Kamis, 13 Oktober 2011

36 Soal-Jawab


HUKUM TENTANG PRIVATISASI
MENDIRIKAN PEMERINTAHAN ISLAM MELALUI JALAN DESINTEGRASI
MENDIRIKAN PEMERINTAHAN ISLAM MELALUI JALAN DESINTEGRASI
MEMPERJUANGKAN ISLAM VIA PARLEMEN
ANTARA POLITIK DAN MASLAHAT
TRIAS POLITICA DALAM PANDANGAN ISLAM
NEGARA ISLAM, SEPERTI APA?
BUGHÂÂÂT
BAGAIMANA DAULAH ISLAMIYAH MENYUSUN ANGGARAN KEUANGANNYA?
TANTANGAN NEGARA KHILAFAH DI MASA DEPAN
HUKUM ISLAM TENTANG HAK CIPTA DAN HAK INTELEKTUAL
BENARKAH DAULAH ISLAMIYAH DI MASA RASULULLAH ITU SETINGKAT RT ATAU RW?
BOM SYAHID
MEMERANGI PENDUDUK SIPIL MUSUH, BOLEHKAH?
DEMONSTRASI: YANG BOLEH DAN YANG TERLARANG
HUKUM BERPERANG ANTAR SESAMA MUSLIM
ABOLISI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
MENGAPA (NEGARA) KHILAFAH BELUM BERDIRI (KEMBALI)?
DUNIA INTELIJEN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
BAGAIMANA ISLAM MENINDAK PARA PELAKU KKN?
ADAB BERBEDA PENDAPAT
MENYOAL KERJASAMA MILITER DENGAN PIHAK ASING
HUKUM MEMBUAT KONSTITUSI NEGARA
BAGAIMANA MENGUBAH MATA UANG KE DINAR-DIRHAM?
ADAKAH PERADILAN BANDING DAN KASASI DALAM ISLAM?
BOLEHKAH MENGGUNAKAN SENJATA PEMUSNAH MASSAL DALAM PEPERANGAN?
MENYOAL DOA BERSAMA LINTAS AGAMA
HUKUM MENIRU-NIRU KEBIASAAN ORANG KAFIR
HUKUM MENGHINA NABI SAW.
SEPUTAR PERJANJIAN DAMAI DENGAN NEGARA-NEGARA KAFIR
SEPUTAR ‘FIQIH PRIORITAS’
BOLEHKAH MENYERAH KEPADA MUSUH?
KONDISI DAMAI DALAM ISLAM
MAKNA JIHAD MENURUT ISLAM
‘UZLAH’, KAPAN DIBOLEHKAN DAN KAPAN DIHARAMKAN



HUKUM TENTANG PRIVATISASI

Pada era globalisasi saat ini kita sering mendengar istilah privatisasi. Apalagi perkara tersebut tertuang dalam LoI (Letter of Intent) antara IMF dan pemerintah. Bagaimana hukum dan pandangan Islam mengenai privatisasi?

Apa yang dilakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan dan badan-badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang haram menurut syara, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, negara tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual belinya bathil alias tidak sah.
Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah, benda-benda yang kepemilikannya telah dijadikan oleh asy-Syâri bagi jamaah kaum Muslim, dan mereka seluruhnya berserikat atas benda-benda tersebut. Dibolehkan bagi individu memanfaatkannya, tetapi mencegah individu untuk memilikinya1. Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum:
1.  Barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya; seperti air, padang penggembalaan, dan sejenisnya. Nabi saw bersabda:
«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثٍ: اَلْمَاءُ وَالْكَلاَءُ وَالنَّارُ»
Masyarakat itu berserikat dalam tiga perkara (barang): air, padang gembalaan dan api. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw membolehkan perorangan (individu) untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan oleh orang banyak. Dari hadits-hadits ini diistinbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada (barangnya) maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik hal itu termasuk dalam tiga jenis barang, seperti yang disebutkan dalam hadits tadi, maupun (barang) lainnya yang tidak disebut.
2.  Barang tambang yang memiliki deposit amat besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu meminta beliau agar memberinya tambang garam. Rasulullah pun memberikannya. Ketika Abyadl pergi, salah seorang sahabat di (dalam) majelis berkata kepada Rasulullah: ‘Tahukan engkau, apa yang engkau telah berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan) air mengalir’. Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut. Salah seorang sahabat tadi menyerupakan tambang garam dengan air mengalir, karena banyaknya deposit pada tambang garam tersebut. Hal ini mencakup juga setiap barang tambang yang depositnya sangat banyak, atau secara ekonomi sangat menguntungkan; seperti minyak, gas, pospat, tembaga, timah, emas, perak dan lain-lain.
3.  Barang-barang yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu; seperti laut, sungai, atmosfer udara dan lain-lain.

Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Dalam hal ini peran negara hanyalah pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.
Maka dari itu, negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada siapa pun, apalagi pihak asing aset-aset yang menjadi milik umum. Sebab, ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat untuk menjualnya, dan rakyat pun menyetujuinya, maka negara tetap tidak boleh menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan kepada fakta tentang barangnya, bukan didasarkan pada yang lain, seperti persetujuan dan sebagainya. Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap sebagai kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi kepemilikan individu agar dapat dijual.
Lalu, jika aset yang dijual adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dahulu bahwa disamping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan umum, Islam juga membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah, setiap harta atau aset yang didalamnya ada hak untuk seluruh kaum Muslim (tetapi tidak tergolong kepemilikan umum) dan pengaturannya berada di tangan Khalifah2. Dengan demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu. Namun demikian perlu diingat bahwa kepemilikan negara berkaitan dengan hak-hak kaum Muslim dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh menimbulkan mudharat kepada kaum Muslim. Maka dari itu meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan aset-aset milik negara oleh pemerintah –sebagaimana yang terjadi dalam program privatisasi- hukumnya menjadi haram. Karena privatisasi telah menimbulkan kemudharatan, seperti yang telah diterangkan. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.

Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian orang banyak tidak dapat memanfaatkan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan manurut Islam, sesuai dengan firman Allah Swt:
]كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ[
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Memang, ayat diatas mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang-orang kaya diantara umat Islam (aghniyâ’i minkum). Namun demikian ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab, jika harta tidak dibolehkan hanya beredar diantara orang kaya muslim, maka jika hanya beredar diantara orang-orang kaya kafir jelas-jelas lebih tidak dibolehkan lagi. Ini sesuai dengan mafhum muwâfaqah dalam ilmu ushul.

Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum Muslim. Dengan privatisasi, individu atau pun perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan perekonomian negeri-negeri Islam. Negeri-negeri Islam akan terjeremus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal ini diharamkan oleh Islam. Allah Swt berfirman:
]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً[
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (TQS. an-Nisa [4]: 141)

Keempat, privatisasi merupakan perantara (washilah) munculnya kemudharatan bagi kaum Muslim. Kita menyaksikan implikasi-implikasi langsung, bahwa privatisasi akan menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji karyawan, menghilangkan sumber-sumber pendapatan bagi negara, membebani konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi yang dibebankan keada perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalisme atas kaum Muslim. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum Muslim. Dan privatisasi adalah salah satu cara yang melempangkan jalan ke arah itu, maka haram pula hukumnya. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»

Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.

Privatisasi adalah program imperialis yang jahat, yang bertujuan untuk merampas harta kekayaan kaum Muslim dan menghancurkan perekonomian mereka. Privatisasi tidak boleh didiamkan oleh kaum Muslim, karena kaum Muslim akan turut berdosa jika berdiam diri dan ridha terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, kaum Muslim harus bangkit untuk mengkritik program tersebut, membantah siapa saja yang mempropagandakannya, serta melakukan segala daya upaya untuk mencegah dan menggagalkannya.
Kaum Muslim juga hendaknya sadar bahwa negara dan pemerintah mereka yang melaksanakan program tersebut, sebenarnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum kafir penjajah, bukan demi kepentingan rakyat dan umat. Dengan demikian sudah sepatutnya rezim yang seperti ini harus segera diganti dengan yang baru, yang benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat.



MENDIRIKAN PEMERINTAHAN ISLAM MELALUI JALAN DESINTEGRASI

Bolehkah mendirikan pemerintahan Islam melalui jalan pemisahan diri (disintegrasi) dari suatu negeri Islam, seperti Aceh, yang hendak memisahkan diri dari Indonesia dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di sana setelah desintegrasi?

Ada dua hal penting yang harus dikaji dalam persoalan ini, yaitu: (1) tujuan, (2) metode atau cara untuk meraih tujuan tersebut. Tujuan yang hendak dicapai adalah menerapkan syariat Islam. Tujuan seperti ini merupakan kewajiban dari Allah Swt. kepada seluruh umat Islam. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran maupun hadits Nabi saw yang menjelaskannya. Di antaranya adalah:
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ
[
Hukumlah mereka dengan apa yang Allah turunkan. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka seraya meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [5] : 48)
]وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
[
Hendaklah engkau menerapkan hukum di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah jika mereka sampai memalingkan engkau dari apa yang Allah turunkan kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 49)

Di samping itu, Rasulullah saw juga bersabda pada salah satu haditsnya,
«مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»
Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu (perkara) dalam urusan agama kami yang tidak ada dasarnya maka amalnya itu tertolak. (HR. Bukhârî dan Muslim)

Perintah Allah Swt kepada Rasulullah saw juga merupakan perintah kepada umatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya dikhususkan bagi beliau. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu, ayat-ayat dan hadits tersebut memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum Allah Swt dalam segala bidang. Perkara di seputar akidah dan syariat; persoalan pribadi, keluarga, dan masyarakat; sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya; semuanya diperintahkan Allah Swt untuk diatur dengan aturan Islam. Semua itu tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kekuasaan (pemerintahan atau negara). Padahal, kekuasaan atas anggota masyarakat akan ada dengan adanya negara (daulah). Dengan demikian, mudah dipahami, mengapa Allah Swt menyinggung persoalan kekuasaan di dalam al-Quran al-Karîm.
Berkaitan dengan kekuasaan tersebut, Allah Swt mewajibkan kaum Muslim untuk menaati orang-orang yang memegang wewenang, yaitu penguasa. Allah Swt berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ[
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta para penguasa di antara kalian. (TQS. an-Nisâ’ [4] : 59)

Perintah menaati penguasa sebenarnya juga menunjukkan perintah memiliki pemerintahan. Sebab, Allah Swt tidak memerintah kaum Muslim untuk taat kepada sesuatu yang tidak ada. Jadi, adanya penguasa dalam suatu daulah merupakan keharusan. Perintah Allah Swt untuk menaati mereka adalah juga perintah Allah Swt untuk mengangkat mereka. Jelaslah, tujuan yang hendak dicapai—berupa penerapan syariat Islam—merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Persoalan kedua adalah melepaskan diri dari kesatuan salah satu negeri kaum Muslim. Siapa pun yang mengelaborasi ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi saw akan menyimpulkan bahwa, Allah Swt mewajibkan kaum Muslim untuk menyatukan diri dalam suatu negara dan haram memisahkan diri dari salah satu negeri kaum Muslim. Kenyataan bahwa kaum Muslim adalah umat yang satu, berbeda dengan umat manusia lainnya, adalah hal yang mendasar; tidak perlu dan tidak ada yang mempertanyakan lagi. Kaum Muslim juga adalah bersaudara. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman:
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (TQS. al-Hujurat [49]: 10)

Melalui ayat ini, Allah Swt menegaskan bahwa, pengikat persaudaraan itu adalah iman. Artinya, tanpa memandang suku, ras, teritorial, ataupun bentuk fisik; semua mukmin di dunia adalah bersaudara. Dengan kata lain, penampakan yang nyata dari kesatuan akidah kaum Muslim adalah kesatuan mereka dalam satu negara (daulah), di bawah satu kepemimpinan imam (Khalifah) yang memerintah mereka, dan dengan satu peraturan, yaitu peraturan yang berasal dari syariat Allah Swt. Oleh sebab itu, pengkotak-kotakkan kaum Muslim ke dalam banyak negara dengan masing-masing pemimpin, berbeda-beda sistem hukum yang diterapkannya, mengedepankan nasionalisme dan kebangsaan –yang dicela oleh Islam- atas keimanan dan akidah Islam, jelas merupakan pengkhianatan terhadap ayat ini. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw lewat haditsnya yang sangat terkenal:
«اَلْمُسْلِمُ أَخُّوا الْمُسْلِم»
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. (HR. Muslim)

Lebih spesifik lagi, terdapat banyak ayat dan hadits Nabi saw yang mewajibkan adanya kesatuan kaum Muslim dan adanya upaya untuk mempersatukan mereka. Allah Swt berfirman:
]وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا[
Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai. (TQS. Ali ‘Imrân [3]: 103)

Rasulullah saw, sebagaimana dituturkan oleh Abû Sa‘îd al-Khudrî, memberikan penjelasan rinci tentang hal ini dengan menyatakan:
«إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا»
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah terakhir dari keduanya. (HR. Muslim)

Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Ash juga menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
«وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ
إِنِ
اسْتَطَاعُ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَر»
Barangsiapa yang membaiat seorang imam, meletakkan tangannya, dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semaksimal mungkin. Jika ada orang lain yang hendak merampasnya, penggallah leher orang itu. (HR. Muslim)

Rasulullah saw juga bersabda:
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ»
Apabila datang seseorang—sedangkan urusan kalian berada pada seseorang—yang hendak memisahkan kalian atau memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits tadi, Rasulullah saw dengan tegas memerintahkan kaum Muslim untuk membunuh orang yang berusaha memecah-belah kesatuan kaum Muslim dan berusaha menghancurkan persatuan dan kesatuan mereka. Padahal, Rasulullah saw mengetahui bahwa darah seorang Muslim lebih berharga di sisi Allah Swt dari pada dunia dan segala isinya. Beliau juga pasti memahami surat al-Mâ’idah [5] ayat 32 yang menegaskan bahwa, siapa saja yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, berarti seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.
Keterangan-keterangan di atas merupakan qarînah (indikasi) yang tegas tentang kewajiban persatuan kaum Muslim dan institusi mereka. Jadi, yang diperintahkan Allah Swt dan Rasul-Nya adalah mempertahankan negeri-negeri Islam yang ada, lalu berupaya untuk menyatukannya, bukan malah menceraiberaikannya.
Berdasarkan pemaparan tadi, jelaslah bahwa inti persoalannya adalah bolehkah melaksanakan kewajiban melalui metode yang diharamkan Allah Swt? Jawabnya, tujuan tidak melegalkan cara (al-Ghâyah la tubarriru al-washîlah). Artinya, tujuan yang hukumnya boleh atau bahkan wajib tidak dapat mengubah cara yang haram—untuk mencapai tujuan tersebut—menjadi boleh.
Islam telah disempurnakan. Allah Swt bukan sekadar mewajibkan shalat, melainkan juga menetapkan bagaimana cara shalat dan hukum yang diberlakukan bagi mereka yang tidak menunaikan shalat. Allah Swt juga tidak hanya memerintahkan zakat, melainkan juga menjelaskan jenis-jenis barang yang wajib dizakati beserta nishâb-nya; orang yang berhak (mustahiq) menerimanya; orang yang berwenang mengaturnya, yakni negara melalui baitul mal; dan ketentuan bagi orang yang menolak untuk mengeluarkan zakat, yakni diperangi oleh pemerintahan Islam. Allah Swt pun bukan sekadar memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan hukum Islam, melainkan juga menjelaskan metode pencapaiannya.
Begitulah, Allah, Zat Pencipta manusia, telah menetapkan fikrah (konsep) dan sekaligus tharîqah (cara) dalam setiap perkara untuk dilaksanakan. Artinya, baik fikrah maupun thariqah merupakan syariat Islam. Setiap Muslim wajib terikat dengan fikrah dan tharîqah Islam. Sebab, semuanya merupakan syariat Islam. Padahal, hukum asal dari setiap perbuatan adalah terikat dengan syariat (Al-ashlu fî al-af‘âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar‘î). Demikian bunyi kaidah ushul yang digali dari banyak nash al-Quran dan hadits Nabi saw.
Selain itu, tujuan yang hendak dicapai dan cara untuk meraih tujuan itu berkaitan dengan perbuatan manusia. Boleh-tidaknya kedua hal tersebut harus ditentukan oleh dalil syar‘î, bukan oleh hasil yang diperoleh ataupun tujuan yang diraih. Allah Swt berfirman:
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ
[
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka seraya meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 48)

Jelaslah, hukum tentang cara yang ditempuh—sebagaimana halnya hukum tentang tujuan yang hendak diraih melalui cara tersebut—ditentukan oleh dalil syariat (al-Quran, hadits Nabi saw, Ijma sahabat, dan qiyâs syar‘iyyah); bukan oleh tujuan ataupun manfaatnya. Realitas ini—yakni bahwa dalil syariatlah yang menetapkan apakah suatu tujuan itu boleh ataukah haram, apakah cara yang ditempuh itu boleh ataukah tidak, serta kewajiban terikat dengan syariat dalam segala hal—menunjukkan bahwa tujuan tidak dapat melegalisasi cara. Suatu cara dikatakan boleh apabila dalil syariat menunjukkan kebolehannya. Sebaliknya, bila cara tersebut diharamkan oleh Allah Swt, cara itu tidak boleh dilakukan, sekalipun untuk mencapai tujuan yang boleh atau bahkan wajib.
Berdasarkan semua paparan di atas, haram hukumnya memisahkan diri dari kesatuan negeri muslim, sekalipun tujuannya hendak menerapkan syariat Islam. Sebaliknya, cara yang perlu ditempuh adalah menggabungkan seluruh negeri kaum Muslim—seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, dan negeri-negeri lainnya—dalam rangka menegakkan syariat Islam di wilayah-wilayah tersebut.
Selain alasan di atas, pada faktanya, langkah-langkah desintegrasi di negeri-negeri muslim itu merupakan rancangan kafir-imperialis untuk semakin mengerat-ngerat kaum Muslim. Tidak ada satu negeri pun yang memisahkan diri dari negeri kaum Muslim yang sungguh-sungguh menerapkan syariat Islam. Sebaliknya, mereka umumnya menjadi pengekor negara Barat. Contoh konkrit adalah Kuwait dan Sudan. Sedangkan Aceh, misalnya, jauh-jauh hari sudah meminta intervensi PBB untuk melepaskannya dari negeri muslim Indonesia. Hal demikian lebih memudahkan kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim. Padahal, Allah Swt berfirman:
]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً[
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 141)

Artinya, haram hukumnya memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukmin.

Haruskah Daulah Khilafah Membayari
Utang Luar Negeri Rezim Sebelumnya?

Jika Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, bagaimana upaya Daulah mengatasi masalah utang luar negeri yang terlanjur dilakukan oleh ‘rezim’ sebelumnya? Darimana Daulah memperoleh uang untuk pembayaran sisa utang luar negeri yang diwariskan ‘rezim’ sebelumnya.

Utang luar negeri merupakan senjata ampuh yang menjadi andalan negara-negara kapitalis dalam menguasi negara-negara berkembang, termasuk negeri-negeri muslim. Utang yang semakin membengkak akan semakin menyulitkan negara peminjam untuk bisa melunasi utangnya. Tidak jarang negara tersebut kemudian harus menggadaikan aset-aset nasionalnya (seperti melalui program privatisasi yang dipaksakan oleh IMF). Celakanya lagi, tidak semua utang tersebut adalah milik pemerintah, karena pihak swasta juga ikut menikmati ‘bantuan’ lunak tersebut, sehingga negara sering terpaksa harus menombokinya. Sebagai contoh, utang luar negeri Indonesia sampai saat ini (Oktober 2000) menyentuh angka 143,3 miliar dolar AS. Jumlah tersebut terdiri dari utang luar negeri pemerintah sebesar 75,1 miliar dolar AS dan utang luar negeri swasta 68,2 miliar dolar AS.
Untuk menjawab persoalan di atas, maka kerangka berpikir kita harus lepas dari fakta yang ada sekarang ini. Dengan kata lain, kita berbicara dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah, dalam kerangka berpikir syar‘î, bukan dalam sistem yang ada sekarang. Sebab, dalam payung Daulah Islamiyah, tidak dibenarkan seorang individu muslim atau pun negara, melakukan pendekatan dan pemecahan apa pun kecuali hanya dengan pendekatan atau pemecahan yang sesuai dengan hukum Islam, termasuk dalam hal ini penyelesaian utang luar negeri ‘warisan rezim terdahulu’.
Allah Swt telah mewajibkan kepada kita, baik selaku individu maupun penguasa di dalam Daulah Khilafah Islamiyah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar sesama kaum Muslim maupun antara kaum Muslim dengan orang-orang atau negara kafir. Dengan catatan, selama transaksi/akad tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum Islam. Allah Swt berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 1)

Ayat ini berbentuk perintah (dengan kategori wajib) dari Allah Swt kepada kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan.  Utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, institusi/perusahaan, maupun negara, adalah termasuk dalam salah satu jenis transaksi/akad, yaitu transaksi utang-piutang. Apabila seseorang, perusahaan, ataupun negara, menjalin utang-piutang dengan pihak lain—baik dengan perorangan, institusi/perusahaan, maupun negara lain—maka mereka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi tersebut selesai/berakhir, yaitu dilunasinya utang.
Berubahnya kondisi masyarakat ataupun sistem pemerintahan dan perundang-undangan tidak bisa menggugurkan transaksi utang-piutang. Misalnya, utang yang dilakukan oleh seseorang, perusahaan, ataupun penguasa sebelum berdirinya Daulah Islamiyah, tetap menjadi utang yang harus dibayar. Jika Daulah Islamiyah telah berdiri, sementara utang belum lunas, transaksi utang-piutang yang sudah mereka sepakati tidak gugur begitu saja. Hukum untuk menepati berbagai akad adalah wajib, selama akad-akad tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum Islam.
Di samping itu, Daulah Islamiyah, tatkala baru berdiri, harus memperhatikan konstelasi politik internasional. Dalam hal ini, Daulah harus menciptakan citra di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai Daulah yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan memerangi Daulah Islamiyah. Salah satu manuver yang dilakukan Daulah Islamiyah untuk menarik simpati masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar sisa cicilan utang pokok ‘rezim’ sebelumnya.
Lalu, bagaimana caranya Daulah Islamiyah membayar sisa cicilan utang pokoknya, dari mana uang yang diperoleh Daulah Islamiyah untuk membayar utang-utang ‘rezim’ sebelumnya ?
Menyikapi persoalan ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh Daulah Islamiyah, antara lain:
1.  Harus dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Hal ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa ‘rezim’ sebelum munculnya Daulah Islamiyah, maka Daulah Islamiyah—sebagai penguasa baru—harus mengambilalih sisa cicilan pembayarannya, sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara government to government.
2.  Sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena, syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga. Firman Allah Swt.:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ[
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (TQS. al-Baqarah [2]: 278)

Ayat ini mengharuskan Daulah Islamiyah, individu maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar/melunasi sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.
3.  Meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, Daulah Islamiyah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak donor bersedia memberikan cut off (pemutihan). Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban Daulah. Namun bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).
4.  Utang ‘rezim’ sebelumnya, akan dibayar Daulah dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh penguasa ‘rezim’ sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri, entah itu di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan oleh Daulah bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat ini, ‘lebih dari cukup’ guna memenuhi warisan utang luar negeri ‘rezim’ sebelumnya. Bahkan akumulasi pembayaran utang yang selama ini dilakukan kepada negara-negara donor telah melampaui total utang pokoknya. Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, Daulah Islamiyah harus mengambil-alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan Daulah. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos jizyah (pungutan setiap tahun atas ahlu dzimmah yang laki-laki), cukai perbatasan, atau badan usaha milik Daulah. Daulah Islamiyah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa ‘rezim’ sebelumnya, bukan rakyatnya.
5.  Sementara itu, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar negerinya, Daulah Islamiyah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka. Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan mereka di luar negeri, Daulah bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan utang-utang mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, Daulah harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena Daulah adalah penjaga dan pemelihara (râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.

Demikianlah, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh Daulah Islamiyah guna mengatasi beban warisan utang luar negeri ‘rezim’ penguasa sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengganggu gugat aset harta kekayan yang dimiliki oleh masyarakat, yang dikelola oleh Daulah untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Penyelesaian ini, secara bersamaan, akan menjatuhkan cengkeraman negara-negara Barat Kapitalis atas negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslim—bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.
Namun demikian, perlu diingat, bahwa hal ini hanya bisa dilakukan tatkala Daulah Islamiyah berdiri. Sebab, saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian banyak penguasa Muslim, yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya. Apalagi para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai gambaran yang jelas dan rinci tentang alternatif pendapatan negara maupun alternatif pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi. Gali lubang tutup lubang. Lalu sampai kapan?

MEMPERJUANGKAN ISLAM VIA PARLEMEN

Ada sebagian partai yang menamakan diri partai Islam yang memperjuangkan tegaknya Islam melalui cara bergabung dengan sistem pemerintahan (yang ada). Mereka bergabung dengan sistem pemerintahan yang tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan sistem hukum bukan Islam. Bagaimanakah pandangan syariat Islam tentang bergabungnya partai-partai tersebut dalam sistem pemerintahan yang tidak menerapkan syariat Islam, malahan menegakkan sistem hukum kufur?

Allah Swt telah menjadikan Dînul Islam ini sebagai agama yang paripurna. Nikmat-Nya pun telah Dia sempurnakan. Semua ini merupakan ketetapan Zat Maha Mulia yang tidak akan pernah berubah. Allah Swt berfirman:
115
]وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ[
Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kaliamat-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-An’aam [6]: 115) 9)

115


Demikian pula firman-Nya:
]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian din kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku, serta Aku ridlai hanya Islam menjadi dien bagi kalian. (TQS. al-Maidah [5]: 3 )

Sungguh, kesempurnaan din dan kecukupan nikmat ini merupakan karunia tak terhingga dari Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya. Tidak hanya itu, karunia lainnya adalah Dia-lah Zat Maha Gagah menjaga dan memelihara al-Quran dari tangan-tangan yang mencoba untuk merubah atau menggantinya.
]إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran (adz-Dzikr), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijr [15]: 9)

Penyempurnaan dan pemeliharaan Allah Swt ini menunjukkan bahwa al-Quran tersebut merupakan hujjah bagi manusia hingga hari kiamat. Oleh sebab itu, setiap muslim berkewajiban mengikuti semua yang dibawa Rasulullah saw dengan cara berpegang teguh kepada al-Quran dan terikat dengan as-Sunnah sekuat-kuatnya, termasuk di dalam metode dakwah untuk menegakkan Islam. Rasulullah saw telah diberi oleh Allah Swt suatu jalan (sabil/thariqah) dalam upayanya menegakkan Islam.
]قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ[
Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (TQS. Yusuf [12]: 108)

Di dalam sirah Rasulullah saw, yang diriwayatkan secara mutawatir bahwa beliau saw tidak pernah bergabung dengan pemerintahan/kekuasaan yang menerapkan hukum-hukum kufur. Ini saja cukup menjelaskan bahwa tauladan yang diberikan oleh utusan pilihan Allah Swt tersebut berupa tidak bergabung dengan (sistem) pemerintahan mana pun yang tidak menerapkan Islam, apalagi menerapkan hukum-hukum kufur. Padahal, Allah Swt menegaskan:
]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[
Sungguh, di dalam diri Rasulullah itu terdapat tauladan baik bagi kalian. (TQS. al-Ahzab [33] : 21)

Ada sedikit orang yang terpengaruh cara berpikir Barat mengatakan, dengan alasan kemaslahatan boleh bergabung dengan pemerintahan yang menerapkan hukum selain Islam. Padahal, kemaslahatan bukanlah sumber hukum Islam. Lagi pula yang lebih mengetahui kemaslahatan bagi manusia adalah Pencipta Manusia, bukan manusia itu sendiri. Jadi, dalam kacamata Islam kemaslahatan sejati justru terletak dalam pelaksanaan hukum syara. Kaidah ushul menyebutkan: ‘Dimana ada hukum syara, di situlah ada kemaslahatan’.
Begitu juga dalih bahwa pemerintahan jahiliyah pada zaman Nabi berbeda dengan pemerintahan masa sekarang, tidak dapat dijadikan sebagai alasan kebolehan bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan hukum kufur. Sebab, bila dilihat dengan jeli dan teliti inti keduanya itu sama; yaitu sama-sama tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur. Realitasnya, pemerintahan dimana pun saat ini dasarnya berpijak pada ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ (Demokrasi). Artinya, rakyatlah yang menentukan hukum macam apa yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat, bukan Allah Swt. Anggota-anggota lembaga perwakilan rakyatlah (MPR/DPR) –termasuk anggota yang mengaku beragama Islam- yang membuat dasar negara, UUD, dan berbagai macam produk hukum atas dasar kehendak mereka sendiri. Sebab, lembaga itulah yang dianggap sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang dan peraturan. Jadi, hukum-hukum yang diterapkan tersebut bukan berpijak atas dasar ruhiy (atas dasar iman kepada Allah Swt).
Selain itu, kebijakan politik suatu pemerintahan ditetapkan oleh negara secara kolektif. Suara seorang menteri muslim -yang katakan saja akan memperjuangkan Islam- tidak lebih dari satu suara yang hanyut oleh mayoritas suara lainnya. Bahkan, dalam prakteknya, pada saat seseorang dipilih menjadi menteri, kebijakan (haluan) politik pemerintah tentang kementriannya tersebut sudah tersedia dan dibuat oleh kepala negara maupun oleh lembaga legislatif. Menteri terpilih itu hanya memiliki dua pilihan: menjadi menteri atas dasar haluan politik yang sudah tersedia, atau menolaknya. Dia tidak berhak membuat haluan politik kementriannya itu. Sementara itu setiap menteri bertanggung jawab atas seluruh keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah. Sebab, di dalam undang-undang dinyatakan bahwa pertanggungjawaban kabinet bersifat kolektif. Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan yang ada saat ini, baik MPR/DPR, kepala negara, menteri, atau lembaga tinggi lainnya, sama-sama terlibat dalam proses pembuatan, penerapan, dan pelanggengan perundang-undangan dan hukum buatan akal dan hawa nafsu manusia. Inilah realitas sistem pemerintahan dewasa ini.
Mensikapi persoalan itu, Allah Swt dalam banyak ayat al-Quran menegaskan keharaman seorang muslim bergabung dalam sistem pemerintahan demikian. Diantaranya adalah:
1.  Allah Swt mewajibkan hukum Allah-lah yang menjadi dasar pembentukan berbagai perundang-undangan dan peraturan, melarang kaum mukmin berhukum kepada syariat selain syariat Allah Swt.
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
[
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
[
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

2.  Allah Zat Maha Penghisab mewajibkan penguasa muslim untuk menerapkan sistem hukum Islam. Jika tidak, Allah Swt mengkategorikannya sebagai kafir, fasik, atau zalim.
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. (TQS. al-Maidah [5]: 44)
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang zhalim. (TQS. al-Maidah [5]: 45)
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik. (TQS. al-Maidah [5]: 47)
]وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
[
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah supaya mereka tidak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

3.  Penentuan hukum merupakan hak Allah Swt semata.
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ[
Hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar engkau tidak menyembah selain Dia. (TQS. Yusuf [12]: 40)

4.  Salah satu karakter orang munafik adalah mengaku beriman tetapi berhukum pada hukum thâghut (hukum selain hukum Islam). Padahal Allah Swt mengharamkan berhukum kepada thâghut.
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
[
Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan kepada apa yang diturunkan sebelum engkau? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka tela diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4] : 60)

5.  Tidak boleh meninggalkan hukum Allah beralih kepada hukum selain-Nya.
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]: 50)

6.  Allah Swt mengharamkan seorang muslim menjadi teman dekat (bithânah) penguasa yang memerintah bukan dengan sistem hukum Islam.
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman dekatmu orang-orang yang di luar kalanganmu (tidak beriman kepada apa yang diturunkan Allah). (TQS. Ali Imran [3]: 118)

7.  Allah Swt mengharamkan kaum Muslim bermuwâlât kepada selain orang-orang Islam.
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ % فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali kalian; sebagian mereka wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim. Maka kalian akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (TQS. al-Maidah [5]: 51 – 52)

Ayat-ayat itu dengan tegas melarang orang Yahudi, Nasrani, dan orang yang bermuwâlât kepada mereka, sebagai wâli. Memang benar, para penguasa yang ada di negeri-negeri muslim sekarang bukan Yahudi, Nasrani ataupun kaum musyrik. Namun, sikap mereka menunjukkan secara gamblang adanya muwâlât mereka kepada kaum kafir tersebut. Oleh sebab itu, siapa saja yang bermuwâlât kepada orang yang berwâli kepada Yahudi dan Nasrani, maka berarti ia telah bermuwâlât kepada Yahudi dan Nasrani.
Berdasarkan pemaparan di atas, nash-nash al-Quran secara qath’i tsubut (pasti sumber pengambilan dalilnya) dan qath’i dilalah (pasti penunjukkan dalilnya) menetapkan haram hukumnya bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem hukum selain Islam.

ANTARA POLITIK DAN MASLAHAT

Bagaimanakah hubungan antara politik dan maslahat, dan bagaimana kategori para politikus menurut syari ‘at Islam?

Politik didefinisikan sebagai pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri. Pengaturan ini diselenggarakan berdasarkan sekumpulan peraturan dan undang­-undang yang terpancar dari suatu pemikiran mendasar (ideologi), yang diyakini oleh para politikus yang melaksanakan pengaturan urusan tersebut, juga diyakini oleh rakyat yang tunduk kepada pengaturan tersebut.
Pada dasarnya aktivitas politik itu terpancar dari suatu ideologi, baik ideologi itu kuat (pengaruhnya) maupun lemah, benar ataupun keliru. Di atas dasar ideologi ini ditetap­kan berbagai peraturan dan undang-undang, sekaligus metode penerapannya.
Berbagai aktivitas dan tindakan politik yang merupakan pelaksanaan peraturan dan undang-undang tersebut, pada umumnya dimaksudkan untuk memecahkan problematika tertentu dalam rangka merealisir kepentingan-kepentingan (maslahat) tertentu.
Kepentingan-kepentingan itu sendiri beraneka ragam bentuk dan macamnya. Namun, secara umum dapat dikelompokkan dalam empat macam kepentingan. Pertama, kepentingan ideologis, yaitu kepentingan yang telah ditentukan oleh ideologi yang diyakini oleh para politikus dan rakyat. Misalnya, penyebarluasan/propaganda suatu ideologi secara internasional.
Kedua, kepentingan pribadi, yaitu kepentingan bagi seorang politikus yang melaksanakan pengaturan urusan rakyat. Misalnya, upaya mempertahankan kedudukannya di kursi pemerintah­an, atau untuk memperoleh kemakmuran hidup yang bersangkutan.
Ketiga, kepentingan kelompok atau golongan, yaitu kcpentingan bagi suatu kelompok tertentu—dalam arti luas—seperti madzhab, firqah agama, keluarga besar (klan), partai politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, kepentingan untuk mem­pertahankan golongan tertentu di tampuk pemerintahan untuk memperoleh fasilitas dan kemakmuran hidup secara berkelompok.
Keempat, kepentingan pihak asing, yaitu kepentingan bagi negara-negara asing yang mempunyai pengaruh terhadap praktik politik yang diselenggarakan di suatu negara. Negara-­negara asing semacam ini biasanya mempunyai agen, yaitu politikus yang ikut serta berperan dalam berbagai aspek kehi­dupan di suatu negara tertentu.
Politikus yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan pribadi atau kelompok—bila kekuatan kelompoknya lemah—secara pasti akan tunduk kepada kepentingan pihak asing, yaitu kepentingan yang dapat membawanya pada posisi sulit. Sebab, tindakannya melayani kepentingan negara asing akan berbenturan dengan tuntutan-tuntutan kepentingannya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika hal ini terjadi, berarti politikus tersebut telah menjadi pelayan (agen) bagi negara asing tersebut. Dia akan ber­putar mengikuti segala kepentingan negara asing itu. Dalam beberapa kondisi, politikus itu selalu loyal mengikuti instruksi ‘majikannya’ tanpa reserve.
Pembagian kepentingan tadi, dapat membedakan para politikus dari segi kepentingan yang diperjuangkannya, yang bermuara menjadi dua macam saja; politikus terhor­mat dan ikhlas, dan politikus pengkhianat yang menjadi agen (antek-antek) pihak asing.
Para politikus yang terhormat dan ikhlas, adalah mereka yang mengikat­kan aktivitas politiknya dengan kepentingan-kepentingan vital yang telah ditetapkan oleh ideologi yang diyakini oleh rakyatnya. Dengan kata lain, mereka senantiasa berusaha merea­lisir jenis kepentingan yang pertama saja—yakni kepentingan ideologis—bukan yang lain. Sedangkan para politikus yang mengkhianati rakyat dengan kekuasaannya, adalah mereka yang menjalankan aktivitas politiknya mengikuti kepentingan selain jenis kepentingan yang pertama. Ini yang menyebabkan mereka digolongkan sebagai pengkhianat. Jadi, politikus yang menjadi agen, bukan hanya orang-orang yang bekerja pada kantor-kantor berita asing, atau orang-orang yang mendapatkan gaji bulanan dari suatu negara asing, melainkan juga mereka yang lebih mengutamakan perhatiannya bagi kepentingan pihak asing dibandingkan kepentingan rakyatnya sendiri, dengan motif apa pun.
Atas dasar pengelompokkan ini, mereka yang mengamati realitas politik negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, akan dapat menyimpulkan bahwa para politikus di negeri-negeri Islam adalah para pengkhianat atau agen-agen negara asing. Pernyataan ini bukan tanpa dasar (bukti), dan bukan pula sekadar lontaran tuduhan. Sebab pernyataan tersebut memiliki realitasnya dalam kehidupan politik suatu negeri.
Sebagai contoh, kita bisa melihat, bagaimana sikap Jabar ash-Shabbah (Emir Kuwait) yang rela me­nyumbangkan dana 10 juta dolar AS untuk sebuah kebun binatang di London. Tindakan ini jelas-jelas merupakan pengkhia­natan terhadap umat Islam. Seharusnya dia mengutamakan kepentingan vital umatnya—kepentingan ideologi Islam—untuk menolong umat Islam yang tengah menderita kelaparan hebat di Somalia saat itu. Contoh lain, pengkhianatan para politikus di negeri-negeri Islam, adalah sikap sekitar 30 penguasa negeri muslim yang menghadiri KTT Internasional Anti Terorisme di Sharm el Sheikh, Mesir, empat tahun lalu (1997). Mereka mengeluarkan deklarasi untuk meneruskan ‘proses perdamaian’ di Timur Tengah, dan memerangi apa yang mereka sebut sebagai ‘terorisme’. Ini jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap umat Islam. Sebab, tindakan mereka ini berarti makin melegitimasi perampasan bumi Palestina—sebagai negeri Islam—oleh Yahudi. Disamping itu turut membantu negara­-negara kufur dan Zionis untuk menghancurkan Islam, dengan cara menumpas para pejuangnya yang ikhlas. Padahal, kepentingan ideologi Islam telah mewajibkan mereka untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Yahudi, juga untuk mendukung para pejuang Islam yang ikhlas itu dalam perjuangannya membebaskan bumi Palestina dari pendudukan Yahudi. Contoh lain adalah keengganan sebagian penguasa muslim untuk memutuskan kontrak dan hubungannya dengan IMF (yang jelas-jelas ditunggangi oleh negara-negara Barat kufur). Mereka beralasan, bahwa ekonomi dalam negeri masih lemah dan memerlukan bantuan asing dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan atau keseimbangan APBN. Kenyataannya, masyarakat justru menuntut pemutusan hubungan karena mereka menganggapnya mampu mengatasi perekonomian dengan ditopang oleh kemampuan dan kemandirian. Sikap para politisi dan ekonom tersebut hakekatnya adalah melayani kepentingan negara-negara asing dan semakin menambah terpuruknya negeri Islam di dalam jeratan utang luar negeri. Inilah sekilas contoh-contoh yang nyata mengenai para politikus pengkhianat yang menjadi agen Barat dan Yahudi.
Di sini perlu dijelaskan pula, bahwa keikhlasan seorang politikus terhadap ideologi dan kepentingan vital rakyatnya, tidak berarti bahwa aktivitas politiknya selalu benar dan tepat. Keikh­lasan politikus adalah satu hal, sedangkan kebenaran aktivitas politiknya adalah perkara lain. Con­tohnya, para politikus Barat. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang yang ikhlas terha­dap ideologi dan kepentingan vital rakyatnya yang telah ditetapkan oleh ideologi Kapitalis­me atau Demokrasi. Akan tetapi—kendati pun aktivitas politik mereka dapat dikatakan ber­sifat ideologis/demi kepentingan ideologis—sebenarnya aktivitas politik mereka itu keliru. Ini karena aktivitas politik mereka terpancar dari ideologi yang bathil, baik dari sisi fikrah (pemikiran) maupun thariqah-nya (hukum dan peraturannya).
Fikrah ideo­logi Kapitalisme berdiri di atas asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Sementara itu peraturan-peraturan hidup yang dibuat oleh akal manusia, yang memang terbatas dan hanya mampu menjangkau sesuatu yang terindera, juga sangat terikat dengan tolok ukur-tolok ukur tertentu yang bersifat terbatas, yang tidak dapat dilampaui lagi.
Adapun aktivitas politik Islam yang hakiki—yang kini telah lenyap keberadaan dan pengaruhnya di pentas politik internasional pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924—sesungguhnya merupakan satu­-satunya aktivitas politik yang benar dan tepat untuk suatu pemerintahan. Sebab, aktivitas politik ini berdiri di atas ideologi yang benar. Satu-satunya ideologi yang mampu memberikan jawaban shahih—yakni akidah Islam—yang mampu memuaskan akal. Atas dasar akidah Islam tersebut, ideologi ini menetapkan bagi manusia suatu jalan hidup—yaitu syari’at Islam—yang telah dikehendaki oleh Allah, Sang Pencipta dan Pengatur, juga yang Maha Mengetahui apa yang diciptakan-Nya, termasuk peraturan hidup apa yang sesuai untuk ciptaan-Nya itu.
Mereka yang menjalankan aktivitas politik berdasarkan ideologi ini, adalah benar-benar para politikus yang terhormat dan ikhlas, karena mereka akan melakukan akti­vitas politik atas dasar takwa kepada Allah Swt. Disamping itu juga ideologi mereka—yakni Islam—telah menyerunya untuk terikat dengan hukum syara’. Hal ini akan meng­anggap bahwa aktivitas politik itu tidak lain adalah hukum-hukum syara’, yang bertujuan untuk meraih ridha Allah semata. Oleh karena itu, pengawas/pengendali sejati terhadap keikhlasan mereka, berasal dari ketakwaannya kepada Allah.
Disamping itu, kepentingan-kepentingan yang diupayakan oleh para politikus Islam tersebut, adalah kepentingan yang telah ditentukan oleh ideologi Islam, yang telah meniadakan unsur egoisme dan individualisme dalam kehidupan bermasyarakat di satu pihak. Bersamaan dengan itu—di pihak lain—yakni masyarakat, juga berupaya untuk merealisir kesejahteraan individu-individunya.
Perlu dipahami, lenyapnya aktivitas politik Islam di pentas politik internasional saat ini, tidak berarti para politikus Islam itu tidak ada. Bahkan bisa dikatakan jumlahnya cukup banyak. Persoalannya adalah, urusan pemerintahan saat ini tidak berada di tangan mereka—setelah hak memerintah dan mengangkat Khalifah dirampas secara paksa dari tangan kaum Muslim.
Dengan demikian, diharapkan umat akan segera sadar, lalu bersama-sama para politikus Islam itu mereka akan bangkit menjadi satu kekuatan politik yang dahsyat untuk meng­gulingkan sistem pemerintahan kufur yang ada sekarang—dalam waktu dekat ini, insya Allah—dan kemudian, di atas reruntuhannya itu mereka akan menegakkan Daulah Khilafah Islami­yah dan menjalankan aktivitas politik Islam.

Trias Politica dalam Pandangan Islam
 Bagaimana pandangan Islam mengenai konsep Trias Politica, yaitu konsep yang menyatakan bahwa kekuasaan harus dipisahkan/dibagi menjadi tiga macam kekua­saan: kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang), kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), dan kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran un­dang-undang)?
Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M.
Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan untuk membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian, diharapkan hak-hak azasi warga negara dapat lebih terjamin.
Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filosof Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain: kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang; kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang, di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Selanjutnya, pada tahun 1748, filosof Perancis, Montesquieu, mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerinta­han yang bisa membuat warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya.
Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan ke dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksana­kan undang-undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pe­langgaran undang-undang).1          Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa, seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa, agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah terjadinya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.2 
Montesquieu juga menekankan bahwa, kebebasan akan kehilangan maknanya tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tidak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka—seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu—bila satu orang atau satu badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyara­kat.3
Konsep Trias Politica ini bertentangan dengan Islam dalam segi-segi berikut:
Pertama, sumber konsep ini adalah manusia; manusia memberikan penilaian baik buruknya sesuatu menurut akal belaka. Konsep ini dibuat oleh para filosof sebagai pemecahan terhadap masalah penindasan dan kesewenang-wenangan para raja dan tokoh gereja di Eropa terhadap rakyatnya dalam menjalankan kekuasaan.
Dalam Islam, yang berhak memberikan penilaian baik-buruk terhadap sesuatu hanyalah Allah Swt semata—dalam hal ini syariat, bukan akal. Fungsi akal, dalam hal ini, hanya terbatas untuk memahami fakta permasalahan dan nash-nash syariat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Fakta itu sendiri bukanlah sumber pemecahan masalah atau sumber konsep/pemahaman tentang hidup, melainkan objek permasalahan yang harus dikaji untuk kemudian dicarikan pemecahannya menurut nash-nash syariat. Pemecahan terhadap suatu permasalahan haruslah berasal dari syariat, bukan bertolak dari fakta permasalahan itu sendiri tanpa merujuk pada syariat. Firman Allah Swt:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
]وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ[
Tentang sesuatu apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (TQS. asy-Syûrâ [42]: 10)

Kedua, konsep ini merupakan salah satu ide pokok Demokrasi yang kufur, sebab Demokrasi telah menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan sekaligus rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan. Oleh karena itu, Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif, ekse­kutif, dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang, menentukan para hakim, dan mengangkat para penguasa.
Sementara itu, Islam telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syariat, bukan milik rakyat. Syariatlah yang menjadi rujukan tertinggi bagi segala sesuatu. Firman Allah Swt:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ[
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri dari kalangan kalian. Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesua­tu, kembalikanlah masalah itu kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 59)

Dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai beri­kut:
Pertama, kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Hanya Allah Swt sajalah Yang menjadi Musyarri‘ (Pembuat Hukum); Yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua­malah, ‘uqûbât (peradilan), dan sebagainya. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun hanya satu hukum. Firman Allah Swt:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
]أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ[
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-A‘râf [7]: 54)

Yang dimiliki oleh rakyat adalah kekuasaan atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa.
Namun demikian, syariat telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengatu­ran urusan rakyat dan pemerintahan adalah Khalifah saja, bukan yang lain. Ijma sahabat Nabi saw menetapkan bahwa hanya Khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syariat sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya. Dalam hal ini, Khalifah tidak berarti memegang kekuasaan legislatif. Khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.
Kedua, kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat. Kekuasaan adalah milik umat/rakyat yang dijalankan secara real oleh Khalifah—dan para aparatnya—sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa untuk menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat. Artinya, bai’at adalah berasal dari kaum Muslim untuk Khalifah, bukan dari Khalifah untuk kaum Muslim. Nabi saw bersabda:
«بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ B عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ المَنْشَطِ وَ الْمَكْرِهِ»
Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai. (HR. al-Bukhârî, hadits no. 7199)

Ketiga, kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh khalifah atau orang yang mewa­kilinya untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Khalifahlah yang berhak dan berwenang untuk mengangkat para qâdhî (hakim). Tidak ada seorang pun dari rakyat—baik secara individu­al maupun secara kolektif—yang berhak mengangkat para qâdhî. Hak ini hanya dimiliki oleh Khalifah, bukan yang lain.
Nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Rasulullah saw, misalnya, telah mengangkat ‘Alî bin Abî Thâlib r.a. sebagai hakim (qâdhî) di Yaman dan mengangkat ‘Abdullâh ibn Nawfal r.a. sebagai qâdhî di Madinah. Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan Khalifah dan mereka yang mewakilinya dalam urusan ini.
Keempat, apabila penguasa kaum Muslim berlaku zalim, merampas hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syariat telah memberikan pemecahannya; yaitu dengan mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan koreksi (muhâsabah) dan amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias Politica.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan demikian:
«سَتَكُوْنُ أُمَرَاءٌ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنَّ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوْا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ، مَا صَلُّوْا»
Akan ada para amir (penguasa), lalu di antara kalian ada yang mengakui perbuatan mereka, dan ada pula yang mengingkari mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syariat), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya. Siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syariat), maka dia selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syariat) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para sahabat bertanya, ‘Apakah kita tidak memerangi mereka? Jawab Nabi saw, ‘Tidak, selama mereka mendirikan shalat’. (HR. Muslim, hadits no. 1854)

Rasulullah saw telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan penyimpangan dengan berbagai sarana yang memungkinkan; baik dengan tangan, lisan, maupun hati—bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw menetapkan bahwa, siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.
Dengan demikian, Islam tidak mengaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syariat tertentu, sedang masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syariat yang lain.
Kaum Muslim wajib mengambil pemecahan dari syariat apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, kaum Muslim diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syariat, seperti konsep Trias Politica. Sebab, Allah Swt berfirman:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian terimalah dia dan apa saja yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
]فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nûr [24]: 63)

Kelima, konsep Trias Politica bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang karena perilaku penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Islam tidak mengakui adanya ide kebebasan, yakni kebebasan yang tidak terikat dengan sesuatu apa pun pada saat dilakukannya suatu perbuatan, sebagaimana yang ada dalam peradaban Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan setiap Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syariat. Seorang Muslim juga tidak boleh berbuat kecuali sesuai dengan hukum-hukum syariat. Keterikatan pada hukum syariat adalah bukti dan buah dari keimanan. Allah Swt berfirman:
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[
Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadi­kan engkau (Muhammad) hakim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 65)

Islam memang telah mewajibkan umatnya untuk beraktivitas dalam politik, seperti memilih penguasa, melakukan pengawasan, dan mengoreksi mereka. Namun demikian, hal ini bukanlah kebebasan politik, melainkan pelaksanaan dari hukum syariat, yaitu kewajiban berpolitik dan beramar makruf nahi mungkar.
Atas dasar penjelasan di atas, jelas bahwa konsep Trias Politica sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Konsep Trias Politica tiada lain adalah konsep thâghût. Allah telah mengharamkan kaum Muslim untuk berhukum kepada thâghût dan mengambil konsep pemerintahannya. Allah pun telah memerintahkan kaum Muslim untuk menentang dan mengingkari thâghût, sebagaimana firman-Nya:
]يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا[
Mereka hendak berhukum kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah (untuk) mngingkari thâghût itu. Setan hendak menyesatkan mereka (den­gan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 60)


‘Jalan Tengah’, Bukan Jalan Islam

Pada saat ini, banyak kaum Muslim yang melakukan praktik-praktik kompromi, baik dalam bidang politik dalam negeri, politik luar negeri dengan negara-negara asing, dan berbagai interaksi lainnya. Mereka akhirnya terperangkap dalam kesukaannya bersikap moderat (jalan tengah); seolah-olah sikap moderat itulah yang benar, yang paling selamat, dan yang paling diterima semua pihak. Apa sesungguhnya jalan tengah atau sikap moderat itu? Bagaimana sikap kita, kaum Muslim, terhadap penggunaan istilah tersebut?

Istilah jalan tengah (sikap moderat) tidak pernah muncul di tengah-tengah kaum Muslim dan bukan berasal dari ajaran Islam. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat dengan ideologi Kapitalismenya. Ideologi inilah yang telah membangun akidahnya di atas dasar jalan tengah. Jalan tengah itu sendiri merupakan kompromi yang lahir akibat pertarungan atau konfrontasi berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama memandang Kristen sebagai agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan, sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu—karena Kristen dianggap sebagai penyebab kehinaan dan ketertinggalan—dan bahwa akal manusialah yang mampu menciptakan peraturan yang layak untuk mengatur segala urusan kehidupan.
Setelah pertarungan yang sengit di antara kedua belah pihak ini, keduanya menyepakati suatu jalan tengah, yaitu: mengakui eksistensi agama untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama (Tuhan) tidak diberi hak untuk turut campur dalam kehidupan; pengaturan urusan kehidupan sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Dari sini, mereka lantas menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) sebagai akidah bagi ideologi mereka, yakni kapitalisme. Di atas dasar ideologi yang bertumpu pada sekularisme inilah, mereka mampu meraih kebangkitan dan kemudian menyebarluaskan ideologinya kepada manusia lain melalui jalan penjajahan (imperialisme).
Prinsip jalan tengah atau sikap moderat—yang berbau kompromistik itu—yang menjadi landasan akidah mereka akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut ideologi kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah Palestina, misalnya, kaum Muslim menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi negeri mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Negara-negara Barat yang Kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi jalan tengah—yang juga berbau kompromistik—pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina: satu untuk Arab dan satu lagi untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini tampak jelas pula dalam berbagai masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara Kapitalis; seperti dalam masalah Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.
Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu pada kedustaan dan penghindaran diri dari masalah; tidak ditujukan untuk memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja, entah sedikit atau banyak. Artinya, prinsip tersebut tidak ditujukan untuk meraih semua hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak. Prinsip demikian ditempuh bukan karena benar, melainkan karena mempertimbangkan kondisi kekuatan dan kelemahan setiap pihak. Pihak yang kuat mengambil bagian yang diinginkannya jika memang mampu, sedangkan pihak yang lemah melepaskan bagian yang tidak mampu didapatkannya (prinsip take and give).
Alih-alih mengkritik serta membongkar kekeliruan atau kepalsuan ide jalan tengah, sebagian kaum Muslim malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide tersebut juga ada dalam ajaran Islam. Islam bahkan, menurut mereka, berdiri di atas prinsip jalan tengah. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan materialisme, di antara individualisme dan kolektivisme, di antara sikap ‘realistis’ dan ‘idealis’, serta di antara kemapanan dan perubahan. Lebih jauh, Islam, kata mereka, tidak mengenal sikap berlebih-lebihan atau sikap lalai; tidak juga melampaui batas atau kurang dari batas; dan seterusnya.
Untuk membuktikan pendapatnya, mereka lalu melakukan pengkajian terhadap segala fakta yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai dua ujung dan titik tengah. Titik tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua ujung selalu terancam bahaya dan kerusakan. Titik tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesetaraan dan keseimbangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau jalan tengah memiliki keistimewaan-keistimewaan ini, maka tidak aneh jika prinsip jalan tengah senantiasa tampak dalam setiap segi ajaran Islam. Walhasil, kata mereka, Islam adalah pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, antara hukum dan akhlak, dan seterusnya.
          Setelah melakukan analogi melalui jalan rasionalisasi terhadap hukum-hukum Islam dengan fakta benda-benda yang ada, mereka mencari bukti lain dalam nash-nash syariat. Mereka lantas memperkosa nash-nash syariat tersebut, dan kemudian menundukkannya di bawah pemahaman baru mereka agar bisa cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka selanjutnya mengutip firman Allah Swt:
]وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا[
Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian. (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

Mengenai ayat tersebut, mereka menyatakan bahwa kedudukan pertengahan umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizhâm) umat yang bersifat tengah-tengah. Di dalamnya, tidak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi atau sikap meremehkan ala Nasrani. Mereka mengatakan bahwa kata wasath artinya adalah adil. Adil, menurut sangkaan mereka, adalah pertengahan antara dua ujung yang saling bertentangan. Dengan demikian, mereka mengartikan adil dalam konteks ‘perdamaian’ (shulh) demi mendukung prinsip jalan tengah.
Padahal, makna yang shahih untuk ayat itu adalah, bahwa umat Islam itu merupakan umat yang adil. Sementara itu, keadilan (‘adâlah) adalah termasuk salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Dengan kata lain, ayat di atas mengandung makna bahwa umat Islam kelak akan menjadi saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada hari Kiamat) karena umat Islam telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Meskipun berbentuk kalimat berita (ikhbâr), ayat ini mengandung tuntutan (thalab) dari Allah Swt kepada umat Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam akan menjadi hujjah (saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama halnya dengan Rasulullah saw yang kelak akan menjadi hujjah (saksi yang adil) atas umat Islam karena beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
]لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ[
Supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian. (TQS al-Hajj [22]: 78)

Ayat di atas menerangkan bahwa Rasulullah saw akan menjadi hujjah atas umat Islam pada hari Kiamat nanti, karena beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Rasulullah saw juga telah memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah saw bersabda:

Perhatikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.

Selain itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah Swt:
]وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا[
(Hamba-hamba Allah yang baik adalah) orang-orang yang jika membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir; pembelanjaan itu berada di tengah-tengah yang demikian. (TQS. al-Furqan [25]: 67)

Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam konteks pembelanjaan harta (infak), ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (isyrâf) dan kikir (taqtîr, bakhil). Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infak, yaitu pertengahan (qawam). Sikap demikian, menurut pandangan mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam berinfak.
Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah bahwa terdapat 3 (tiga) macam infa, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan.
Berlebih-lebihan (isyrâf, tabdzîr) adalah tindakan membelanjakan harta dalam perkara-perkara yang haram, baik sedikit ataupun banyak. Jika seseorang membelanjakan harta satu dirham saja untuk membeli khamar, atau untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka tindakan demikian termasuk tindakan berlebih-lebihan (isyrâf). Hukumnya adalah haram.
Kikir (taqtîr, bakhil) adalah mencegah diri untuk menginfakkan harta dalam perkara yang wajib. Artinya, kalau, misalnya, seseorang tidak membayar satu dirham dari ketentuan zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir. Hukumnya juga adalah haram.
Sementara itu, infak yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan harta sesuai dengan tuntunan hukum-hukum syariat, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan seorang tamu dengan menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor unta, adalah infak yang pertengahan. Hukumnya adalah halal. Sikap demikian didasarkan pada potongan firman Allah Swt:
]وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ[
.…di antara yang demikian itu.... (TQS. al-Furqan [25]: 67)

Ayat di atas tujuannya untuk menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infak, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Satu dari ketiga macam infak itu adalah perkara yang dituntut oleh syariat, yaitu yang pertengahan (qawam). Allah tidak mengatakan bayna dzalikumâ (di antara keduanya) untuk menunjukkan pertengahan di antara dua hal yang berbeda.
Atas dasar itu, dalam Islam, tidak ada yang namanya sikap kompromi atau jalan tengah. Sebab, Allah Swt—Yang menciptakan manusia dan mengetahui hakikatnya dengan suatu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh manusia itu sendiri—adalah Zat satu-satunya Yang mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat dan teliti yang tidak akan mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah datang dengan batas-batas yang tegas, tidak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya ada kompromi atau jalan tengah. Sebab, memang tidak ada kompromi atau jalan tengah dalam nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash dan hukum Islam sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya. Karena itulah, Allah menamakannya dengan istilah hudûd (batas-batas) karena ketelitian dan kecermatan di dalam hukum-hukum-Nya. Allah Swt berfirman:
]وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ[
Itulah hukum-hukum Allah; diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 230)
]وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ[
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya. (TQS. an-Nisa’ [4]: 14)
         
Adakah kompromi atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah saw kepada pamannya, Abu Thalib, ketika kaum Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat, harta, dan kehormatan agar beliau mau meninggalkan Islam? Yang ada pada saat itu justru ketegasan sikap Rasulullah saw ketika beliau berkata:

Demi Allah, wahai Paman, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam), niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu atau aku binasa karenanya.

Adakah pula sikap moderat atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada kabilah ‘Amir ibn Sha’sha’ah ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau sebagai kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau? Pada saat itu pun, secara tegas Rasulullah saw menyatakan:
«الأَمْرُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَضْعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ»
Perkara ini (kekuasaan) adalah milik Allah azza wa jalla yang akan diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Walhasil, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing dalam pandangan Islam. Ide semacam ini disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh orang-orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum Muslim. Mereka memasarkan ide tersebut kepada kaum Muslim atas nama keadilan dan toleransi. Tujuannya adalah untuk menyimpangkan kaum Muslim dari berbagai ketentuan dan hukum Islam yang telah jelas batas-batasnya.


                           
NEGARA ISLAM, SEPERTI APA?

Apakah negara-negara seperti Iran, Sudan, dan Arab Saudi termasuk negara Islam (Daulah Islamiyah)?

Banyak kaum Muslim yang salah kaprah dalam menggunakan istilah negara Islam (Daulah Islamiyah). Di antara mereka banyak yang menganggap bahwa negara-negara seperti Iran, Sudan, dan Arab Saudi sebagai negara Islam. Menurut mereka, sebutan tersebut pantas diberikan karena, paling tidak, tampak dalam pelaksanaan sebagian hukum-hukum Islam; seperti hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pelaku zina, hukum cambuk bagi peminum khamar (minuman keras), dan sejenisnya.
Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan di atas, kita mesti mendalami lebih dulu apa yang dimaksud dengan negara Islam (Daulah Islamiyah), dan apa yang menjadi ciri-ciri sebuah negara sehingga dapat digolongkan sebagai negara Islam.
Kata negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata daulah, sebenarnya merupakan kata asing. Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam. Wajar, jika kata tersebut—yang dipadankan dengan kata negara dalam bahasa Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn al-Mandzur (w. 711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkatan orang Arab asli di dalam kamusnya yang amat terkenal, Lisân al-‘Arab, juga membuktikan bahwa kata daulah tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya mengatakan bahwa kata daulah atau dûlah sama maknanya dengan al-‘uqbah fî al-mâl wa al-harb (perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Kata daulah dan dûlah memiliki makna yang berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah al-ghâlabah (kemenangan). Adâlanâ Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari musuh kami) merupakan arti dari kata daulah1.
Kepastian tentang kapan kata daulah digunakan oleh orang Arab dengan pengertian negara tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (ditulis tahun 779H) terdapat kata daulah dengan pengertian negara. Kata ini tercantum dalam bab fî ma‘nâ al-khilâfah wa al-imâmah2.
          Meskipun kata daulah dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunah, bukan berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam. Alasannya, nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah, yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah (negara). Di dalam banyak hadits dapat dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadits berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar