada (gaib). Oleh karena itu ayat tersebut
bisa dipahami berupa perintah terhadap kaum Muslim untuk
mengadakan/mendirikannya terlebih dahulu (jika Khalifah atau institusi Khilafah
tidak ada), kemudian barulah mentaatinya. Sebab terdapat kaedah ushul yang
terkenal:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Suatu kewajiban tidak akan sempurna (dijalankan)
tanpa sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.
Dengan kata lain, kewajiban untuk mentaati ulil amri –dalam hal ini adalah Khalifah
kaum Muslim yang menerapkan sistem hukum Islam atas rakyatnya- tidak akan
sempurna bahkan tidak mungkin dilakukan tanpa keberadaannya, maka keberadaannya
itu hukumnya wajib pula.
Selama
lebih dari 13 abad sejak Rasulullah saw wafat, kaum Muslim telah menjaga dan
menjalankan amanat Rasulullah saw untuk selalu menjaga keberadaan Khalifah dan
institusi Khilafah. Ketika beliau wafat, kedudukannya sebagai kepala negara
digantikan oleh para Khulafa ar-Rasyidin, kemudian berganti dengan masa Khulafa
dari bani Umayah, lalu para Khulafa dari bani Abbasiyah, setelah itu para
Khulafa dari bani Utsmaniyah. Sampai kemudian, pada tahun 1924 M (1342 H),
insitusi Khilafah Islam berhasil dirobohkan oleh Mustafa Kamal Ataturk –seorang
Yahudi- dengan bantuan penjajah Inggris dan organisasi rahasia zionis, Free Masonri.
Dan diatas puing-puing reruntuhan Khilafah itu dibangun Republik Turki modern
yang sekular. Khalifah pertama adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra, dan Khalifah
yang terakhir adalah Sulthan Abdul Majid II. Artinya, kita –kaum Muslim- tidak
lagi memiliki institusi Khilafah lebih dari 80 tahun!
Tatkala
Rasulullah saw wafat, para sahabat Rasulullah saw (di Madinah) menyibukkan diri
dalam perkara yang paling urgen, yaitu memilih pengganti Rasul sebagai kepala
negara yang akan memimpin seluruh kaum Muslim, dan yang akan menjaga
pelaksanaan seluruh sistem hukum Islam. Mereka mendahulukan proses penggantian
dan pemilihan kepemimpinan ini dari pada menjalankan kewajiban lainnya (yang
juga dianjurkan untuk didahulukan), yaitu mengebumikan jenazah Rasulullah saw. Setelah
Abu Bakar terpilih, barulah jenazah Rasulullah saw dikebumikan. Hal itu
berlangsung tidak lebih dari tiga hari dua malam. Ini menunjukkan bahwa masalah
kepemimpinan, atau ke-Khilafahan, dan memilih serta mengangkat seorang Khalifah
(kepala negara) atas seluruh kaum Muslim merupakan kewajiban terbesar kaum
Muslim. Tidak pernah kaum Muslim –sepanjang sejarahnya yang telah lalu- kosong
dari kepemimpinan (seorang Khalifah).
Sayangnya,
setelah runtuhnya ke-Khilafahan terakhir (pada tahun 1924 M), umat Islam tidak
peduli lagi dengan keberadaan Khalifah dan institusi Khilafah. Ditambah lagi
keberhasilan peradaban Barat kafir mencuci otak kaum Muslim dengan ideologi
kapitalisme-sekular, dan memaksakan sistem pemerintahan demokrasi sekular atas
negeri-negeri kaum Muslim, hingga akhirnya kaum Muslim merasa bangga dengan
slogan-slogan dan pemikiran-pemikiran Barat yang sekular lagi kufur, seperti
demokrasi, liberalisme, HAM, dan sebagainya. Sementara itu, pemahahaman umat
Islam terhadap Khalifah dan institusi Khilafah, dari sisi kewajiban untuk
mendirikannya, telah sirna. Bahkan menyebutkan namanya saja keliru. Maka,
sebagaimana isyarat hadits diatas, jika institusi ke-Khilafahan lenyap, kaum
Muslim tertimpa kekacauan, bagaikan anak ayam kehilangan induk; tidak memiliki
pelindung/penjaga; tidak ada yang bisa mengatasi kezhaliman; tidak ada yang
bisa mengganjar pelaku yang zhalim; tidak ada negara yang bisa membalas dan
melawan para penjajah kafir yang menduduki negeri-negeri Islam; tidak ada yang
mampu membela penindasan dan pembantaian yang dialami kaum Muslim; tidak ada
yang bisa menghentikan arogansi negara-negara kufur; tidak ada yang
mempedulikan harta kekayaan negeri-negeri Muslim yang dirampas; tidak ada yang
memperhatikan, mengatur dan memelihara urusan-urusan kaum Muslim; tidak ada
yang menegakkan sistem hukum Islam; tidak ada yang menjalankan jihad fi sabilillah; dan tidak ada lagi
Darul Islam, tempat dimana di dalamnya setiap manusia akan merasakan keamanan
dan keadilan karena diterapkan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
Kenyataan-kenyataan
itu tidak akan menghilangkan status hukum untuk mewujudkan Khalifah serta
ke-Khilafahan. Sebab, apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tetap
hukumnya wajib hingga hari kiamat, betapapun pandangan manusia terhadap
perbuatan tersebut. Mentaati Khalifah adalah wajib, dan hal itu tidak mungkin
tanpa mendirikan terlebih dahulu institusi Khilafah Islam. Maka mengembalikan
lagi institusi Khilafah adalah kewajiban bagi kaum Muslim, bahkan termasuk
kewajiban yang paling besar. Melalaikan kewajiban yang diperintahkan Allah Swt
dan Rasul-Nya merupakan tindakan maksiat. Oleh karena itu meninggalkan
kewajiban terbesar sama artinya dengan terjerumus di dalam kemaksiatan yang
paling besar. Na’udzubillahi min dzalika.
DARUL ISLAM DAN DARUL KUFUR
Sebagian besar kaum Muslim tidak mengetahui apa yang
dinamakan dengan Darul Islam dan Darul Kufur. Sebagian lainnya malah enggan,
pobi sekaligus takut mendengar dan menyebut istilah tersebut. Apa sebenarnya
yang dinamakan dengan Darul Islam dan Darul Kufur?
Istilah
Darul Islam dan Darul Kufur, sebenarnya sangat masyhur dan populer di dalam
khasanah kitab-kitab fiqih Islam. Karena jauhnya pemahaman dan pergaulan kaum
Muslim dari khasanah tsaqafah Islam, maka mereka tidak mengenal lagi istilah
tersebut. Bahkan –untuk sebagian orang- merasa pobi dan takut karena nama
tersebut dikaitkan dengan gerakan-gerakan politik dan bersenjata. Belum lagi
stigma (cap buruk) yang ditempelkan pada istilah ini oleh para penguasa Muslim
maupun negara-negara kafir penjajah, untuk menjauhkan kaum Muslim dari
pemahaman yang benar tentang Darul Islam.
Di
dalam bahasa Arab, kata dâr memiliki
banyak makna, antara lain: al-‘arshah (halaman
rumah), al-bina (bangunan), al-mahallah (daerah/distrik). Jadi,
setiap tempat yang didiami oleh suatu komunitas manusia disebut dengan dâr-nya mereka1.
Dalam bentuk jamaknya kata dâr bermakna kabilah, juga bermakna balad (negeri)2.
Kata
dâr ini banyak dijumpai di dalam
al-Quran maupun hadits-hadits Nabi saw. Sebagai contoh misalnya:
]وَالدَّارُ اْلآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ
يَتَّقُونَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ[
Dan kampung
akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa, apakah kamu sekalian tidak
mengerti? (TQS. al-A’raaf [7]: 169)
]ذَلِكَ جَزَاءُ أَعْدَاءِ اللهِ النَّارُ
لَهُمْ فِيهَا دَارُ الْخُلْدِ جَزَاءً بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ[
Demikianlah
balasan (terhadap) musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat
tinggal yang kekal di dalamnya, sebagai pembalasan atas keingkaran mereka
terhadap ayat-ayat Kami. (TQS. Fushshilat [41]: 28)
Sabda Rasulullah saw:
أن رسول الله -صلعم- أتى المقبرة فقال السلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون
Sesungguhnya
Rasulullah saw pernah mendatangi pemakaman, kemudian beliau bersabda, ‘Assalamu’alaikum
dar qaumi mukminin, wa inna insya Allah bikum lahiqun’ (Semoga keselamatan tetap dilimpahkan kepada kalian, tempat kaum
mukminin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian). (HR.
Muslim)
Meskipun
demikian, terdapat nash (hadits) yang kemudian mengalihkan arti secara bahasa
tersebut menjadi arti yang syar’i, yaitu hadits:
«كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ B
إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ اَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَاتِهِ
بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ :
أغْزُوْا بِسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَّرَ بِاللهِ،
أغْزُوْا
وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَمْثُلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا، وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ اِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتَهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ
فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ
مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»
وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَمْثُلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا، وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ اِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتَهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ
فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ
مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»
‘Rasulullah
saw, apabila mengangkat seorang amir untuk memimpin tentara atau sariyah
(peperangan tanpa disertai Rasulullah-pen) beliau memberikan nasehat kepadanya
agar bertakwa kepada Allah, dan agar berbuat baik kepada orang-orang muslim
yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda: ‘Berperanglah dengan nama Allah di
jalan Allah, perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah. Berperanglah
tetapi janganlah kalian melampaui batas, janganlah kalian berkhianat, janganlah
kalian memotong-motong mayat, janganlah kalian membunuh anak kecil. Apabila
engkau bertemu dengan musuhmu dari orang-orang musyrik maka ajaklah mereka
kepada tiga hal atau pilihan. Dan pilihan apa saja yang mereka tentukan maka
terimalah, dan berhentilah kalian dalam memerangi mereka. Ajaklah mereka kepada
Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka
dan hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah mereka untuk merubah negara mereka
menjadi darul Muhajirin, dan beritahukan kepada mereka bahwa jika mereka
menerima hal itu, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
orang-orang muhajirin. Jika mereka menolak untuk merubah negara mereka menjadi
darul Islam, maka beritahukan kepada mereka bahwa kedudukan mereka seperti
orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim (yaitu) diterapkan hukum Allah atas
mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan
sedikitpun dari fai’ dan ghanimah kecuali jika mereka turut berjihad dengan
kaum Muslim. Apabila mereka menolak, maka pungutlah atas mereka jizyah, dan
jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau perangi mereka. Namun,
apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah
mereka. (HR. Muslim dan Ahmad)
Dengan
demikian, istilah Darul Islam –yang biasa disebut juga dengan Darul Muhajirin,
atau Darul Hijrah, atau Darul as-Salam- sebenarnya merupakan istilah yang
syar’i, karena memiliki implikasi hukum (tertentu) terhadap kaum Muslim.
Istilah tersebut biasa didengar dan diucapkan oleh kaum Muslim di masa
peradaban Islam mencapai puncak-puncaknya, dan banyak dijumpai di dalam
kitab-kitab fiqih.
Para fuqaha imam madzhab telah membahas pengertian Darul
Islam dan Darul Kufur, membuat definisinya dan menjabarkannya secara detail.
Imam al-Kassani menjabarkan pemahaman madzhab Hanafi tentang Darul Islam dan
Darul Kufur, bahwa Darul Kufur akan menjadi Darul Islam apabila (sistem) hukum
Islam berkuasa di negeri tersebut3.
Pendapat madzhab Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh ar-Ramli, menyebutkan
bahwa Darul Islam adalah jika penduduknya mampu melindungi diri dari serangan
musuh4. Sementara Ibnu al-Qayyim menukil
pendapat madzhab Hambali, bahwa jika negeri tersebut didiami oleh kaum Muslim
dan hukum-hukum Islam diterapkan disana5.
Dari
paparan hadits maupun penjelasan para fuqaha tersebut tampak adanya dua unsur
yang mendominasi istilah Darul Islam dan Darul Kufur. Dua unsur tersebut
adalah:
- Penerapan hukum-hukum Islam di tempat tersebut.
- Kekuatan Islam –yakni keamanannya- untuk menjaga/memelihara penduduknya dari ancaman musuh.
Jadi, Darul
Islam adalah negeri (wilayah) yang didalamnya diterapkan sistem hukum Islam,
dan (sistem) keamanannya berada di tangan Islam dan kaum Muslim. Negeri semacam
ini tidak akan pernah ada eksistensinya kecuali berbentuk Daulah Islamiyah atau
Khilafah Islamiyah. Dari sini pula kita bisa memahami bahwa negeri-negeri Islam
yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai ‘negara Islam’ atau
Darul Islam, pada hakekatnya bukan ‘negara Islam’, atau bukan Darul Islam.
Negara-negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Iran, Libia dan sejenisnya tidak termasuk
Darul Islam, karena sistem keamanan negara-negara tersebut tergantung dan
menggantungkan dirinya kepada Amerika Serikat, Inggris, atau Rusia, yang
notabenenya adalah negara kafir. Bahkan penerapan sebagian kecil hukum-hukum
Islam, seperti potong tangan bagi pencuri, atau rajam bagi pezina, atau hukum
qishash bagi pembunuhan yang disengaja, tidak bisa memasukkan negara-negara
tersebut ke dalam Darul Islam. Sebab, sebagian besar muamalah dan interaksi
mereka dalam bidang pendidikan, sosial, politik, militer, ekonomi dan
sejenisnya, merujuk kepada sistem hukum demokrasi sekular, bukan sistem hukum
Islam.
Sedangkan
Darul Kufur adalah negeri (wilayah) yang di dalamnya diterapkan sistem hukum
kufur, dan (sistem) keamanannya berada bukan di tangan Islam dan kaum Muslim.
Dari pengertian ini, Darul Kufur bukan hanya mencakup negara-negara kapitalis
Barat sekular seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Spanyol,
Jerman, Italia dan sejenisnya; melainkan juga negeri-negeri Muslim seperti
Uzbekistan, Pakistan, Irak, Mesir, Suriah, Malaysia, dan lain-lain. Jadi,
selama negeri tersebut tidak menerapkan sistem hukum Islam, meskipun mayoritas
penduduknya adalah kaum Muslim; atau sistem keamanannya tidak berada di tangan
Islam dan kaum Muslim; maka negeri tersebut tergolong Darul Kufur. Sebaliknya,
jika suatu negeri, meskipun kaum Muslim di dalamnya adalah minoritas,
menerapkan sistem hukum Islam, dan keamanannya berada di tangan Islam dan kaum
Muslim, maka negeri tersebut termasuk Darul Islam.
Pada saat ini,
kita tidak menjumpai adanya Darul Islam, meskipun di negeri-negeri Muslim. Yang
ada adalah Darul Kufur. Padahal kita –kaum Muslim- diperintahkan untuk merubah
negeri, tempat kita hidup, menjadi Darul Islam, sebagaimana yang dipaparkan
oleh hadits Rasulullah saw.
KAFIR HARBI, KAFIR MUSTA’MIN DAN AHLU DZIMMAH
Sebagian kaum Muslim menyikapi orang-orang kafir
sebagai pihak yang harus diperangi. Sebagian lainnya menganggap mereka sebagai
sahabat sebagaimana layaknya sesama kaum Muslim. Dan sebagian lainnya menjaga
jarak. Bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi orang-orang kafir?
Apabila
kita mengkaji ayat-ayat al-Quran maupun hadits-hadits Nabi saw yang berkaitan
dengan perlakuan terhadap orang-orang kafir, maka kita akan menjumpai nash-nash
yang secara sepintas tampak berlawanan, padahal hakekatnya tidak demikian.
Sebagai contoh, dijumpai ayat:
]وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ[
Dan bunuhlah
mereka (orang-orang kafir itu) dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. (TQS.
al-Baqarah [2]: 191)
]مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ[
Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir. (TQS. al-Fath [48]: 29)
Di sisi lain terdapat pula ayat:
]لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ
لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[
Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (TQS.
al-Mumtahanah [60]: 8)
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang sejenis,
demikian pula dengan hadits-hadits Rasulullah saw.
Untuk
mengetahui konteks dan obyek dari ayat-ayat maupun hadits-hadits seperti itu,
maka diperlukan pengkajian terhadap nash-nash syar’i. Kebodohan di dalam
memahami nash-nash semacam itu dapat berakibat pada tindakan sembrono dan
gegabah, yang berujung pada kesesatan dan kenestapaan.
Dari
berbagai pengkajian, para ulama telah menjabarkan maksud dan sasaran dari
nash-nash tersebut, kemudian mengeluarkan istilah-istilah untuk memudahkan kaum
Muslim membedakan dan menentukan sikap terhadap orang-orang kafir.
Istilah-istilah tersebut adalah: kafir
harbi, kafir musta’min, dan ahlu
dzimmah. Istilah-istilah ini sangat masyhur di dalam pembahasan hukum-hukum
Islam, terutama yang berhubungan dengan jihad
fi sabilillah. Lagi pula, masyarakat kaum Muslim dan negara (yaitu Daulah
Islamiyah saat itu) mempraktekkannya secara praktis, sehingga dengan sendirinya
sebutan kafir harbi, kafir musta’min atau
pun ahlu dzimmah bukanlah sesuatu
yang sangat asing.
Kafir harbi adalah setiap orang kafir
yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah)
kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid
atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min1. Mu’ahid sendiri adalah orang kafir yang
menjadi warga negara kafir yang memiliki perjanjian (mu’ahidah) dengan negara Khilafah. Negaranya dinamakan dengan
Daulah mu’ahidah (negara yang
memiliki perjanjian dengan negara Khilafah). Ibnul Qayyim menyebutnya dengan
istilah ahlu al-hudnah atau ahlu ash-shulhi2. Kadangkala disebut juga dengan al-muwadi’in3. Sedangkan kafir musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin
masuk (al-aman, semacam visa-pen), baik orang itu muslim atau pun kafir harbi4.
Ditinjau
dari aspek hukum, kafir harbi dibagi
menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman,
artinya secara de jure (secara hukum)
kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang
tengah berperang/memerangi kaum Muslim. Contoh kafir harbi hukman untuk saat ini adalah negara-negara kafir
seperti Mongolia, Brazil, Argentina dan sejenisnya. Sedangkan
contoh kafir harbi fi’lan adalah
Amerika Serikat, Israil, Inggris, Australia, Perancis, Rusia, India, China, dan
sejenisnya, yaitu mencakup negara-negara kafir yang menduduki negeri-negeri
kaum Muslim, memusuhi, mengusir atau memerangi kaum Muslim.
Adapun
ahlu dzimmah atau biasa dikenal juga
dengan kafir dzimmi, adalah setiap
orang yang tidak beragama Islam dan menjadi rakyat (warga negara) Daulah
Khilafah Islamiyah. Dan biasanya Daulah Islamiyah mempunyai akad dzimmah (perjanjian) dengan mereka.
Terhadap
kafir harbi muharibah fi’lan (yaitu
negara kafir yang de facto tengah
memerangi kaum Muslim), maka Daulah Islamiyah tidak dibolehkan melakukan
interaksi apapun kecuali jihad fi
sabilillah. Tidak diperkenankan membuka hubungan diplomatik, hubungan
dagang, atau perjanjian lainnya. Warga negara kafir harbi muharibah fi’lan tidak memperoleh jaminan keamanan
kecuali jika mereka datang ke Daulah Islamiyah untuk mendengarkan Kalamullah. Firman Allah Swt:
]وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ
مَأْمَنَهُ[
Dan jika
seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ke tempat yang aman baginya. (TQS. at-Taubah [9]: 6)
Pengecualian lainnya adalah jika orang itu datang
untuk menjadi warga negara Daulah Islamiyah (menjadi kafir dzimmi). Firman Allah Swt:
]قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ[
مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ[
Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS.
at-Taubah [9]: 29)
Terhadap
kafir harbi ghairu muharibah fi’lan (yaitu
negara kafir yang de facto tidak
sedang berperang dengan Daulah Islamiyah), maka dibolehkan melakukan interaksi,
seperti mengadakan perjanjian perdagangan, perjanjian untuk bertetangga baik.
Terhadap warga negaranya dibolehkan mengunjungi/memasuki wilayah Daulah
Islamiyah, baik untuk kepentingan dagang, melancong, atau keperluan lainnya
yang dibolehkan, sesuai dengan teks perjanjian bilateral (jika terikat dengan
suatu perjanjian)
Terhadap
kafir musta’min, maka atasnya
diberikan jaminan keamanan/perlindungan selama masa pemberian jaminan tersebut.
Masa pemberian jaminan keamanan tersebut bisa satu bulan, dua bulan atau tiga
bulan, selama tidak lebih dari satu haul
(satu tahun). Apabila masa tinggalnya sebagai kafir musta’min di dalam wilayah Daulah Islamiyah mencapai masa
satu tahun, maka atasnya diberikan dua pilihan; yaitu keluar dari wilayah
Daulah Islamiyah, atau menjadi kafir
dzimmi dengan membayar jizyah.
Sedangkan
terhadap ahlu dzimmah atau kafir dzimmi, maka berlaku sesuai dengan
akad dzimmah-nya. Atas mereka berlaku
hukum umum, yaitu:
لهم ما لنا وعليهم ما علينا
Apa yang menjadi hak kita (kaum Muslim) juga menjadi
hak mereka, begitu pula apa yang menjadi kewajiban kita –kaum Muslim- menjadi
kewajiban mereka (dalam hukum-hukum publik).
JIZYAH DAN DZIMMAH
Apa yang dimaksud dengan akad dzimmah yang biasa
dilakukan oleh Rasulullah saw dengan orang-orang (kabilah) kafir. Dan apa yang
dimaksudkan dengan jizyah, apakah jizyah sama dengan pajak yang dikenakan atas
orang-orang kafir?
Kata
dzimmah berarti perjanjian, atau
jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan
perjanjian (‘ahd) Allah dan
Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah
perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang
kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Implikasinya
adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam1. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non
muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk
memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka
membayar jizyah serta tetap berpegang
teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik.
Jizyah adalah hak yang Allah berikan
kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir, sebagai tanda tunduknya mereka
kepada Islam2. Apabila orang-orang
kafir itu telah memberikan jizyahnya,
maka wajib bagi kaum Muslim melindungi jiwa dan harta mereka.
Landasan
dikenakannya jizyah atas kafir dzimmi adalah ayat:
]قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ[
مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ[
Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka
tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh,
sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)
Di masa Rasulullah saw, beliau kerap kali melakukan
perjanjian berupa akad dzimmah dengan
berbagai kabilah. Beliau –misalnya- pernah melakukannya dengan Yahudi bani Adi
di daerah Taima, dengan Yahudi bani Aridl, dengan penduduk Ailah (di perbatasan
dengan Syam-pen), dengan penduduk
Jarba dan Adzrah, begitu pula dengan penduduk Maqna3, dan lain-lain.
Dari
Urwah bin Zubair, berkata bahwa Rasulullah saw telah menulis surat kepada penduduk Yaman, yang berbunyi:
ومن كان على يهوديته أو نصرانيته فإنه لايفتن عنها وعليه الجزية
Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi atau pun
Nasrani, maka ia tidak akan dipaksa (yakni dibiarkan memeluk agamanya itu-pen),
tetapi atasnya dikenakan jizyah.
Jizyah diambil dari orang-orang kafir dzimmi, baik mereka itu beragama
Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabiah, dan lain-lain. Jizyah diambil dari laki-laki kafir yang sehat akalnya dan telah
baligh; tidak diambil dari kalangan wanita, anak-anak, maupun orang gila. Jizyah dipungut setahun satu kali.
Besarnya
jizyah ditetapkan oleh Khalifah dan
menjadi otoritas Khalifah dalam pengelolaannya. Rasulullah saw tatkala mengutus
Mu’adz bin Jabal ke Yaman, menetapkan jizyah
sebesar satu dinar. Umar bin Khaththab ra menetapkan jizyah dari penduduk Syam dan Mesir yang tergolong kaya sebesar
empat dinar, yang kehidupannya menengah dua dinar, dan yang kehidupannya
sederhana tetapi berpenghasilan satu dinar. Terhadap penduduk Irak, beliau
menetapkan 48 dirham bagi yang kaya, 24 dirham bagi yang menengah dan 12 dirham
bagi yang kehidupannya biasa-biasa saja. Banyak kasus di masa ke-Khilafahan
Islam, dimana Daulah Islamiyah membebaskan sama sekali kafir dzimmi dari kewajiban jizyah,
disebabkan mereka fakir atau miskin (karena tidak mampu); atau pada kasus dimana
Daulah Islamiyah tidak mampu memberikan perlindungan dan jaminan keamanan atas
harta dan jiwa mereka, terutama di daerah-daerah perbatasan negara. Dengan
demikian jizyah itu tidak sama dengan
pajak pada sistem kapitalis.
Disamping
kafir dzimmi memenuhi kewajibannya,
yaitu membayar jizyah dan tunduk
terhadap syariat Islam (yang terkait dengan hukum-hukum publik), maka mereka
berhak memperoleh hak-haknya, antara lain: bebas memeluk agamanya dan
menjalankan aktivitas ibadahnya, terjaga harta dan jiwanya, memperoleh hak-hak
yang sama dengan kaum Muslim sebagai warga negara (seperti hak memperoleh
jaminan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain yang menjadi kewajiban
negara). Ali bin Abi Thalib pernah berkata: ‘Ahlu dzimmah membayar jizyah agar harta mereka sama seperti harta
kita dan nyawa mereka seperti nyawa kita’4.
Berdasarkan
hal ini, kehidupan kafir dzimmi di
dalam Daulah Islamiyah bisa dikatakan memperoleh kesejahteraan dan keadilan
pada tingkat yang paling tinggi yang pernah dijumpai di dalam sejarah peradaban
manusia. Sebab, tidak ada lagi diskriminasi dalam pelaksanaan hukum, atau
diskriminasi dalam memperoleh hak-hak publik (kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
dan lain-lain).
Siapa saja yang mengkaji sejarah umat manusia akan
menjumpai bahwa keadilan dan perlakuan Islam terhadap kafir dzimmi tiada bandingannya, bahkan tidak dijumpai pada
peradaban Barat masa sekarang. Bangsa Amerika yang dielu-elukan kehebatannya
dalam demokrasi dan HAM, hingga saat ini masih bersikap diskriminatif terhadap
warga negaranya sendiri yang berkulit hitam maupun keturunan hispanik, apalagi
perlakuan mereka terhadap kaum pendatang yang nota benenya muslim. Kita belum
lagi lupa bagaimana perilaku orang-orang Kristen ortodoks Serbia dan Kroasia terhadap kaum Muslim Bosnia
dan Herzegovina.
Perlakuan bangsa China
terhadap kaum Muslim di propinsi Xinjiang yang dihuni etnis Uyghur (yang
mayoritas muslim). Atau perlakuan orang-orang Hindu di India terhadap kaum
Muslim (terutama di daerah Kashmir). Gambaran
kaum kristen yang pendendam dan pembenci terhadap kaum Muslim juga sangat
nyata, menghiasai lembaran-lembaran sejarah. Tengok saja bagaimana kerajaan
Aragon dan Castilia di Andalusia (Spanyol dan Portugal) sebelum abad-abad
pertengahan membantai kaum Muslim selama puluhan tahun, mencari, mengejar,
menyiksa, dan membunuh mereka tanpa belas kasihan. Saat itu dikenal adanya
mahkamah inquisisi, yang mengultimatum kepada kaum Muslim yang tertangkap
pilihan (1) murtad, atau (2) disiksa lalu dibunuh. Pemandangan semacam itu
sangat kontras di dalam kehidupan Daulah Abbasiyah yang memerintah kawasan Andalusia selama delapan abad, sehingga para sejarawan
Eropa menjulukinya sebagai ‘the golden age of human’.
Lalu, adakah bukti-bukti sejarah dimana kaum Muslim
(atau Daulah Islamiyah) memperlakukan orang-orang non muslim secara
diskriminatif? Tidak ada, yang ada justru sebaliknya, mereka –orang-orang kafir
dan negara-negara kafir Barat maupun Timur- memperlakukan kaum Muslim yang
hidup di negara-negara mereka secra diskrimanatif. Jadi, apa maksud propaganda
toleransi beragama yang mereka tujukan kepada kaum Muslim selama ini? Bukankah
propaganda semacam itu lebih tepat ditujukan bagi mereka?
WAJIB MENERAPKAN HUKUM ISLAM PADA ORANG KAFIR
Selama ini banyak orang memahami bahwa hukum-hukum
Islam ditujukan khusus bagi kaum Muslim, bukan orang-orang kafir. benarkah
pemahaman seperti ini?
Seorang
muslim, siapappun dan dimanapun berada, wajib terikat dengan seluruh
hukum-hukum Islam. Allah Swt berfirman:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[
Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada pilihan
(selain hukum Islam) tentang urusan mereka. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)
Artinya, setiap muslim terikat dengan keharusan
untuk menjalankan hukum-hukum Islam, baik yang berhubungan dengan ibadah,
pakaian, makanan-minuman, maupun yang berhubungan dengan interaksi sosial,
ekonomi, politik, dan sejenisnya. Orang yang mengaku muslim dilarang untuk
merujuk/menerapkan sistem hukum selain Islam.
Di
dalam kehidupan Daulah Islamiyah, orang-orang kafir (dzimmi maupun musta’min),
sesuai dengan akad dzimmah dengan
negara Khilafah, dibolehkan menjalankan hukum-hukum yang berhubungan dengan
akidah dan ibadah (termasuk tentang makanan, minuman, perkawinan, kematian dan
sejenisnya) menurut hukum-hukum agama mereka, asalkan tidak menampakkan
syi’ar-syi’ar agama mereka di hadapan kaum Muslim. Hal ini sesuai dengan makna
dari hadits Rasulullah saw:
ومن كان على يهوديته أو نصرانيته فإنه لايفتن عنها وعليه الجزية
Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi atau pun
Nasrani, maka ia tidak akan dipaksa (dibiarkan memeluk agamanya itu-pen),
tetapi atasnya dikenakan jizyah.
Lagi pula Allah Swt memberikan
kepada mereka kebebasan untuk memeluk akidahnya:
]لاَ إِكْرَاهَ فِي
الدِّينِ[
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)
Namun,
dalam perkara yang menyangkut hukum-hukum publik, yaitu interaksi kafir dzimmi dengan kaum Muslim, baik dalam
bidang ekonomi, sosial, peradilan, dan sejenisnya, maka atas mereka
(orang-orang kafir dzimmi)
diberlakukan hukum-hukum Islam. Mereka, sebagai warga negara Daulah Islamiyah,
kedudukannya sama dengan kaum Muslim, yang juga sebagai warga negara Daulah
Islamiyah. Firman Allah Swt:
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ
وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ[
مِنَ الْحَقِّ[
Maka
putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan (hukum Islam),
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
(hukum Islam) yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)
]إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ[
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili anatara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. (TQS.
an-Nisa [4]: 105)
Ayat ini berbentuk umum, mencakup kaum Muslim maupun
non muslim. Karena kalimat –li tahkuma
baina an-nâs- berbentuk umum.
Berdasarkan
hal ini, dalam hukum-hukum publik, Daulah Islamiyah memberlakukan satu sistem
hukum, yaitu hukum Islam. Dan ini diberlakukan atas seluruh warga negara, baik
muslim maupun non muslim.
Meskipun
demikian, dalam kasus, jika datang (dari negara kufur) orang-orang kafir yang
mengadukan perselisihan (permasalahan) yang mereka hadapi dengan sesama orang
kafir lainnya, lalu mereka meminta negara Khilafah memutuskannya, maka dalam
hal ini Daulah Islamiyah akan memberikan kepada mereka pilihan, apakah dihukumi
berdasarkan hukum-hukum Islam, atau bukan. Firman Allah Swt:
]فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ[
Jika mereka
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari
mereka, maka mereka tidak memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (TQS.
al-Maidah [5]: 42)
Sebab-sebab turunnya ayat diatas –sebagaimana
penuturan Imam Baihaqi- bahwa seorang laki-laki dari (daerah) Fadak telah
berzina. Orang-orang Fadak menulis surat
kepada orang-orang Yahudi di Madinah, supaya mereka bertanya kepada Rasulullah
saw tentang hukuman terhadap orang yang berzina itu. Jika ia memerintahkan
dijilid (dicambuk), maka diterima; tetapi jika memerintahkan dirajam, tidak
diterima. Orang-orang Yahudi di Madinah bertanya kepada Nabi saw. Beliau
memerintahkan agar orang itu dirajam1.
Tidak lama kemudian diturunkanlah ayat diatas.
Jadi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan
orang-orang Yahudi yang mengajukan dan meminta keputusan kepada Nabi saw.
Komunitas orang-orang Yahudi itu sebagai suatu kabilah, dianggap sama dengan
komunitas masyarakat negara lain, dimana antara Rasulullah saw dan mereka
terdapat perjanjian (mu’ahadat). Oleh
karena itu, faktanya berbeda dengan orang-orang kafir (dzimmi) yang hidup di dalam Daulah Islamiyah (sebagai warga
negara), atau orang kafir musta’min
yang datang dan masuk ke wilayah Daulah Islamiyah seraya menerima sistem hukum
Islam yang berlaku di wilayah tersebut. Apabila orang-orang kafir dzimmi dan musta’min ini menolak untuk dihukumi dengan hukum-hukum Islam, maka
Khalifah harus memaksa mereka untuk tunduk.
Rasulullah saw pernah menulis surat
kepada penduduk Najran yang bergama
Nasrani, dengan kalimat:
إن من بايع منكم بالربا فلا ذمة له
Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang melakukan
transaksi (jual beli) dengan riba, maka tidak ada lagi perlindungan (dzimmah)
atasnya.
Kedudukan penduduk Najran saat itu adalah menjadi
bagian dari Daulah Islamiyah, sehingga mereka adalah warga negara Daulah
Islamiyah, dan atas mereka diberlakukan hukum-hukum Islam.
KEBERADAAN KEDUTAAN BESAR NEGARA-NEGARA KAFIR
Sebagai sebuah negara di lingkungan negara-negara
lain secara internasional, apakah Daulah Islamiyah menerima dibukanya
kantor-kantor perwakilan atau kedutaan besar negara-negara kafir? Dan apakah
Islam mengakui ‘kekebalan diplomatik’ yang biasanya melekat pada staf dan
pegawai kedutaan?
Darul
Islam atau negara Khilafah tidak mengakui keberadaan Darul Kufur (negara-negara
kafir). Sebab, bagaimana mungkin Islam yang haq mengakui –secara hukum-
keberadaan sistem kufur dan kebathilan yang ada di dunia. Hal ini tentu sangat
bertentangan dengan dakwah Islam yang bertujuan memberantas kekufuran dan
kebathilan. Pengakuan atas keberadaan negara-negara kafir (Darul Kufur) itu
didasarkan hanya pada realitas empirik saja. Dengan dasar inilah negara
Khilafah mengadopsi hubungan-hubungannya dengan negara-negara lain dan bergaul
dengan mereka di dalam masyarakat internasional. Artinya, hubungan negara
Khilafah dengan negara-negara kafir tersebut memiliki visi untuk penyebarluasan
risalah Islam ke negara-negara kufur itu dan dalam rangka meraih kemaslahatan
bagi kaum Muslim. Negara Khilafah adalah negara yang bersifat ideologis, dan
ideologi (Islam) inilah yang diyakini dan disebarluaskan ke seluruh dunia
melalui dakwah dan jihad fi sabilillah.
Negara
Khilafah dibolehkan untuk menjalin hubungan diplomatik atau hubungan lainnya,
seperti hubungan perdagangan, kerjasama ilmu dan teknologi, hubungan komunikasi
dan transportasi, dan semacamnya. Asalkan negara-negara kafir tersebut tidak
termasuk negara-negara kafir muharibah
fi’lan (yaitu negara kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim),
atau tidak tergolong negara kafir yang membantu negara kafir lainnya
(bersekutu) dalam memerangi kaum Muslim, atau tidak sedang bermusuhan dan tidak
memiliki ambisi untuk mencaplok negeri-negeri Islam.
Diriwayatkan
dari Abi Rafi’ bahwa Rasulullah saw bersabda:
إني لا أحبس بالعهد ولا أحبس الرسل
Sesungguhnya aku tidak memenjarakan seseorang karena
adanya perjanjian, dan aku juga tidak akan memenjarakan para utusan (negara
lain).
Diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Mas’ud, yang
berkata:
جاء ابن النواحة و ابن اثال رسولا مسيلمة الى النبي -صلعم- فقال لهما:
أتشهدان أني رسول الله؟ قالا: نشهد أن مسيلمة رسول الله. فقال رسول الله -صلعم-
آمنت بالله ورسوله لو كنت قاتلا رسولا لقتلتكما. فمضت السنة ان الرسل لاتقتل
Telah datang
Ibnu Nawahah dan Ibnu Atsal, dua orang utusannya Musailamah kepada Nabi saw.
Kemudian Nabi berkata kepada keduanya: ‘Apakah engkau berdua bersaksi bahwa aku
ini adalah Rasulullah? Keduanya menjawab: ‘Kami bersaksi bahwa Musailamah
adalah Rasulullah’. Rasulullah berkata lagi: ‘Aku beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, seandainya engkau membunuh para utusan, maka aku pasti akan membunuh
keduanya’. Waktu berlalu hingga satu tahun sementara utusan itu tidak dibunuh. (HR.
Ahmad)
Ini
merupakan dalil dibolehkannya negara-negara kafir yang tergolong ghairu muharibah fi’lan (yang tidak
sedang berperang/memerangi negara Khilafah dan kaum Muslim) untuk membuka
kedutaan besarnya di negara Khilafah.
Disamping itu, hadits tersebut juga menunjukkan
dengan terang adanya kekebalan diplomatik bagi para utusan (yaitu terhadap staf
diplomatik dan sejenisnya), dengan tidak boleh dibunuhnya para utusan meskipun
mereka terang-terangan menolak ajakan Rasulullah saw untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Bahkan mereka mengatakan keyakinannya dengan kerasulan
Musailamah al-Kadzdzab (Nabi palsu).
Tentu saja, dibukanya kedutaan besar negara-negara
kufur itu, sebelumnya harus didahului adanya mu’ahadat (perjanjian) dengan negara Khilafah. Selain itu, staf
kedutaan asing tidak dibolehkan melakukan aktivitas yang tidak ditentukan di
dalam klausul perjanjian, seperti melakukan aktivitas mata-mata dengan dalih
kemanusiaan dan HAM, turut mengawasi jalannya aktivitas peradilan di negara
Khilafah, membuat akses ke industri-industri strategis dan militer,
memproviokasi gerakan separatisme dan pembangkangan, memfasilitasi pengembangan
tsaqafah dan peradaban Barat, menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kufur, dan
sejenisnya. Kegiatan semacam ini biasa dilakukan oleh staf kedutaan
negara-negara asing, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, China,
Australia, dan lain-lain di negeri-negeri muslim.
Dengan kata lain, terhadap negara-negara kafir muharibah fi’lan, atau negara kafir ghairu muharibah fi’lan yang tidak
mendatangkan kemaslahatan bagi dakwah Islam dan kaum Muslim, tidak akan
dilakukan hubungan diplomatik maupun pembukaan kedutaan besar.
Hubungan diplomatik tersebut berakhir dengan berakhirnya
masa perjanjian:
]فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ[
Maka terhadap
mereka itu, penuhilah janjinya sampai pada batas waktunya. (TQS.
at-Taubah [9]: 4)
Atau terdapat indikasi adanya kekhawatiran bahwa
negara kafir tersebut melakukan pengkhianatan atau pelanggaran:
]وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ
خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللهَ
لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِينَ[
لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِينَ[
Dan jika kamu
khawatirkan (terjadinya) pengkhianatan dari suautu golongan, maka kembalikanlah
perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. (TQS.
al-Anfal [8]: 58)
Perlu
diketahui bahwa seluruh bentuk perjanjian, termasuk pembukaan hubungan
diplomatik dengan cara membuka kedutaan besar negara kafir di negara Khilafah,
tidak bersifat langgeng atau memakan waktu lama. Semuanya dibatasi oleh jangka
waktu berlangsungnya perjanjian. Rasulullah saw menyetujui perjanjian
Hudaibiyah dengan tenggat waktu 10 tahun, tidak lebih. Hal ini dipahami, karena
Darul Islam tidak pernah mengakui keberadaan Darul Kufur secara hukum. Lagi
pula, perjanjian dengan Darul Kufur yang bersifat langgeng sama artinya dengan
memasung akrivitas jihad fi sabilillah,
dan dapat menghentikan aktivitas dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Padahal, dakwah Islam harus disebarluaskan ke seluruh pelosok dunia, hingga
Darul Kufur berubah menjadi Darul Islam, dengan cara dibebaskannya
negara-negara kufur, sehingga orang-orang kafir berbondong-bondong masuk agama
Islam, atau dengan kesediaan/kerelaan mereka untuk tinggal/hidup di bawah
naungan negara Khilafah yang menerapkan sistem hukum Islam.
DIALOG ANTAR AGAMA
Banyak ulama dan intelektual muslim yang
memfasilitasi dan terlibat aktif di dalam kegiatan ‘dialog antar agama dan
peradaban’. Mereka berkumpul dengan tokoh-tokoh agama Yahudi, Nasrani, Budha,
Hindu, dan agama atau sekte-sekte lain di dunia membahas tentang perdamaian,
toleransi beragama, HAM, peperangan dan sebagainya, lalu mengeluarkan berbagai
rekomendasi. Bagaimana sikap kita terhadap dialog antar agama?
Pada dasawarsa tahun 80-an mulai
mengemuka adanya ide dialog antar peradaban dan antar agama. Munculnya ide ini
berasal dari gagasan kaum orientalis yang didukung oleh anak-anak asuhnya –yang
berasal dari kalangan intelektual muslim modern-. Negara-negara Barat sekular
bertindak selaku sponsor, karena salah satu tujuan dari diadakannya dialog
antar agama atau antar peradaban ini adalah mensosialisaikan nilai-nilai
kapitalis dan demokrasi sekular, terutama ide tentang pluralisme. Malah Vatikan
(sebagai markas besar kristen) dijadikan sebagai basis organisasi internasional
dialog untuk agama dan perdamaian (yang bernama WCRP-World Council for Religion
and Peace). Secara periodik dan bergiliran kota-kota besar negeri Islam pun
menjadi tempat diadakannya seminar-seminar dialog antar agama dan peradaban.
Alasan
mendasar yang sering dilontarkan oleh mereka yang terlibat dengan dialog antar
agama adalah, bahwa Islam tidak berbeda dengan agama-agama samawi lainnya (seperti Yahudi dan Nasrani). Menurut mereka, semua
agama itu pada dasarnya sama, yaitu mengajak kebajikan dan keselamatan. Mereka
beranggapan bahwa para Nabi itu semuanya adalah muslim. Jadi, siapa saja yang
mengikuti para Nabi, maka mereka juga adalah muslim sebagaimana Nabi-nabi
mereka.
Mereka
acapkali menyertakan ayat-ayat al-Quran untuk mendukung dalih yang mereka
lontarkan, agar lebih dapat meyakinkan kaum Muslim, disamping agar tampak bahwa
pernyataan mereka itu adalah benar dan Islami. Ayat-ayat al-Quran yang sering
dijadikan senjata andalan mereka, antara lain:
]مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا[
(Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Quran) ini. (TQS.
al-Hajj [22]: 78)
]وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ ِللهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ[
Aku berserah
diri bersama Sulaiman, kepada Allah Rabbul ‘alamin. (TQS.
an-Naml [27]: 44)
]فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ[
Kami tidak
mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah
diri (muslim). (TQS. adz-Dzariyat [51]: 36)
Kata-kata
aslama, aslamtu, muslim dan muslimin yang
terdapat di dalam ayat-ayat tersebut, selalu mereka artikan dengan menonjolkan
pengertian menurut bahasa, yang berarti ‘berserah diri’. Mereka menarik
kesimpulan –dari ayat-ayat tersebut- bahwa seluruh Nabi itu muslim. maka, siapa
pun yang mengikuti Nabi-nabi, baik itu Nabi Musa as, Nabi Isa as atau Nabi
Muhammad saw, semuanya adalah muslim.
Persoalannya
adalah, apakah setiap orang yang disifati oleh Allah (di dalam al-Quran) dengan
kata muslim, secara otomatis juga beragama Islam (yakni memeluk agama yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw)?
Menurut
bahasa, kata aslama telah digunakan
oleh orang-orang Arab dengan makna inqâda,
yaitu tunduk, patuh. Siapa saja yang tunduk atau patuh pada seorang Nabi,
beriman kepada akidah yang dibawanya, mengikatkan diri dengan hukum-hukum yang
diturunkan kepadanya, berarti dia –menurut bahasa- adalah muslim untuk agama
tersebut, yaitu munqâdun, tunduk atau
patuh terhadap agamanya itu. Allah Swt menyifati para pengikut Nabi-nabi
tersebut dengan menggunakan kata-kata muslim
atau muslimin. Meskipun demikian,
Allah tidak menyatakan bahwa agama mereka adalah Islam.
Pemakaian
kata-kata aslama, aslamtu, muslim
atau pun muslimin pada ayat-ayat
diatas telah digunakan Allah Swt sesuai dengan makna menurut bahasa,
sebagaimana orang-orang Arab menggunakannya dan menetapkan makna tersebut untuk
kata-kata yang dimaksud.
Allah
Swt telah mengutus Nabi Muhammad saw dengan agama, yang berbeda dengan
agama-agama sebelumnya. Allah Swt menamai agama itu dengan agama Islam, dan
para pemeluknya disebut dengan muslim.
Kata Islam yang maknanya adalah agama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad saw terdapat di dalam beberapa ayat al-Quran, antara lain:
]إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ[
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah (agama) Islam. (TQS.
Ali Imran [3]: 19)
]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ[
Siapa saja yang mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidaklah
akan diterima (adama itu) dari padanya. (TQS.
Ali Imran [3]: 85)
]وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (TQS.
al-Maidah [5]: 3)
Kata
Islam pada ayat-ayat al-Quran ini hanya memiliki satu makna, yaitu agama Islam,
agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, kata
Islam merupakan kata yang telah dipindahkan dari makna bahasa, yang artinya
patuh, tunduk (inqiyâd) ke makna
syariat, yaitu agama yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw (yakni
agama Islam).
Seperti
halnya penamaan terhadap para pengikut para Nabi terdahulu dengan sebutan
muslim, maka kata muslim juga ditujukan bagi pengikut Nabi Muhammad saw. Namun
demikian, dua perkara ini berbeda faktanya. Penamaan muslim bagi orang-orang
Yahudi atau Nasrani tidak dapat digunakan. Sebab, kata muslim telah dipindahkan
dari makna bahasa ke makna syariat. Penggunaan suatu kata berdasarkan
pengertian bahasa hanya bisa dipakai jika terdapat indikasi (qarinah) yang benar-benar menunjuk pada
makna bahasa. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa Ratu Kerajaan
Saba telah masuk Islam di hadapan Nabi Sulaiman as.
Pemindahan
makna kata yang berasal dari makna bahasa ke makna syariat, merupakan
pembahasan yang masyhur di kalangan ahli ushul fiqih dan ahli lughah (bahasa). Selain itu, al-Quran
juga telah memindahkan pengertian bahasa dari berbagai kata ke makna syariat.
Contohnya dapat dilihat pada kata-kata: shalat,
haji, shaum, wudlu, syahadah fi sabilillah, jihad, kharaj, dzimmi, ‘usyur,
dan lain-lain. Kata shalat misalnya, makna bahasanya adalah do’a. Sedangkan
makna syariatnya adalah serangkaian perbuatan tertentu yang telah dijelaskan
oleh Rasulullah saw, berupa ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam.
Apabila
terdapat satu kata yang memiliki dua makna –yakni makna menurut bahasa dan
makna menurut syariat-, maka penggunaan berdasarkan makna syariat lebih kuat
dan layak dipakai. Sedangkan jika kata tersebut akan diartikan berdasarkan makna
bahasa, maka hal itu memerlukan adanya indikasi (qarinah)1.
Begitu
juga dengan kata Islam, atau muslim. Kata tersebut tidak bisa dimaknai
melainkan ditujukan pada agama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad
saw, dan ditempelkan kepada para pengikut Nabi Muhammad saw.
Ide
dialog antar agama berasal dari ideologi kapitalis, tidak ada asal- usulnya di
dalam Islam. Mereka telah meletakkan agama Yahudi dan Nasrani, begitu juga
agama-agama lain berdampingan dengan agama Islam, seakan-akan tidak ada perbedaan
dengan agama Islam. Mereka berdalih dengan menggunakan ayat:
]لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ
رُسُلِهِ[
Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari
rasul-rasul-Nya. (TQS. al-Baqarah [2]: 285)
Mereka telah mengeksploitasi unsur-unsur yang sama (common platform) pada setiap agama, lalu
menyerukannya kepada umat manusia. Tragisnya, propaganda dialog antar agama
justru didukung oleh para ulama dan intelektual muslim.
Apa
yang dilakukan mereka amat bertentangan dengan apa yang diperbuat Rasulullah
saw terhadap orang-orang kafir (penganut agama selain Islam). Beliau saw
menjadikan orang-orang kafir sebagai sasaran dakwah Islam, mengajak mereka
untuk memeluk agama Islam. Tidak jarang beliau berdialog dengan mereka, baik
orang-orang kafir musyrik kota
Makkah, maupun orang-orang Nasrani (penduduk Najran), begitu juga dengan
orang-orang Yahudi (Madinah). Hal itu tampak pada ayat-ayat yang diturunkan
berkenan dengan akidah, yang sebagiannya dilatarbelakangi oleh adanya dialog
Rasulullah saw dengan mereka untuk mengajak mereka memeluk Islam. Dialog dan perdebatan
yang dilakukan Nabi saw dilandasi sikap dasar, bahwa Islam adalah ajaran yang
benar, sedangkan selain Islam adalah ajaran/agama yang bathil!
Apakah
mereka yang terhasut propaganda dialog antar agama memiliki landasan seperti
itu, ataukah mereka hanya mencari-cari ‘unsur-unsur yang sama’ dalam setiap
agama, lalu itulah yang mereka dakwahkan? Jika itu yang dilakukan mereka,
berarti jalan yang mereka tempuh berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh
Rasulullah saw. Perhatikanlah bagaimana interaksi Rasulullah saw dengan para
raja atau pemimpin kufur. Tiada lain mengajak mereka memeluk Islam. Beliau saw
mengirimkan surat
kepada Hiraklius, kaisar Romawi:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maham
Penyayang. dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya, kepada Hiraklius,
pembesar Romawi. Semoga keselamatan atas siapa saja yang mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya aku menyeru engkau dengan seruan (untuk memeluk) Islam. Islam-lah
engkau, niscaya engkau selamat. Allah akan memberikan kepadamu pahala dua kali lipat.
(Namun) jika engkau berpaling, maka engkau akan ikut menanggung dosa para
petani (rakyat)2.
Dengan
gegabah mereka memotong pengertian ayat al-Quran, sebagai dalih untuk
mempropagandakan unsur-unsur yang sama (kalimatun
sawa).
]قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا
إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللهَ
وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ[
Katakanlah:
‘Hai ahli Kitab, marilah kita menuju pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antyara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
yang tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagai tuhan
selain Allah’. Jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah
kami adalah orang-orang muslim’. (TQS. Ali Imran [3]: 64)
Walhasil, kita tidak bisa membiarkan mereka berada
di dalam kekafiran dan kesesatan. Kita justru berkewajiban untuk menjelaskan
kepada mereka bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Dan Allah memerintahkan
mereka untuk meninggalkan keyakinan mereka yang keliru, untuk kemudian beralih
memeluk Islam.
Yang
memprihatinkan lagi, mereka yang terlibat dalam propaganda dialog antar agama
menolak untuk berdebat dengan peserta agama-agama lain. Meraka malah menyerang
balik dengan melontarkan argumen:
]وَلاَ تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ[
Janganlah
kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik. (TQS.
al-Ankabut [29]: 46)
Secara sengaja mereka tidak melanjutkan ayat
tersebut secara sempurna:
]إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ[
Kecuali dengan orang-orang zhalim diantara mereka. (TQS.
al-Ankabut [29]: 46)
Masalahnya
adalah, apakah ada orang yang lebih zhalim dari pada orang-orang yang mewakli
negara kafir, yang turut serta di dalam forum dialog antar agama atau dialog
antar peradaban? Bukankah negara-negara kafir yang mensponsori mereka adalah
negara-negara yang terlibat di dalam pembantaian kaum Muslim, baik itu perang
Teluk, Bosnia Herzgovina, Kosovo, Albania, Afghanistan, Palestina, Irak,
Kashmir dan lain-lain?
Dialog
antar agama adalah dialog yang dipaksakan negara-negara kafir Barat atas
negeri-negeri muslim yang lemah. Tujuannya tiada lain untuk melepaskan akidah
Islam dari benak kaum Muslim, menghilangkan sikap keras/tegas terhadap
orang-orang kafir, melenyapkan makna jihad
fi sabilillah, menumbuhkan apa yang mereka sebut sebagai ‘ukhuwah basyariyah’ (persaudaraan
sebagai sesama manusia) yang notabenenya tidak ada di dalam Islam, memaksa kaum
Muslim untuk menerima ide-ide pluralisme, perdamaian (menurut versi Barat),
memelihara HAM (versi Barat), dan menjaga kepentingan-kepentingan Barat
lainnya.
Kaum
Muslim harus bersikap waspada terhadap cara-cara licik yang dikemas dengan
berbagai slogan manis, padahal isinya adalah racun yang mematikan!
MAKNA BAHASA, ISTILAH DAN SYAR’I
Di dalam bahasa Arab sering dipakai makna menurut
bahasa, menurut istilah atau menurut syariat. Apa sesungguhnya yang disebut
dengan ketiga istilah itu, dan bagaimana kita memaknai dengan tepat suatu kata
berbahasa Arab?
Hukum-hukum
Islam bersumber dari sumber utama, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya
adalah berbahasa Arab. Adakalanya suatu hukum itu diambil berdasarkan
penggalian (istinbath) terhadap
sumber-sumber syariat tersebut. Oleh karena itu orang yang ingin memahami
hukum-hukum Islam, apalagi melakukan penggalian hukum, mutlak diperlukan
kepiawaian dalam tata bahasa Arab. Jika tidak, besar kemungkinan akan
terjerumus dalam kekeliruan, yang berujung pada kesesatan.
Disini
tidak berlaku pemeo ‘apalah arti sebuah nama’, karena justru di dalam kajian
hukum Islam, kata itu sendiri amat bermakna. Hal ini juga disadari oleh
musuh-musuh Islam, sehingga mereka secara sengaja melakukan pemutarbalikkan
kata/istilah, sekaligus mendistorsi pengertian tertentu yang berasal dari kata
berbahasa Arab yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah. Akibatnya, makna
kata tersebut hilang ‘gregetnya’, dan tidak memiliki dampak hukum apapun
terhadap kaum Muslim, meski sesungguhnya kata tersebut memiliki makna syariat.
Contoh
pemutarbalikkan dan pendistorsian kata/istilah adalah memalingkan makna kata
yang bersifat syar’i menjadi bermakna bahasa yang tidak memiliki implikasi
hukum. Misalnya, kata jihad yang diartikan secara syariat sebagai al-qital atau al-ghazwu (perang dan bertempur) dipalingkan artinya ke makna
bahasa yaitu bersungguh-sungguh. Sehingga orang yang membangun disebut dengan
jihad, orang yang sungguh-sungguh belajar juga termasuk jihad, seorang isteri
yang berbakti kepada suaminya juga termasuk jihad, seorang guru yang rajin
mengajar juga dianggap berjihad. Padahal, jihad adalah kewajiban yang terhadap
pelakunya diganjar dengan pahala yang sangat besar, dan orang yang gugur di medan jihad termasuk
sebagai syahid yang memiliki implikasi-implikasi hukum lainnya. Itu semua
karena jihad fi sabilillah –menurut
syariat- dimakna sebagai perang melawan orang-orang kafir untuk meninggikan
kalimat Allah. Yang berbahaya justru lama kelamaan kaum Muslim menganggap lebih
baik menyibukkan diri dengan membangun, mengajar, belajar, mengurusi rumah
tangga, bekerja, dari pada berjihad fi
sabilillah membantu saudara-saudara sesama muslim yang negerinya dicaplok
oleh negara-negara kafir.
Kata Islam, yang arti menurut syariatnya adalah
agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, dipalingkan artinya
menjadi makna menurut bahasa, yaitu berserah diri atau tunduk/patuh. Artinya
–menurut pihak yang menyelewengkan arti ini- para penganur agama Yahudi,
Nasrani, bahkan orang-orang Budha dan Hindu pun adalah orang-orang muslim
(yaitu berserah diri kepada Tuhan). Muaranya adalah munculnya persepsi keliru
dimana semua agama itu sama, karena berasal dari para Nabi. Dan banyak lagi
istilah/kata yang dengan sengaja diselewengkan pengertiannya, dari pengertian
menurut syariat menjadi pengertian menurut bahasa.
Pemutarbalikkan
pengertian dari suatu kata tidak boleh terjadi, karena kata adalah untaian
huruf yang memiliki arti atau makna-makna tertentu yang tidak bisa ditujukan
pada selain yang dimaksudkannya. Al-Quran memaparkan contoh ‘salah kaprah’ yang
dipakai oleh orang-orang Arab waktu itu dengan menyamakan istilah/kata riba
dengan bai’ (jual beli). Firman Allah
Swt:
]الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ
يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)
Islam melarang penggunaan istilah dengan makna yang
tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya dari istilah tersebut1.
Orang-orang
Arab di dalam mengungkapkan makna menemouhnya melalui berbagai bentuk
(ungkapan), yaitu: hakikat (arti
sebenarnya), majaz (kata kiasan), ta’rib (Arabisasi dari kata lain), dan isytiqaq (pecahan kata)2. Hakikat ini terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu hakikat lughawiyah (menurut
makna bahasa), hakikat ‘urfiyah (menurut
makna istilah/kebiasaan orang), dan hakikat
syar’iyah (menurut makna syara).
Hakikat (arti yang sebenarnya) yaitu
lafadz-lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan makna yang ada di dalam benak
manusia. Apabila lafadz yang diciptakan itu digunakan untuk makna yang telah
dibuat oleh ahli bahasa, maka disebut dengan hakikat lughawiyyah. Contohnya adalah bahr berarti laut, asad berarti singa.
Apabila makna
yang telah diciptakan itu digunakan untuk selain makna asalnya (bukan arti yang
sebenarnya), yakni dipindahkan dari makna lughawi
menuju makna lain, maka perlu diperhatikan beberapa hal. Jika pemindahan
makna tersebut disebabkan adanya ‘urf (kebiasaan)
maka dinamai dengan hakikat ‘urfiyah.
Misalnya kata dâbbah yang asalnya
diciptakan untuk menunjukkan arti setiap makhluk yang berjalan di muka bumi,
mencakup manusia dan hewan. Akan tetapi kebiasaan ahli bahasa (‘urf) digunakan untuk hewan yang berkaki
empat. Implikasinya, makna yang pertama dijauhi. Contoh lain adalah kata al-ghaith yang pada asalnya diciptakan
untuk memberikan arti tempat yang rendah di permukaan bumi. Tetapi kemudian
lebih populer -menurut kebiasaan ahli bahasa- dan digunakan untuk benda yang
menjijikkan (faeses) yang keluar dari dubur. Contoh yang pertama adalah nama
yang diciptakan untuk makna umum, kemudian menjadi khusus sesuai dengan
kebiasaan penggunaan ahli bahasa pada sebagian maknanya. Sedangkan contoh kedua
adalah nama yang dibuat untuk suatu makna yang kemudian lebih populer digunakan
untuk makna lain karena adanya kebiasaan ahli bahasa (‘urf).
Jika suatu
kata/istilah memiliki pengertian bahasa, ‘urfi
dan syar’i, maka yang didahulukan –berdasarkan urutannya- adalah: makna hakiki yang syar’i, kemudian makna hakiki
yang ‘urfi, lalu baru makna hakiki lughah3.
Dalam kasus semacam ini, penggunaan makna bahasa harus memerlukan adanya
indikasi (qarinah). Contoh masyhurnya
adalah kata shalat. Kata ini memiliki tiga jenis pengertian tadi. Kata shalat
harus dimaknai berdasarkan makna syar’i –sesuai dengan skala prioritas pemaknaan-,
yaitu serangkaian perbuatan yang didahului oleh takbir dan diakhiri dengan
salam. Apabila shalat akan dimaknai menurut bahasa (lughah), hal ini memerlukan indikasi (qarinah). Contoh kata shalat yang bermakna do’a terdapat pada ayat:
]خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ[
إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ[
Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 103)
e
Kata shalat pada ayat ini
dimaknai dengan doa, bukan shalat menurut makna syar’i.
Bisa
dibayangkan jika jihad hanya dimaknai dengan kerja yang sungguh-sungguh, bukan
perang fi sabilillah; shalat
diartikan sebatas doa, bukan serangkaian aktivitas ubidiyah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam;
shaum yang dimaknai dengan menahan diri, bukan dilandasi dengan niat dan
mengisinya dengan aktivitas ibadah; Islam dipersepsikan dengan kepasrahan diri,
bukan agama/din yang diturunkan Allah kepada Muhammad saw yang berisi akidah
dan syariat Islam yang wajib dijalankan oleh para pemeluknya; dan lain-lain.
Dengan
demikian, kita bisa mengerti urgensitas penggunaan istilah syar’i dibandingkan
dengan pemaknaan menurut bahasa, sehingga terhindar dari kesalahan di dalam
menafsirkan teks nash al-Quran maupun hadits. Pemutarbalikkan makna dan
pendistorsian makna yang dilakukan oleh segelintir orang yang menamakan dirinya
‘intelektual muslim modern’ pada hakekatnya merupakan bentuk penyesatan secara
sengaja untuk menggiring umat Islam menjauhi pengertian yang benar terhadap
suatu kata/istilah syar’i, yang pada akhirnya bertujuan untuk mengubur
pelaksanaan syariat Islam dalam-dalam.
SIKAP ISLAM TERHADAP IDE NASIONALISME
Kaum Muslim terpecah belah dalam berpuluh-puluh
negara, membangga-banggakan bangsanya masing-masing, dan menonjolkan ide
tentang nasionalismenya lebih tinggi dibandingkan apa pun. Tidak jarang,
nasionalisme dijadikan dalih untuk membela kepentingan orang sebangsa dengan
mengabaikan bangsa lain, padahal sama-sama muslim. Bagaimana sikap Islam
terhadap ide nasionalisme?
Islam
adalah agama yang bersifat universal. Allah Swt menurunkan dinul Islam kepada
Muhammad saw, tidak lain ditujukan untuk seluruh umat manusia. Firman Allah
Swt:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً
لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ[
Dan Kami
tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui. (TQS. Saba
[34]: 28)
Ayat ini menunjukkan kelayakan risalah Islam beserta
hukum-hukum Islam di dalamnya bagi seluruh umat manusia, tanpa memperhatikan
lagi ras, suku bangsa, bangsa, jenis kelamin, zaman (waktu), tempat dan
sebagainya. Syariat Islam sangat layak bagi umat manusia di masa Rasulullah saw
hidup, masa sekarang, maupun masa yang akan datang.
Konsekuensi
dari hal itu adalah kewajiban untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh pelosok
dunia, ke setiap orang yang tidak menganut agama Islam (orang-orang kafir).
Rasulullah saw bersabda:
أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي كان كل نبي يبعث الى قومه وبعثت الى كل أحمر وأسود
Aku diberi lima perkara yang belum
pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Dahulu setiap Nabi diutus hanya
untuk kaumnya, sedang aku diutus untuk setiap orang, baik yang berkulit merah
maupun hitam (untuk seluruh umat manusia)…. (HR. Ahmad)
Disamping
itu, Allah Swt dan Rasul-Nya mempersaudarakan sesama muslim, tanpa melihat lagi
bangsa, suku, maupun tempat tinggalnya. Dan kenyataan ini merupakan nikmat
tersendiri bagi kaum Muslim yang dianugerahkan Allah Swt.
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ[
Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara. (TQS. al-Hujurat [49]: 10)
]فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا[
Maka
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (TQS. Ali
Imran [3]: 103)
Rasulullah saw bersabda:
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
Seorang
muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan
tidak boleh membiarkannya dizhalimi (oleh musuh). (HR. Bukhari dan Muslim)
ولا يقتل مؤمن مؤمنا في كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن و إن ذمة الله واحدة يجير عليهم أدناهم و أن المؤمنين بعضهم موالي بعض من دون الناس
Seorang
mukmin itu tidak boleh membunuh orang mukmin lainnya karena (membela) orang
kafir. Seorang mukmin tidak boleh menolong orang kafir untuk (melawan) orang
mukmin. Sesungguhnya jaminan (perlindungan) Allah adalah satu, yang menjaungkau
orang terendah dari mereka. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah penolong
bagi sebagian lainnya. Mereka sangat berbeda dengan manusia lainnya1.
Seruan
Islam adalah seruan yang bersifat universal, yaitu menyelamatkan umat manusia
dari kegelapan (kekafiran dan kemusyrikan) menuju cahaya (yaitu dinul Islam).
Seruan ini tidak mungkin dipalingkan menjadi seruan yang bersifat kedaerah atau
kebangsaan (qaumiyah).
Nasionalisme
merupakan ikatan yang dilandasi pada perasaan emosional manusia yang dimiliki
secara bersama-sama dengan manusia lainnya di dalam suatu bangsa2. Ikatan ini lahir dari naluri untuk
survive (untuk mempertahankan diri), perasaan senasib dan sepenanggungan, yang
mendorongnya untuk melahirkan perlawanan dan keinginan untuk memimpin. Ikatan
ini bukan lahir dari suatu pemikiran (ide). malah bisa dikatakan bahwa ikatan
nasionalisme itu kosong dari pemikiran.
Islam
telah mengharamkan propaganda kepada nasionalisme (ashabiyah, yakni fanaitsme golongan) maupun kebangsaan (qaumiyah). Islam telah mencela
nasionalisme dengan kata-kata yang sangat menjijikkan, sehingga tidak patut
dijadikan pengikat bagi kaum Muslim. Celaan-celaan terhadap fanatisme golongan,
termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme
dilontarkan sendiri oleh Rasulullah saw:
من دعا إلى عصبية فليس منا
Siapa saja
yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk
kita (kaum Muslim). (HR. Abu Daud)
Islam
memasukkan orang-orang yang tengah berperang dan menyerukan ashabiyah, lalu mati, maka matinya sama dengan
mati dalam keadaan jahiliah. Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw:
ومن قاتل تحت راية عمية يغضب لعصبية أو يدعو إلى عصبية أو ينصر عصبية فقتل فقتلة جاهلية
Siapa saja
yang berperang di bawah panji kejahilan, dia marah karena ashabiyah, atau
menyerukan ashabiyah, atau ikut menolong (membantu) dalam rangka ashabiyah,
lalu dia mati, maka matinya adalah mati jahiliah. (HR.
Muslim)
Seruan kepada nasionalisme atau kebangsaan termasuk
seruan-seruan jahiliah, karena pada masa jahiliah, ikatan kesukuan berada di
atas segalanya, mengalahkan kebenaran. Berbangga-bangga dengan seruan jahiliah
juga dikecam oleh Rasulullah saw, dan dikelompokkan sama dengan hewan-hewan
yang menjijikkan yang pekerjaannya mengais-ngais tumpukan sampah, sebagaimana
sabdanya:
من تعزى بعزاء الجاهلية فأعضوه هن أبيه ولا تكنوه
Siapa saja
yang berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah, maka hendaklah kalian
menyuruh mereka menggigit kemaluan bapaknya, dan janganlah kalian mengatakan
hal itu secara samar-samar. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thabrani)
لينتهين أقوام يفتخرون بأبائهم أو ليكونن
أهون على الله من الجعل يدهده النتن بأنفه
Sungguh hina
dina kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka. Atau mereka itu akan
benar-benar menjadi lebih hina di sisi Allah dari pada seekor ju’al (sejenis
hewan) yang mengais-ngais sampah dengan menggunakan hidungnya. (HR.
Ahmad dan Thabrani)
Ide
nasionalisme adalah ide yang asing bagi kaum Muslim. Ide ini diusung oleh
peradaban Barat kafir ke negeri-negeri muslim pada awal masa penjajahan Barat
(sekitar abad ke-16). Manuver kaum imperialis itu menjadi satu bagian dari
serangan mereka di bidang pemikiran terhadap kaum Muslim. Di satu sisi mereka
secara politis dan militer memperlemah kekuatan dan kekuasaan negara Khilafah
Islamiyah Utsmaniyah dengan cara menjajah dan mengkapling-kapling negeri-negeri
Islam yang satu, menjadi puluhan negara jajahan. Di sisi lain mereka
menjejalkan ke dalam benak pemikiran kaum Muslim perasaan/sentimen kedaerahan,
kesukuan, dan kebangsaan. Tujuannya untuk memecahbelah kaum Muslim, dan
menjauhkan umat Islam dari kebangkitannya di bawah naungan negara yang satu,
yaitu negara Khialafah Islamiyah.
Siapa
saja yang mengkaji sejarah Islam di masa negara Utsmaniyah, dan mencermati
langkah-langkah imperialis kafir di negeri-negeri muslim yang dijajah mereka,
akan menjumpai penyebarluasan propaganda kebangsaan atau nasionalisme.
Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri Mesir dan peradaban Fir’aun
sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir; mereka juga yang mempropagandakan
sentimen ke-Melayuan, ke-India-an, ke-Pakistan-an, ke-Indonesia-an, dan
lain-lain. Kaum imperialislah yang berada di belakang tumbuh dan berkembangnya
gerakan-gerakan nasionalisme di dunia Islam. Kaum imperialis meninggalkan
wilayah jajahannya dengan menanam benih-benih yang bakal mereka panen di
kemudian hari.
Kita
juga akhirnya mengerti bahwa kemerdekaan banyak bangsa –yang seluruhnya adalah
kaum Muslim- pada periode tahun 1940-an dan 1950-an merupakan panen pertama
bagi para penjajah; yaitu terhalangnya umat Islam oleh dinding yang sangat
tebal untuk bangkit kembali menjadi sebuah peradaban besar di bawah satu
bendera, bendera negara Khilafah. Umat Islam terpecah belah menjadi puluhan
negara, yang memiliki banyak pemimpin/penguasa, berbeda-beda UU dan
konstitusinya, padahal agama mereka satu, Tuhan mereka juga satu, dan peraturan
mereka (yakni syariat Islam) juga satu. Lalu, atas dasar apa mereka berpecah
belah dan terkotak-kotak menjadi puluhan negara?
Berdasarkan
hal ini, nasionalisme atau sentimen kebangsaan, kesukuan, golongan, ras dan
sebagainya tidak mempunyai tempat di dalam Islam, dan bertolak belakang dengan
ajaran Islam. Ikatan yang harus kita tumbuhkan di tengah-tengah masyarakat
muslim adalah ikatan ukhuwah Islamiyah, yaitu ikatan yang menyatukan seluruh
orang muslim berdasarkan akidah dan sistem (hukum) Islam yang diterapkan secara
praktis di dalam Daulah Islamiyah. Selain ikatan Islam adalah bathil!
]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ[
مِنَ الْخَاسِرِينَ[
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (TQS. Ali
Imran [3]: 85)
1 Fairuz
Zabâdi., al-Qamus al-Muhith., p.496., Darul Fikr., 1999
2 Ibnu
Katsir., Tafsir al-Quran al-‘Azhim., jld III/512., Darul Fikr.
1 al-Qasimi.,
Min Mahasini at-Takwil, Mukhtashar Tafsir al-Qasimi., p. 6., Darun Nafaais
2 Taqiyuddin
an-Nabhani., al-Khilafah., p. 3; Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah., jilid II/15., Darul Ummah
3
al-Juwaini., ath-Thariq ila al-Khilafah., p. 19., Darun Nahdlah al-Islamiyah
4
Fairuzzabadi., al-Qamus al-Muhith., p. 727., Darul Fikr
1 Ibnu
al-Manzhur., Lisan al-Arab., jilid IV/298
2 Ibnu al-Manzhur.,
Lisan al-Arab., jilid IV/298
3
al-Kassani., Bada’i ash-Shana’i., jilid VII/130., Darul Kitab al-Arabi
4 ar-Ramli.,
Nihayah al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj., jilid VIII/82., Darul Fikr
5 Ibnu
al-Qayyim., Ahkam Ahlu adz-Dzimmah., p. 366., Darul Ilmi lil Malayin
1 Taqiyuddin
an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid II/232., Darul Ummah
2 Ibnul
Qayyim., Ahkam Ahlu adz-Dzimmah., Darul Ilmi lil Malayin
3 Muhammad
Khair Haekal., al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah., jilid
I/701., Darul Bayariq
4 Taqiyuddin
an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid II/234., Darul Ummah
1
as-Sarkhasi., Syarh as-Siyar al-Kabir., jilid I/140; Ibnu Qudamah., al-Mughni.,
jilid V/516; al-Kassani., Bada’i ash-Shana’i., jilid V/281
2 Abdul
Qadim Zallum., al-Amwal fi Daulati al-Khilafah., p. 67., Darul Ilmi lil Malayin
3 Muhammad
Hamidullah., Majmu’atu al-Watsaiq as-Siyasiyah., p. 98, 117-120., Darun Nafais
4 Ibnu
Qudamah., al-Mughni., jilid VIII/445
1 Qamaruddin
Shaleh., Asbabun Nuzul., p. 178., CV Diponegoro
1 Lihat
Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid III/152-157
2 Muhammad
Hamidullah., Majmu’ah al-Watsaiq as-Siyasiyah., p. 109., Darun Nafais
1 Muhammad
Hussain Abdullah., Mafahim Islamiyah II., p. 10., Darul Bayariq
2 Atha bin
Khalil., Taisir al-Wushul ila al-Ushul., p. 121., Darul Ummah
3 Muhammad
Hussain Abdullah., Mafahim Islamiyah II., p. 8., Darul Bayariq
1 Ibnu
Hisyam., Sirah Nabi saw., jilid I/501., Darul Fikr
2 Taqiyuddin
an-Nabhani., Nizham al-Islam., p. 21., Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar