HUKUM
TENTANG PRIVATISASI
MENDIRIKAN
PEMERINTAHAN ISLAM MELALUI JALAN DESINTEGRASI
MENDIRIKAN
PEMERINTAHAN ISLAM MELALUI JALAN DESINTEGRASI
MEMPERJUANGKAN
ISLAM VIA PARLEMEN
ANTARA
POLITIK DAN MASLAHAT
TRIAS
POLITICA DALAM PANDANGAN ISLAM
NEGARA
ISLAM, SEPERTI APA?
BUGHÂÂÂT
BAGAIMANA
DAULAH ISLAMIYAH MENYUSUN ANGGARAN KEUANGANNYA?
TANTANGAN
NEGARA KHILAFAH DI MASA DEPAN
HUKUM
ISLAM TENTANG HAK CIPTA DAN HAK INTELEKTUAL
BENARKAH
DAULAH ISLAMIYAH DI MASA RASULULLAH ITU SETINGKAT RT ATAU RW?
BOM
SYAHID
MEMERANGI
PENDUDUK SIPIL MUSUH, BOLEHKAH?
DEMONSTRASI:
YANG BOLEH DAN YANG TERLARANG
HUKUM
BERPERANG ANTAR SESAMA MUSLIM
ABOLISI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
MENGAPA
(NEGARA) KHILAFAH BELUM BERDIRI (KEMBALI)?
DUNIA
INTELIJEN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
BAGAIMANA
ISLAM MENINDAK PARA PELAKU KKN?
ADAB
BERBEDA PENDAPAT
MENYOAL
KERJASAMA MILITER DENGAN PIHAK ASING
HUKUM
MEMBUAT KONSTITUSI NEGARA
BAGAIMANA
MENGUBAH MATA UANG KE DINAR-DIRHAM?
ADAKAH PERADILAN BANDING DAN KASASI DALAM ISLAM?
BOLEHKAH
MENGGUNAKAN SENJATA PEMUSNAH MASSAL DALAM PEPERANGAN?
MENYOAL DOA BERSAMA LINTAS AGAMA
HUKUM
MENIRU-NIRU KEBIASAAN ORANG KAFIR
HUKUM
MENGHINA NABI SAW.
SEPUTAR
PERJANJIAN DAMAI DENGAN NEGARA-NEGARA KAFIR
SEPUTAR
‘FIQIH PRIORITAS’
BOLEHKAH
MENYERAH KEPADA MUSUH?
KONDISI
DAMAI DALAM ISLAM
MAKNA
JIHAD MENURUT ISLAM
‘UZLAH’, KAPAN
DIBOLEHKAN DAN KAPAN DIHARAMKAN
HUKUM TENTANG PRIVATISASI
Pada era globalisasi saat ini kita sering mendengar istilah privatisasi. Apalagi perkara tersebut tertuang dalam LoI (Letter
of Intent) antara IMF dan pemerintah.
Bagaimana hukum dan pandangan Islam mengenai privatisasi?
Apa yang dilakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan dan
badan-badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada
investor asing, adalah tindakan yang haram menurut syara, karena alasan-alasan
berikut:
Pertama, negara
tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan
miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang
tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual
belinya bathil alias tidak sah.
Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah, benda-benda yang
kepemilikannya telah dijadikan oleh asy-Syâri bagi jamaah kaum Muslim, dan
mereka seluruhnya berserikat atas benda-benda tersebut. Dibolehkan bagi
individu memanfaatkannya, tetapi mencegah individu untuk memilikinya1. Islam telah
menentukan tiga jenis kepemilikan umum:
1. Barang yang
menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan
berpencar-pencar mencarinya; seperti air, padang
penggembalaan, dan sejenisnya. Nabi saw bersabda:
«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثٍ: اَلْمَاءُ وَالْكَلاَءُ وَالنَّارُ»
Masyarakat
itu berserikat dalam tiga perkara (barang): air, padang gembalaan dan api. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw membolehkan
perorangan (individu) untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan oleh orang
banyak. Dari hadits-hadits ini diistinbath
bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika
tidak ada (barangnya) maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya,
dipandang sebagai kepemilikan umum, baik hal itu termasuk dalam tiga jenis
barang, seperti yang disebutkan dalam hadits tadi, maupun (barang) lainnya yang
tidak disebut.
2. Barang
tambang yang memiliki deposit amat besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin
Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu meminta beliau agar
memberinya tambang garam. Rasulullah pun memberikannya. Ketika Abyadl pergi,
salah seorang sahabat di (dalam) majelis berkata kepada Rasulullah: ‘Tahukan engkau, apa yang engkau telah
berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu (yang
bagaikan) air mengalir’. Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian
tersebut. Salah seorang sahabat tadi menyerupakan tambang garam dengan air
mengalir, karena banyaknya deposit pada tambang garam tersebut. Hal ini
mencakup juga setiap barang tambang yang depositnya sangat banyak, atau secara
ekonomi sangat menguntungkan; seperti minyak, gas, pospat, tembaga, timah,
emas, perak dan lain-lain.
3. Barang-barang
yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu;
seperti laut, sungai, atmosfer udara dan lain-lain.
Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan
secara bersama-sama. Dalam hal ini peran negara
hanyalah pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.
Maka dari itu, negara tidak
boleh menjual atau memberikan kepada siapa pun, apalagi pihak asing aset-aset
yang menjadi milik umum. Sebab, ketiga jenis barang itu adalah milik umum,
bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat untuk
menjualnya, dan rakyat pun menyetujuinya, maka negara tetap tidak boleh
menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan kepada fakta tentang
barangnya, bukan didasarkan pada yang lain, seperti persetujuan dan sebagainya.
Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap
sebagai kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi
kepemilikan individu agar dapat dijual.
Lalu, jika aset yang dijual
adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dahulu
bahwa disamping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan
umum, Islam juga membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah, setiap
harta atau aset yang didalamnya ada hak untuk seluruh kaum Muslim (tetapi tidak
tergolong kepemilikan umum) dan pengaturannya berada di tangan Khalifah2. Dengan
demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya
menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada
individu. Namun demikian perlu diingat bahwa kepemilikan negara berkaitan
dengan hak-hak kaum Muslim dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh
menimbulkan mudharat kepada kaum
Muslim. Maka dari itu meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan aset-aset
milik negara oleh pemerintah –sebagaimana yang terjadi dalam program
privatisasi- hukumnya menjadi haram. Karena privatisasi telah menimbulkan kemudharatan, seperti yang telah
diterangkan. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang
menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.
Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya
saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian orang banyak tidak
dapat memanfaatkan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan
semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan manurut Islam, sesuai
dengan firman Allah Swt:
]كَيْ لاَ يَكُونَ
دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ[
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Memang, ayat diatas
mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang-orang kaya diantara umat
Islam (aghniyâ’i minkum). Namun
demikian ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab,
jika harta tidak dibolehkan hanya beredar diantara orang kaya muslim, maka jika
hanya beredar diantara orang-orang kaya kafir jelas-jelas lebih tidak
dibolehkan lagi. Ini sesuai dengan mafhum
muwâfaqah dalam ilmu ushul.
Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum
Muslim. Dengan privatisasi, individu atau pun perusahaan kapitalislah yang
nantinya akan menguasai dan mengendalikan perekonomian negeri-negeri Islam.
Negeri-negeri Islam akan terjeremus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal
ini diharamkan oleh Islam. Allah Swt berfirman:
]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً[
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang
kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (TQS. an-Nisa [4]: 141)
Keempat, privatisasi merupakan perantara (washilah)
munculnya kemudharatan bagi kaum
Muslim. Kita menyaksikan implikasi-implikasi langsung, bahwa privatisasi akan
menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan
gaji karyawan, menghilangkan sumber-sumber pendapatan bagi negara, membebani
konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi
yang dibebankan keada perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan
negara pada sektor non produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset
kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya
kapitalisme atas kaum Muslim. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum Muslim. Dan
privatisasi adalah salah satu cara yang melempangkan jalan ke arah itu, maka
haram pula hukumnya. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.
Privatisasi adalah program
imperialis yang jahat, yang bertujuan untuk merampas harta kekayaan kaum Muslim
dan menghancurkan perekonomian mereka. Privatisasi tidak boleh didiamkan oleh
kaum Muslim, karena kaum Muslim akan turut berdosa jika berdiam diri dan ridha
terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, kaum Muslim
harus bangkit untuk mengkritik program tersebut, membantah siapa saja yang
mempropagandakannya, serta melakukan segala daya upaya untuk mencegah dan
menggagalkannya.
Kaum Muslim juga hendaknya
sadar bahwa negara dan pemerintah mereka yang melaksanakan program tersebut,
sebenarnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum kafir penjajah, bukan demi
kepentingan rakyat dan umat. Dengan demikian sudah sepatutnya rezim yang
seperti ini harus segera diganti dengan yang baru, yang benar-benar dapat
menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat.
MENDIRIKAN PEMERINTAHAN ISLAM MELALUI JALAN DESINTEGRASI
Bolehkah mendirikan
pemerintahan Islam melalui jalan pemisahan diri (disintegrasi) dari suatu
negeri Islam, seperti Aceh, yang hendak memisahkan diri dari Indonesia dengan
keinginan untuk menegakkan syariat Islam di sana setelah desintegrasi?
Ada dua hal penting yang harus
dikaji dalam persoalan ini, yaitu: (1) tujuan, (2) metode atau cara untuk
meraih tujuan tersebut. Tujuan yang hendak dicapai adalah menerapkan syariat
Islam. Tujuan seperti ini merupakan kewajiban dari Allah Swt. kepada seluruh
umat Islam. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran maupun hadits Nabi saw yang
menjelaskannya. Di antaranya adalah:
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ[
مِنَ الْحَقِّ[
Hukumlah
mereka dengan apa yang Allah turunkan. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu
mereka seraya meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [5] : 48)
]وَأَنِ احْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
Hendaklah
engkau menerapkan hukum di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan.
Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah jika mereka
sampai memalingkan engkau dari apa yang Allah turunkan kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 49)
Di samping itu, Rasulullah saw juga bersabda pada salah satu haditsnya,
«مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»
Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu (perkara) dalam
urusan agama kami yang tidak ada dasarnya maka amalnya itu tertolak. (HR. Bukhârî dan Muslim)
Perintah Allah Swt kepada Rasulullah saw juga merupakan perintah kepada
umatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya
dikhususkan bagi beliau. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang mengkhususkan
perintah tersebut hanya untuk Rasulullah saw. Oleh karena itu, ayat-ayat dan
hadits tersebut memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum Allah
Swt dalam segala bidang. Perkara di seputar akidah dan syariat; persoalan
pribadi, keluarga, dan masyarakat; sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya;
semuanya diperintahkan Allah Swt untuk diatur dengan aturan Islam. Semua itu tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kekuasaan (pemerintahan
atau negara). Padahal, kekuasaan atas anggota masyarakat akan ada dengan adanya
negara (daulah). Dengan demikian, mudah dipahami, mengapa Allah Swt menyinggung
persoalan kekuasaan di dalam al-Quran al-Karîm.
Berkaitan dengan kekuasaan
tersebut, Allah Swt mewajibkan kaum Muslim untuk menaati orang-orang yang
memegang wewenang, yaitu penguasa. Allah Swt berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ[
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta
para penguasa di antara kalian. (TQS. an-Nisâ’ [4] : 59)
Perintah menaati penguasa sebenarnya
juga menunjukkan perintah memiliki pemerintahan. Sebab, Allah Swt tidak
memerintah kaum Muslim untuk taat kepada sesuatu yang tidak ada. Jadi, adanya
penguasa dalam suatu daulah merupakan
keharusan. Perintah Allah Swt untuk menaati mereka adalah juga perintah Allah
Swt untuk mengangkat mereka. Jelaslah, tujuan yang hendak dicapai—berupa
penerapan syariat Islam—merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Persoalan kedua adalah
melepaskan diri dari kesatuan salah satu negeri kaum Muslim. Siapa pun yang
mengelaborasi ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi saw akan menyimpulkan bahwa,
Allah Swt mewajibkan kaum Muslim untuk menyatukan diri dalam suatu negara dan
haram memisahkan diri dari salah satu negeri kaum Muslim. Kenyataan bahwa kaum
Muslim adalah umat yang satu, berbeda dengan umat manusia lainnya, adalah hal
yang mendasar; tidak perlu dan tidak ada yang mempertanyakan lagi. Kaum Muslim
juga adalah bersaudara. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman:
]إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara. Oleh karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian
mendapat rahmat. (TQS. al-Hujurat [49]: 10)
Melalui ayat ini, Allah Swt
menegaskan bahwa, pengikat persaudaraan itu adalah iman. Artinya, tanpa
memandang suku, ras, teritorial, ataupun bentuk fisik; semua mukmin di dunia
adalah bersaudara. Dengan kata lain, penampakan yang nyata dari kesatuan akidah
kaum Muslim adalah kesatuan mereka dalam satu negara (daulah), di bawah satu kepemimpinan imam (Khalifah) yang memerintah
mereka, dan dengan satu peraturan, yaitu peraturan yang berasal dari syariat
Allah Swt. Oleh sebab itu, pengkotak-kotakkan kaum Muslim ke dalam banyak
negara dengan masing-masing pemimpin, berbeda-beda sistem hukum yang
diterapkannya, mengedepankan nasionalisme dan kebangsaan –yang dicela oleh
Islam- atas keimanan dan akidah Islam, jelas merupakan pengkhianatan terhadap
ayat ini. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw lewat haditsnya yang sangat
terkenal:
«اَلْمُسْلِمُ أَخُّوا الْمُسْلِم»
Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. (HR. Muslim)
Lebih spesifik lagi, terdapat banyak ayat dan hadits Nabi saw yang
mewajibkan adanya kesatuan kaum Muslim dan adanya upaya untuk mempersatukan
mereka. Allah Swt berfirman:
]وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا[
Berpegang
teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian
bercerai-berai. (TQS.
Ali ‘Imrân [3]: 103)
Rasulullah saw, sebagaimana dituturkan oleh Abû Sa‘îd al-Khudrî,
memberikan penjelasan rinci tentang hal ini dengan menyatakan:
«إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا»
Apabila
dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah terakhir dari keduanya. (HR.
Muslim)
Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Ash juga menuturkan bahwa Rasulullah saw
bersabda:
«وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ
إِنِ اسْتَطَاعُ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَر»
إِنِ اسْتَطَاعُ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَر»
Barangsiapa
yang membaiat seorang imam, meletakkan tangannya, dan menyerahkan buah hatinya,
hendaklah ia menaatinya semaksimal mungkin. Jika ada orang lain yang hendak
merampasnya, penggallah leher orang itu. (HR. Muslim)
Rasulullah saw juga bersabda:
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ»
Apabila
datang seseorang—sedangkan urusan kalian berada pada seseorang—yang hendak
memisahkan kalian atau memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)
Dalam hadits-hadits tadi, Rasulullah saw dengan tegas memerintahkan kaum
Muslim untuk membunuh orang yang berusaha memecah-belah kesatuan kaum Muslim
dan berusaha menghancurkan persatuan dan kesatuan mereka. Padahal, Rasulullah
saw mengetahui bahwa darah seorang Muslim lebih berharga di sisi Allah Swt dari
pada dunia dan segala isinya. Beliau juga pasti memahami surat al-Mâ’idah [5]
ayat 32 yang menegaskan bahwa, siapa saja yang membunuh seorang manusia bukan
karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di
muka bumi, berarti seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.
Keterangan-keterangan di atas merupakan qarînah (indikasi) yang tegas tentang kewajiban persatuan kaum
Muslim dan institusi mereka. Jadi, yang diperintahkan Allah Swt dan Rasul-Nya
adalah mempertahankan negeri-negeri Islam yang ada, lalu berupaya untuk
menyatukannya, bukan malah menceraiberaikannya.
Berdasarkan pemaparan tadi, jelaslah bahwa inti persoalannya adalah
bolehkah melaksanakan kewajiban melalui metode yang diharamkan Allah Swt? Jawabnya, tujuan tidak melegalkan cara (al-Ghâyah la tubarriru al-washîlah). Artinya, tujuan yang hukumnya
boleh atau bahkan wajib tidak dapat mengubah cara yang haram—untuk mencapai
tujuan tersebut—menjadi boleh.
Islam telah disempurnakan.
Allah Swt bukan sekadar mewajibkan shalat, melainkan juga menetapkan bagaimana
cara shalat dan hukum yang diberlakukan bagi mereka yang tidak menunaikan
shalat. Allah Swt juga tidak hanya memerintahkan zakat, melainkan juga menjelaskan
jenis-jenis barang yang wajib dizakati beserta nishâb-nya; orang yang berhak (mustahiq)
menerimanya; orang yang berwenang mengaturnya, yakni negara melalui baitul mal; dan ketentuan bagi orang
yang menolak untuk mengeluarkan zakat, yakni diperangi oleh pemerintahan Islam.
Allah Swt pun bukan sekadar memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan hukum
Islam, melainkan juga menjelaskan metode pencapaiannya.
Begitulah, Allah, Zat Pencipta
manusia, telah menetapkan fikrah (konsep)
dan sekaligus tharîqah (cara) dalam setiap perkara untuk
dilaksanakan. Artinya, baik fikrah
maupun thariqah merupakan syariat
Islam. Setiap Muslim wajib terikat dengan fikrah
dan tharîqah Islam. Sebab, semuanya
merupakan syariat Islam. Padahal, hukum asal dari setiap perbuatan adalah
terikat dengan syariat (Al-ashlu fî
al-af‘âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar‘î). Demikian
bunyi kaidah ushul yang digali dari banyak nash al-Quran dan hadits Nabi saw.
Selain itu, tujuan yang hendak
dicapai dan cara untuk meraih tujuan itu berkaitan dengan perbuatan manusia.
Boleh-tidaknya kedua hal tersebut harus ditentukan oleh dalil syar‘î, bukan oleh hasil yang diperoleh
ataupun tujuan yang diraih. Allah Swt berfirman:
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ
مِنَ الْحَقِّ[
مِنَ الْحَقِّ[
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka seraya meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 48)
Jelaslah, hukum tentang cara
yang ditempuh—sebagaimana halnya hukum tentang tujuan yang hendak diraih
melalui cara tersebut—ditentukan oleh dalil syariat (al-Quran, hadits Nabi saw,
Ijma sahabat, dan qiyâs syar‘iyyah);
bukan oleh tujuan ataupun manfaatnya. Realitas ini—yakni bahwa dalil syariatlah
yang menetapkan apakah suatu tujuan itu boleh ataukah haram, apakah cara yang
ditempuh itu boleh ataukah tidak, serta kewajiban terikat dengan syariat dalam
segala hal—menunjukkan bahwa tujuan tidak dapat melegalisasi cara. Suatu cara
dikatakan boleh apabila dalil syariat menunjukkan kebolehannya. Sebaliknya,
bila cara tersebut diharamkan oleh Allah Swt, cara itu tidak boleh dilakukan,
sekalipun untuk mencapai tujuan yang boleh atau bahkan wajib.
Berdasarkan semua paparan di
atas, haram hukumnya memisahkan diri dari kesatuan negeri muslim, sekalipun
tujuannya hendak menerapkan syariat Islam. Sebaliknya, cara yang perlu ditempuh
adalah menggabungkan seluruh negeri kaum Muslim—seperti Indonesia, Malaysia,
Brunei, dan negeri-negeri lainnya—dalam rangka menegakkan syariat Islam di
wilayah-wilayah tersebut.
Selain alasan di atas, pada
faktanya, langkah-langkah desintegrasi di negeri-negeri muslim itu merupakan
rancangan kafir-imperialis untuk semakin mengerat-ngerat kaum Muslim. Tidak ada
satu negeri pun yang memisahkan diri dari negeri kaum Muslim yang
sungguh-sungguh menerapkan syariat Islam. Sebaliknya, mereka umumnya menjadi
pengekor negara Barat. Contoh konkrit adalah Kuwait dan Sudan. Sedangkan Aceh,
misalnya, jauh-jauh hari sudah meminta intervensi PBB untuk melepaskannya dari
negeri muslim Indonesia. Hal demikian lebih memudahkan kaum kafir untuk
menguasai kaum Muslim. Padahal, Allah Swt berfirman:
]وَلَنْ يَجْعَلَ
اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً[
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
menguasai kaum Mukmin. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 141)
Artinya, haram hukumnya
memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukmin.
Haruskah Daulah Khilafah Membayari
Utang Luar Negeri Rezim Sebelumnya?
Jika Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, bagaimana upaya Daulah mengatasi
masalah utang luar negeri yang terlanjur dilakukan oleh ‘rezim’ sebelumnya? Darimana Daulah memperoleh uang untuk pembayaran sisa utang luar negeri
yang diwariskan ‘rezim’ sebelumnya.
Utang luar negeri merupakan
senjata ampuh yang menjadi andalan negara-negara kapitalis dalam menguasi
negara-negara berkembang, termasuk negeri-negeri muslim. Utang yang semakin
membengkak akan semakin menyulitkan negara peminjam untuk bisa melunasi utangnya.
Tidak jarang negara tersebut kemudian harus menggadaikan aset-aset nasionalnya
(seperti melalui program privatisasi yang dipaksakan oleh IMF). Celakanya lagi,
tidak semua utang tersebut adalah milik pemerintah, karena pihak swasta juga
ikut menikmati ‘bantuan’ lunak tersebut, sehingga negara sering terpaksa harus
menombokinya. Sebagai contoh, utang luar negeri Indonesia sampai saat ini
(Oktober 2000) menyentuh angka 143,3 miliar dolar AS. Jumlah tersebut terdiri
dari utang luar negeri pemerintah sebesar 75,1 miliar dolar AS dan utang luar
negeri swasta 68,2 miliar dolar AS.
Untuk menjawab persoalan di
atas, maka kerangka berpikir kita harus lepas dari fakta yang ada sekarang ini.
Dengan kata lain, kita berbicara dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah, dalam
kerangka berpikir syar‘î, bukan dalam
sistem yang ada sekarang. Sebab, dalam payung Daulah Islamiyah, tidak
dibenarkan seorang individu muslim atau pun negara, melakukan pendekatan dan
pemecahan apa pun kecuali hanya dengan pendekatan atau pemecahan yang sesuai
dengan hukum Islam, termasuk dalam hal ini penyelesaian utang luar negeri
‘warisan rezim terdahulu’.
Allah Swt telah mewajibkan
kepada kita, baik selaku individu maupun penguasa di dalam Daulah Khilafah
Islamiyah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar
sesama kaum Muslim maupun antara kaum Muslim dengan orang-orang atau negara
kafir. Dengan catatan, selama transaksi/akad tersebut tidak bertentangan dengan
sistem hukum Islam. Allah Swt berfirman:
]يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ[
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (TQS.
al-Mâ’idah [5]: 1)
Ayat ini berbentuk perintah (dengan kategori wajib) dari Allah Swt kepada
kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka
lakukan. Utang luar negeri, baik yang
dilakukan oleh perorangan, institusi/perusahaan, maupun negara, adalah termasuk
dalam salah satu jenis transaksi/akad, yaitu transaksi utang-piutang. Apabila
seseorang, perusahaan, ataupun negara, menjalin utang-piutang dengan pihak
lain—baik dengan perorangan, institusi/perusahaan, maupun negara lain—maka
mereka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi tersebut
selesai/berakhir, yaitu dilunasinya utang.
Berubahnya kondisi masyarakat ataupun sistem pemerintahan dan
perundang-undangan tidak bisa menggugurkan transaksi utang-piutang. Misalnya,
utang yang dilakukan oleh seseorang, perusahaan, ataupun penguasa sebelum
berdirinya Daulah Islamiyah, tetap menjadi utang yang harus dibayar. Jika
Daulah Islamiyah telah berdiri, sementara utang belum lunas, transaksi
utang-piutang yang sudah mereka sepakati tidak gugur begitu saja. Hukum untuk
menepati berbagai akad adalah wajib, selama akad-akad tersebut tidak
bertentangan dengan sistem hukum Islam.
Di samping itu, Daulah Islamiyah, tatkala baru berdiri, harus
memperhatikan konstelasi politik internasional. Dalam hal ini, Daulah harus
menciptakan citra di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai Daulah
yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat
internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan memerangi
Daulah Islamiyah. Salah satu manuver yang dilakukan Daulah Islamiyah untuk
menarik simpati masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar sisa
cicilan utang pokok ‘rezim’ sebelumnya.
Lalu, bagaimana caranya Daulah Islamiyah membayar sisa cicilan utang
pokoknya, dari mana uang yang diperoleh Daulah Islamiyah untuk membayar
utang-utang ‘rezim’ sebelumnya ?
Menyikapi persoalan ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh
Daulah Islamiyah, antara lain:
1. Harus
dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya
dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun
perusahaan). Hal ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar. Jika
utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika utang
itu melibatkan penguasa ‘rezim’ sebelum munculnya Daulah Islamiyah, maka Daulah
Islamiyah—sebagai penguasa baru—harus mengambilalih sisa cicilan pembayarannya,
sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara government to government.
2. Sisa
pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja,
tidak meliputi bunga, karena, syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga.
Firman Allah Swt.:
]يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ[
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (TQS.
al-Baqarah [2]: 278)
Ayat ini mengharuskan Daulah Islamiyah, individu
maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar/melunasi sisa
cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga
utang.
3. Meskipun
diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, Daulah
Islamiyah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam
pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak donor bersedia memberikan cut off (pemutihan). Jika langkah ini
berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban Daulah. Namun bila cara ini gagal,
untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat
pendek, bisa diminta rescheduling
(penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).
4. Utang
‘rezim’ sebelumnya, akan dibayar Daulah dengan mengambil seluruh harta kekayaan
yang dimiliki secara tidak sah oleh penguasa ‘rezim’ sebelumnya beserta
kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri,
entah itu di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan
jaminan oleh Daulah bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito
harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat
ini, ‘lebih dari cukup’ guna memenuhi warisan utang luar negeri ‘rezim’ sebelumnya.
Bahkan akumulasi pembayaran utang yang selama ini dilakukan kepada
negara-negara donor telah melampaui total utang pokoknya. Seandainya akumulasi
deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, Daulah
Islamiyah harus mengambil-alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan
Daulah. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos jizyah (pungutan setiap tahun atas ahlu dzimmah yang laki-laki), cukai
perbatasan, atau badan usaha milik Daulah. Daulah Islamiyah, sejauh mungkin
menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil
hutan, barang-barang tambang, dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang
berutang adalah penguasa ‘rezim’ sebelumnya, bukan rakyatnya.
5. Sementara
itu, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan)
dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka
miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar negerinya,
Daulah Islamiyah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para
pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.
Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan
pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan
mereka di luar negeri, Daulah bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan
utang-utang mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi
juga, Daulah harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena
Daulah adalah penjaga dan pemelihara (râ’in)
atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.
Demikianlah, beberapa langkah
praktis yang bisa dilakukan oleh Daulah Islamiyah guna mengatasi beban warisan
utang luar negeri ‘rezim’ penguasa sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa
mengganggu gugat aset harta kekayan yang dimiliki oleh masyarakat, yang
dikelola oleh Daulah untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Penyelesaian ini, secara
bersamaan, akan menjatuhkan cengkeraman negara-negara Barat Kapitalis atas
negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi
negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum
Muslim—bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.
Namun demikian, perlu diingat,
bahwa hal ini hanya bisa dilakukan tatkala Daulah Islamiyah berdiri. Sebab,
saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian
banyak penguasa Muslim, yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar
negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya. Apalagi para
penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai gambaran yang jelas dan rinci tentang
alternatif pendapatan negara maupun alternatif pembayaran utang luar negeri,
kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi. Gali lubang tutup lubang. Lalu
sampai kapan?
MEMPERJUANGKAN ISLAM VIA PARLEMEN
Ada sebagian partai yang
menamakan diri partai Islam yang memperjuangkan tegaknya Islam melalui cara
bergabung dengan sistem pemerintahan (yang ada). Mereka bergabung dengan sistem
pemerintahan yang tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan sistem hukum
bukan Islam. Bagaimanakah pandangan syariat Islam tentang bergabungnya
partai-partai tersebut dalam sistem pemerintahan yang tidak menerapkan syariat
Islam, malahan menegakkan sistem hukum kufur?
Allah Swt telah menjadikan Dînul Islam ini sebagai agama yang
paripurna. Nikmat-Nya pun telah Dia sempurnakan. Semua ini merupakan ketetapan
Zat Maha Mulia yang tidak akan pernah berubah. Allah Swt berfirman:
115
]وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ[
Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kaliamat-Nya. Dan Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS.
al-An’aam [6]: 115)
9)
115
Demikian pula firman-Nya:
]الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untuk kalian din kalian, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku, serta Aku ridlai hanya Islam menjadi dien bagi kalian. (TQS.
al-Maidah [5]: 3 )
Sungguh, kesempurnaan din dan kecukupan nikmat ini merupakan karunia tak
terhingga dari Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya. Tidak hanya itu, karunia lainnya
adalah Dia-lah Zat Maha Gagah menjaga dan memelihara al-Quran dari
tangan-tangan yang mencoba untuk merubah atau menggantinya.
]إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Quran (adz-Dzikr), dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijr [15]: 9)
Penyempurnaan dan pemeliharaan Allah Swt ini menunjukkan bahwa al-Quran
tersebut merupakan hujjah bagi manusia hingga hari kiamat. Oleh sebab itu,
setiap muslim berkewajiban mengikuti semua yang dibawa Rasulullah saw dengan
cara berpegang teguh kepada al-Quran dan terikat dengan as-Sunnah
sekuat-kuatnya, termasuk di dalam metode dakwah untuk menegakkan Islam.
Rasulullah saw telah diberi oleh Allah Swt suatu jalan (sabil/thariqah) dalam upayanya menegakkan Islam.
]قُلْ هَذِهِ
سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ[
Katakanlah:
Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik. (TQS. Yusuf [12]: 108)
Di dalam sirah Rasulullah saw, yang diriwayatkan secara mutawatir bahwa beliau saw tidak pernah
bergabung dengan pemerintahan/kekuasaan yang menerapkan hukum-hukum kufur. Ini
saja cukup menjelaskan bahwa tauladan yang diberikan oleh utusan pilihan Allah
Swt tersebut berupa tidak bergabung dengan (sistem) pemerintahan mana pun yang
tidak menerapkan Islam, apalagi menerapkan hukum-hukum kufur. Padahal, Allah
Swt menegaskan:
]لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[
Sungguh, di
dalam diri Rasulullah itu terdapat tauladan baik bagi kalian. (TQS.
al-Ahzab [33] : 21)
Ada sedikit orang yang terpengaruh cara berpikir Barat mengatakan, dengan
alasan kemaslahatan boleh bergabung dengan pemerintahan yang menerapkan hukum
selain Islam. Padahal, kemaslahatan bukanlah sumber hukum Islam. Lagi pula yang
lebih mengetahui kemaslahatan bagi manusia adalah Pencipta Manusia, bukan
manusia itu sendiri. Jadi, dalam kacamata Islam kemaslahatan sejati justru
terletak dalam pelaksanaan hukum syara. Kaidah ushul menyebutkan: ‘Dimana ada hukum syara, di situlah ada
kemaslahatan’.
Begitu juga dalih bahwa pemerintahan jahiliyah pada zaman Nabi berbeda
dengan pemerintahan masa sekarang, tidak dapat dijadikan sebagai alasan
kebolehan bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan hukum kufur.
Sebab, bila dilihat dengan jeli dan teliti inti keduanya itu sama; yaitu
sama-sama tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur. Realitasnya, pemerintahan dimana pun saat ini dasarnya berpijak pada
‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ (Demokrasi). Artinya, rakyatlah yang
menentukan hukum macam apa yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat, bukan
Allah Swt. Anggota-anggota lembaga perwakilan rakyatlah (MPR/DPR) –termasuk
anggota yang mengaku beragama Islam- yang membuat dasar negara, UUD, dan
berbagai macam produk hukum atas dasar kehendak mereka sendiri. Sebab,
lembaga itulah yang dianggap sebagai lembaga legislatif yang membuat
undang-undang dan peraturan. Jadi, hukum-hukum yang diterapkan tersebut bukan
berpijak atas dasar ruhiy (atas dasar
iman kepada Allah Swt).
Selain itu, kebijakan politik suatu pemerintahan ditetapkan oleh negara
secara kolektif. Suara seorang menteri muslim -yang katakan saja akan
memperjuangkan Islam- tidak lebih dari satu suara yang hanyut oleh mayoritas
suara lainnya. Bahkan, dalam prakteknya, pada saat seseorang dipilih menjadi
menteri, kebijakan (haluan) politik pemerintah tentang kementriannya tersebut
sudah tersedia dan dibuat oleh kepala negara maupun oleh lembaga legislatif. Menteri terpilih itu hanya memiliki dua pilihan: menjadi menteri atas
dasar haluan politik yang sudah tersedia, atau menolaknya. Dia tidak berhak
membuat haluan politik kementriannya itu. Sementara itu setiap menteri
bertanggung jawab atas seluruh keputusan dan tindakan yang dilakukan
pemerintah. Sebab, di dalam undang-undang dinyatakan bahwa pertanggungjawaban kabinet
bersifat kolektif. Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan yang ada saat
ini, baik MPR/DPR, kepala negara, menteri, atau lembaga tinggi lainnya,
sama-sama terlibat dalam proses pembuatan, penerapan, dan pelanggengan
perundang-undangan dan hukum buatan akal dan hawa nafsu manusia. Inilah
realitas sistem pemerintahan dewasa ini.
Mensikapi persoalan itu, Allah Swt dalam banyak ayat al-Quran menegaskan
keharaman seorang muslim bergabung dalam sistem pemerintahan demikian.
Diantaranya adalah:
1. Allah Swt
mewajibkan hukum Allah-lah yang menjadi dasar pembentukan berbagai
perundang-undangan dan peraturan, melarang kaum mukmin berhukum kepada syariat
selain syariat Allah Swt.
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
Maka demi
Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
]وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS.
al-Ahzab [33]: 36)
2. Allah Zat
Maha Penghisab mewajibkan penguasa muslim untuk menerapkan sistem hukum Islam.
Jika tidak, Allah Swt mengkategorikannya sebagai kafir, fasik, atau zalim.
]وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Barangsiapa
yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang kafir. (TQS. al-Maidah [5]: 44)
]وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ[
Barangsiapa
yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang zhalim. (TQS. al-Maidah [5]: 45)
]وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ[
Barangsiapa
yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang fasik. (TQS. al-Maidah [5]: 47)
]وَأَنِ احْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
Dan hendaklah
engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah supaya
mereka tidak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 49)
3. Penentuan
hukum merupakan hak Allah Swt semata.
]إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ[
Hukum itu
hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar engkau tidak menyembah
selain Dia. (TQS. Yusuf [12]: 40)
4. Salah satu
karakter orang munafik adalah mengaku beriman tetapi berhukum pada hukum thâghut (hukum selain hukum Islam).
Padahal Allah Swt mengharamkan berhukum kepada thâghut.
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ
أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا[
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا[
Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan kepada apa
yang diturunkan sebelum engkau? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka tela diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud
menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4] : 60)
5. Tidak boleh
meninggalkan hukum Allah beralih kepada hukum selain-Nya.
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada
hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]: 50)
6. Allah Swt mengharamkan seorang muslim menjadi
teman dekat (bithânah)
penguasa yang memerintah bukan dengan sistem hukum Islam.
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ
دُونِكُمْ[
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman dekatmu
orang-orang yang di luar kalanganmu (tidak beriman kepada apa yang diturunkan
Allah). (TQS. Ali Imran [3]: 118)
7. Allah Swt mengharamkan kaum Muslim bermuwâlât kepada selain orang-orang Islam.
]يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ % فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللهُ
أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا
أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi wali kalian; sebagian mereka wali bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka sebagai wali, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim. Maka kalian akan melihat
orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang munafik) bersegera mendekati
mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat
bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau sesuatu
keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
(TQS. al-Maidah [5]: 51 – 52)
Ayat-ayat itu dengan tegas melarang orang Yahudi, Nasrani, dan orang yang
bermuwâlât kepada mereka, sebagai wâli. Memang benar, para penguasa yang ada di
negeri-negeri muslim sekarang bukan Yahudi, Nasrani ataupun kaum musyrik.
Namun, sikap mereka menunjukkan secara gamblang adanya muwâlât mereka kepada
kaum kafir tersebut. Oleh sebab itu, siapa saja yang bermuwâlât kepada orang
yang berwâli kepada Yahudi dan Nasrani, maka berarti ia telah bermuwâlât kepada
Yahudi dan Nasrani.
Berdasarkan pemaparan di atas, nash-nash al-Quran secara qath’i tsubut
(pasti sumber pengambilan dalilnya) dan qath’i dilalah (pasti penunjukkan
dalilnya) menetapkan haram hukumnya bergabung dengan sistem pemerintahan yang
menerapkan sistem hukum selain Islam.
ANTARA
POLITIK DAN MASLAHAT
Bagaimanakah hubungan antara politik dan maslahat, dan bagaimana kategori
para politikus menurut syari ‘at Islam?
Politik didefinisikan sebagai pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat,
baik urusan dalam negeri maupun luar negeri. Pengaturan ini diselenggarakan
berdasarkan sekumpulan peraturan dan undang-undang yang terpancar dari suatu
pemikiran mendasar (ideologi), yang diyakini oleh para politikus yang
melaksanakan pengaturan urusan tersebut, juga diyakini oleh rakyat yang tunduk
kepada pengaturan tersebut.
Pada dasarnya aktivitas politik itu terpancar dari suatu ideologi, baik
ideologi itu kuat (pengaruhnya) maupun lemah, benar ataupun keliru. Di atas dasar ideologi ini ditetapkan berbagai peraturan dan
undang-undang, sekaligus metode penerapannya.
Berbagai aktivitas dan tindakan politik yang merupakan pelaksanaan
peraturan dan undang-undang tersebut, pada umumnya dimaksudkan untuk memecahkan
problematika tertentu dalam rangka merealisir kepentingan-kepentingan
(maslahat) tertentu.
Kepentingan-kepentingan itu sendiri beraneka ragam bentuk dan macamnya.
Namun, secara umum dapat dikelompokkan dalam empat macam kepentingan. Pertama, kepentingan ideologis, yaitu
kepentingan yang telah ditentukan oleh ideologi yang diyakini oleh para
politikus dan rakyat. Misalnya, penyebarluasan/propaganda suatu ideologi secara
internasional.
Kedua, kepentingan pribadi, yaitu kepentingan bagi seorang
politikus yang melaksanakan pengaturan urusan rakyat. Misalnya, upaya
mempertahankan kedudukannya di kursi pemerintahan, atau untuk memperoleh
kemakmuran hidup yang bersangkutan.
Ketiga, kepentingan kelompok atau golongan, yaitu
kcpentingan bagi suatu kelompok tertentu—dalam arti luas—seperti madzhab, firqah agama, keluarga besar (klan),
partai politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, kepentingan untuk
mempertahankan golongan tertentu di tampuk pemerintahan untuk memperoleh
fasilitas dan kemakmuran hidup secara berkelompok.
Keempat, kepentingan pihak asing, yaitu kepentingan bagi
negara-negara asing yang mempunyai pengaruh terhadap praktik politik yang
diselenggarakan di suatu negara. Negara-negara asing semacam
ini biasanya mempunyai agen, yaitu politikus yang ikut serta berperan dalam
berbagai aspek kehidupan di suatu negara tertentu.
Politikus yang mempunyai
komitmen terhadap kepentingan pribadi atau kelompok—bila kekuatan kelompoknya
lemah—secara pasti akan tunduk kepada kepentingan pihak asing, yaitu
kepentingan yang dapat membawanya pada posisi sulit. Sebab, tindakannya melayani kepentingan negara asing akan
berbenturan dengan tuntutan-tuntutan kepentingannya sendiri, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Jika hal ini terjadi, berarti politikus
tersebut telah menjadi pelayan (agen) bagi negara asing tersebut. Dia akan
berputar mengikuti segala kepentingan negara asing itu. Dalam beberapa
kondisi, politikus itu selalu loyal mengikuti instruksi ‘majikannya’ tanpa reserve.
Pembagian kepentingan tadi,
dapat membedakan para politikus dari segi kepentingan yang diperjuangkannya,
yang bermuara menjadi dua macam saja; politikus terhormat dan ikhlas, dan
politikus pengkhianat yang menjadi agen (antek-antek) pihak asing.
Para politikus yang terhormat dan ikhlas, adalah mereka yang mengikatkan
aktivitas politiknya dengan kepentingan-kepentingan vital yang telah ditetapkan
oleh ideologi yang diyakini oleh rakyatnya. Dengan kata lain, mereka senantiasa
berusaha merealisir jenis kepentingan yang pertama saja—yakni kepentingan
ideologis—bukan yang lain. Sedangkan para politikus yang mengkhianati rakyat
dengan kekuasaannya, adalah mereka yang menjalankan aktivitas politiknya
mengikuti kepentingan selain jenis kepentingan yang pertama. Ini yang
menyebabkan mereka digolongkan sebagai pengkhianat. Jadi, politikus yang
menjadi agen, bukan hanya orang-orang yang bekerja pada kantor-kantor berita
asing, atau orang-orang yang mendapatkan gaji bulanan dari suatu negara asing,
melainkan juga mereka yang lebih mengutamakan perhatiannya bagi kepentingan
pihak asing dibandingkan kepentingan rakyatnya sendiri, dengan motif apa pun.
Atas dasar pengelompokkan ini, mereka yang mengamati realitas politik
negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, akan dapat menyimpulkan
bahwa para politikus di negeri-negeri Islam adalah para pengkhianat atau
agen-agen negara asing. Pernyataan ini bukan tanpa
dasar (bukti), dan bukan pula sekadar lontaran tuduhan. Sebab pernyataan
tersebut memiliki realitasnya dalam kehidupan politik suatu negeri.
Sebagai contoh, kita bisa
melihat, bagaimana sikap Jabar ash-Shabbah (Emir Kuwait) yang rela
menyumbangkan dana 10 juta dolar AS untuk sebuah kebun binatang di London.
Tindakan ini jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap umat Islam. Seharusnya
dia mengutamakan kepentingan vital umatnya—kepentingan ideologi Islam—untuk
menolong umat Islam yang tengah menderita kelaparan hebat di Somalia saat itu.
Contoh lain, pengkhianatan para politikus di negeri-negeri Islam, adalah sikap
sekitar 30 penguasa negeri muslim yang menghadiri KTT Internasional Anti
Terorisme di Sharm el Sheikh, Mesir, empat tahun lalu (1997). Mereka
mengeluarkan deklarasi untuk meneruskan ‘proses perdamaian’ di Timur Tengah,
dan memerangi apa yang mereka sebut sebagai ‘terorisme’. Ini jelas-jelas
merupakan pengkhianatan terhadap umat Islam. Sebab, tindakan mereka ini berarti
makin melegitimasi perampasan bumi Palestina—sebagai negeri Islam—oleh Yahudi.
Disamping itu turut membantu negara-negara kufur dan Zionis untuk menghancurkan
Islam, dengan cara menumpas para pejuangnya yang ikhlas. Padahal, kepentingan
ideologi Islam telah mewajibkan mereka untuk membebaskan Palestina dari
cengkeraman Yahudi, juga untuk mendukung para pejuang Islam yang ikhlas itu
dalam perjuangannya membebaskan bumi Palestina dari pendudukan Yahudi. Contoh
lain adalah keengganan sebagian penguasa muslim untuk memutuskan kontrak dan
hubungannya dengan IMF (yang jelas-jelas ditunggangi oleh negara-negara Barat
kufur). Mereka beralasan, bahwa ekonomi dalam negeri masih lemah dan memerlukan
bantuan asing dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan atau keseimbangan
APBN. Kenyataannya, masyarakat justru menuntut pemutusan hubungan karena mereka
menganggapnya mampu mengatasi perekonomian dengan ditopang oleh kemampuan dan
kemandirian. Sikap para politisi dan ekonom tersebut hakekatnya adalah melayani
kepentingan negara-negara asing dan semakin menambah terpuruknya negeri Islam
di dalam jeratan utang luar negeri. Inilah sekilas contoh-contoh yang nyata
mengenai para politikus pengkhianat yang menjadi agen Barat dan Yahudi.
Di sini perlu dijelaskan pula, bahwa keikhlasan seorang politikus
terhadap ideologi dan kepentingan vital rakyatnya, tidak berarti bahwa
aktivitas politiknya selalu benar dan tepat. Keikhlasan politikus adalah satu
hal, sedangkan kebenaran aktivitas politiknya adalah perkara lain. Contohnya,
para politikus Barat. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang yang ikhlas
terhadap ideologi dan kepentingan vital rakyatnya yang telah ditetapkan oleh ideologi
Kapitalisme atau Demokrasi. Akan tetapi—kendati pun aktivitas politik mereka
dapat dikatakan bersifat ideologis/demi kepentingan ideologis—sebenarnya
aktivitas politik mereka itu keliru. Ini karena aktivitas politik mereka
terpancar dari ideologi yang bathil, baik dari sisi fikrah (pemikiran) maupun thariqah-nya
(hukum dan peraturannya).
Fikrah ideologi Kapitalisme berdiri
di atas asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Sementara itu
peraturan-peraturan hidup yang dibuat oleh akal manusia, yang memang terbatas
dan hanya mampu menjangkau sesuatu yang terindera, juga sangat terikat dengan
tolok ukur-tolok ukur tertentu yang bersifat terbatas, yang tidak dapat
dilampaui lagi.
Adapun aktivitas politik Islam
yang hakiki—yang kini telah lenyap keberadaan dan pengaruhnya di pentas politik
internasional pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924—sesungguhnya
merupakan satu-satunya aktivitas politik yang benar dan tepat untuk suatu
pemerintahan. Sebab, aktivitas politik ini berdiri di atas ideologi yang benar.
Satu-satunya ideologi yang mampu memberikan jawaban shahih—yakni akidah Islam—yang mampu memuaskan akal. Atas dasar
akidah Islam tersebut, ideologi ini menetapkan bagi manusia suatu jalan
hidup—yaitu syari’at Islam—yang telah dikehendaki oleh Allah, Sang Pencipta dan
Pengatur, juga yang Maha Mengetahui apa yang diciptakan-Nya, termasuk peraturan
hidup apa yang sesuai untuk ciptaan-Nya itu.
Mereka yang menjalankan
aktivitas politik berdasarkan ideologi ini, adalah benar-benar para politikus
yang terhormat dan ikhlas, karena mereka akan melakukan aktivitas politik atas
dasar takwa kepada Allah Swt. Disamping itu juga ideologi mereka—yakni
Islam—telah menyerunya untuk terikat dengan hukum syara’. Hal ini akan
menganggap bahwa aktivitas politik itu tidak lain adalah hukum-hukum syara’,
yang bertujuan untuk meraih ridha Allah semata. Oleh karena itu,
pengawas/pengendali sejati terhadap keikhlasan mereka, berasal dari
ketakwaannya kepada Allah.
Disamping itu,
kepentingan-kepentingan yang diupayakan oleh para politikus Islam tersebut,
adalah kepentingan yang telah ditentukan oleh ideologi Islam, yang telah
meniadakan unsur egoisme dan individualisme dalam kehidupan bermasyarakat di
satu pihak. Bersamaan dengan itu—di pihak lain—yakni masyarakat, juga berupaya
untuk merealisir kesejahteraan individu-individunya.
Perlu dipahami, lenyapnya
aktivitas politik Islam di pentas politik internasional saat ini, tidak berarti
para politikus Islam itu tidak ada. Bahkan bisa dikatakan jumlahnya cukup banyak.
Persoalannya adalah, urusan pemerintahan saat ini tidak berada di tangan
mereka—setelah hak memerintah dan mengangkat Khalifah dirampas secara paksa
dari tangan kaum Muslim.
Dengan demikian, diharapkan umat akan segera sadar, lalu bersama-sama
para politikus Islam itu mereka akan bangkit menjadi satu kekuatan politik yang
dahsyat untuk menggulingkan sistem pemerintahan kufur yang ada sekarang—dalam
waktu dekat ini, insya Allah—dan
kemudian, di atas reruntuhannya itu mereka akan menegakkan Daulah Khilafah
Islamiyah dan menjalankan aktivitas politik Islam.
Trias
Politica dalam Pandangan Islam
Bagaimana pandangan Islam mengenai konsep
Trias Politica, yaitu konsep yang menyatakan bahwa kekuasaan harus
dipisahkan/dibagi menjadi tiga macam kekuasaan: kekuasaan eksekutif
(menjalankan undang-undang), kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), dan
kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang)?
Konsep Trias Politica merupakan
ide pokok dalam Demokrasi Barat yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII
dan XVIII M.
Trias Politica adalah anggapan
bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan
untuk membuat undang-undang; kedua, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan untuk
mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica menganggap
kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian,
diharapkan hak-hak azasi warga negara dapat lebih terjamin.
Konsep tersebut untuk pertama
kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filosof
Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government
(1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja
Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The
Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi ke dalam tiga kekuasaan yang
terpisah satu sama lain: kekuasaan
legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang; kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang, di dalamnya
termasuk kekuasaan mengadili; dan kekuasaan
federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam
hubungannya dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Selanjutnya, pada tahun 1748, filosof Perancis, Montesquieu,
mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat
despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan yang bisa membuat warga
negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya.
Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan ke dalam tiga cabang yang
menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di
bidang politik luar negeri), dan kekuasaan
yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang).1 Ide
pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara
kebebasan politik yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan
masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa, seseorang akan cenderung
untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan
terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa, agar pemusatan
kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah
terjadinya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.2
Montesquieu juga menekankan bahwa, kebebasan akan kehilangan maknanya
tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu
badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang.
Demikian pula, kebebasan akan tidak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan
menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan
malapetaka—seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu—bila satu orang atau satu
badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.3
Konsep Trias Politica ini bertentangan dengan Islam dalam segi-segi
berikut:
Pertama, sumber konsep ini adalah manusia; manusia
memberikan penilaian baik buruknya sesuatu menurut akal belaka. Konsep ini
dibuat oleh para filosof sebagai pemecahan terhadap masalah penindasan dan
kesewenang-wenangan para raja dan tokoh gereja di Eropa terhadap rakyatnya
dalam menjalankan kekuasaan.
Dalam Islam, yang berhak memberikan penilaian baik-buruk terhadap sesuatu
hanyalah Allah Swt semata—dalam hal ini syariat, bukan akal. Fungsi akal, dalam
hal ini, hanya terbatas untuk memahami fakta permasalahan dan nash-nash syariat
yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Fakta itu sendiri bukanlah sumber
pemecahan masalah atau sumber konsep/pemahaman tentang hidup, melainkan objek
permasalahan yang harus dikaji untuk kemudian dicarikan pemecahannya menurut
nash-nash syariat. Pemecahan terhadap suatu permasalahan haruslah berasal dari
syariat, bukan bertolak dari fakta permasalahan itu sendiri tanpa merujuk pada
syariat. Firman Allah Swt:
]إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
]وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ[
Tentang
sesuatu apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (TQS.
asy-Syûrâ [42]: 10)
Kedua, konsep ini
merupakan salah satu ide pokok Demokrasi yang kufur, sebab Demokrasi telah
menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan sekaligus rakyatlah
yang menjadi sumber kekuasaan. Oleh karena itu, Demokrasi menetapkan bahwa
rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang,
menentukan para hakim, dan mengangkat para penguasa.
Sementara itu, Islam telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik
syariat, bukan milik rakyat. Syariatlah yang menjadi rujukan tertinggi bagi
segala sesuatu. Firman Allah Swt:
]يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ[
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri dari kalangan
kalian. Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah
masalah itu kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. (TQS. an-Nisâ’
[4]: 59)
Dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai berikut:
Pertama, kekuasaan legislatif hanyalah milik
Allah semata, bukan milik manusia. Hanya Allah Swt sajalah Yang menjadi Musyarri‘ (Pembuat Hukum); Yang
menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah,
muamalah, ‘uqûbât (peradilan), dan
sebagainya. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun
hanya satu hukum. Firman Allah Swt:
]إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Menetapkan
hukum hanyalah hak Allah. (TQS.
al-An‘âm [6]: 57)
]أَلاَ لَهُ
الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ[
Ingatlah,
menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-A‘râf [7]: 54)
Yang dimiliki oleh rakyat adalah kekuasaan atau pemerintahan, bukan
kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa.
Namun demikian, syariat telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih
dan menetapkan hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengaturan urusan
rakyat dan pemerintahan adalah Khalifah saja, bukan yang lain. Ijma sahabat
Nabi saw menetapkan bahwa hanya Khalifah sajalah yang berhak memilih dan
menetapkan hukum-hukum syariat sebagai undang-undang dasar dan undang-undang
lainnya. Dalam hal ini, Khalifah tidak berarti memegang kekuasaan legislatif.
Khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum
syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan
kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh
menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.
Kedua, kekuasaan eksekutif adalah
bersumber dari rakyat. Kekuasaan adalah milik umat/rakyat yang dijalankan secara
real oleh Khalifah—dan para aparatnya—sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan
hukum-hukum syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata
lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa untuk menjalankan segala
perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at
menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat. Artinya, bai’at adalah berasal
dari kaum Muslim untuk Khalifah, bukan dari Khalifah untuk kaum Muslim. Nabi
saw bersabda:
«بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ B عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ المَنْشَطِ وَ الْمَكْرِهِ»
Kami telah
membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai
maupun yang tidak kami sukai. (HR. al-Bukhârî, hadits no. 7199)
Ketiga, kekuasaan yudikatif hanyalah
dipegang oleh khalifah atau orang yang mewakilinya untuk menjalankan kekuasaan
tersebut. Khalifahlah yang berhak dan berwenang untuk mengangkat para qâdhî (hakim). Tidak ada seorang pun
dari rakyat—baik secara individual maupun secara kolektif—yang berhak
mengangkat para qâdhî. Hak ini hanya
dimiliki oleh Khalifah, bukan yang lain.
Nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala
negara telah memegang sendiri urusan peradilan dan memberikan keputusan di antara
orang-orang yang bersengketa. Rasulullah saw, misalnya, telah mengangkat ‘Alî
bin Abî Thâlib r.a. sebagai hakim (qâdhî)
di Yaman dan mengangkat ‘Abdullâh ibn Nawfal r.a. sebagai qâdhî di Madinah. Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif
berada di tangan Khalifah dan mereka yang mewakilinya dalam urusan ini.
Keempat, apabila
penguasa kaum Muslim berlaku zalim, merampas hak-hak rakyat, melalaikan
kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau
menyalahi hukum-hukum Islam, maka syariat telah memberikan pemecahannya; yaitu
dengan mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan koreksi (muhâsabah) dan amar makruf nahi mungkar terhadap para
penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias
Politica.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan demikian:
«سَتَكُوْنُ أُمَرَاءٌ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنَّ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوْا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ، مَا صَلُّوْا»
Akan ada para amir (penguasa), lalu di antara kalian ada yang mengakui perbuatan
mereka, dan ada pula yang mengingkari mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan
mereka (karena tidak bertentangan dengan syariat), maka dia tidak diminta
tanggung jawabnya. Siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena
bertentangan dengan syariat), maka dia selamat. Akan tetapi, siapa saja yang
ridha (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syariat) serta mengikuti
mereka, maka dia berdosa. Para sahabat bertanya, ‘Apakah kita tidak memerangi mereka? Jawab Nabi
saw, ‘Tidak, selama mereka mendirikan shalat’. (HR. Muslim, hadits no. 1854)
Rasulullah saw telah mewajibkan
kaum Muslim untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala
mereka melakukan penyimpangan dengan berbagai sarana yang memungkinkan; baik
dengan tangan, lisan, maupun hati—bila tidak mampu dengan tangan dan lisan.
Rasulullah saw menetapkan bahwa, siapa saja yang tidak mengingkari penguasa
tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.
Dengan demikian, Islam tidak
mengaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan.
Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syariat tertentu, sedang
masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syariat yang lain.
Kaum Muslim wajib mengambil
pemecahan dari syariat apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan
koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, kaum Muslim diharamkan
mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syariat, seperti konsep Trias
Politica. Sebab, Allah Swt berfirman:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا[
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian terimalah dia dan apa saja
yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
]فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS.
an-Nûr [24]: 63)
Kelima, konsep Trias Politica
bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang
karena perilaku penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Islam tidak mengakui
adanya ide kebebasan, yakni kebebasan yang tidak terikat dengan sesuatu apa pun
pada saat dilakukannya suatu perbuatan, sebagaimana yang ada dalam peradaban
Barat. Sebaliknya,
Islam mewajibkan setiap Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syariat.
Seorang Muslim juga tidak boleh berbuat kecuali sesuai dengan hukum-hukum
syariat. Keterikatan pada hukum syariat
adalah bukti dan buah dari keimanan. Allah Swt berfirman:
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ[
Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan engkau (Muhammad) hakim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 65)
Islam memang telah mewajibkan
umatnya untuk beraktivitas dalam politik, seperti memilih penguasa, melakukan
pengawasan, dan mengoreksi mereka. Namun demikian, hal ini bukanlah kebebasan
politik, melainkan pelaksanaan dari hukum syariat, yaitu kewajiban berpolitik
dan beramar makruf nahi mungkar.
Atas dasar penjelasan di atas,
jelas bahwa konsep Trias Politica sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
Konsep Trias Politica tiada lain adalah konsep thâghût. Allah telah mengharamkan kaum Muslim untuk berhukum kepada
thâghût dan mengambil konsep
pemerintahannya. Allah pun telah memerintahkan kaum Muslim untuk
menentang dan mengingkari thâghût,
sebagaimana firman-Nya:
]يُرِيدُونَ
أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا[
Mereka hendak
berhukum kepada thâghût,
padahal mereka telah diperintah (untuk) mngingkari thâghût itu. Setan hendak menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS.
an-Nisâ’ [4]: 60)
‘Jalan Tengah’,
Bukan Jalan Islam
Pada saat ini, banyak kaum Muslim yang melakukan praktik-praktik
kompromi, baik dalam bidang politik dalam negeri, politik luar negeri dengan
negara-negara asing, dan berbagai interaksi lainnya. Mereka akhirnya
terperangkap dalam kesukaannya bersikap moderat (jalan tengah); seolah-olah
sikap moderat itulah yang benar, yang paling selamat, dan yang paling diterima
semua pihak. Apa sesungguhnya jalan tengah atau sikap moderat itu? Bagaimana
sikap kita, kaum Muslim, terhadap penggunaan istilah tersebut?
Istilah jalan tengah (sikap
moderat) tidak pernah muncul di tengah-tengah kaum Muslim dan bukan berasal
dari ajaran Islam. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat
dengan ideologi Kapitalismenya. Ideologi inilah yang telah
membangun akidahnya di atas dasar jalan tengah. Jalan tengah itu sendiri
merupakan kompromi yang lahir akibat pertarungan atau konfrontasi berdarah
antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak dengan para pemikir
dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama memandang Kristen sebagai agama
yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan, sementara pihak kedua
memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu—karena Kristen dianggap
sebagai penyebab kehinaan dan ketertinggalan—dan bahwa akal manusialah yang
mampu menciptakan peraturan yang layak untuk mengatur segala urusan kehidupan.
Setelah pertarungan yang sengit
di antara kedua belah pihak ini, keduanya menyepakati suatu jalan tengah,
yaitu: mengakui eksistensi agama untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhan,
tetapi agama (Tuhan) tidak diberi hak untuk turut campur dalam kehidupan;
pengaturan urusan kehidupan sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Dari sini,
mereka lantas menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme)
sebagai akidah bagi ideologi mereka, yakni kapitalisme. Di atas dasar ideologi
yang bertumpu pada sekularisme inilah, mereka mampu meraih kebangkitan dan
kemudian menyebarluaskan ideologinya kepada manusia lain melalui jalan
penjajahan (imperialisme).
Prinsip jalan tengah atau sikap
moderat—yang berbau kompromistik itu—yang menjadi landasan akidah mereka
akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut
ideologi kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah
Palestina, misalnya, kaum Muslim menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi
negeri mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai
tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka.
Negara-negara Barat yang Kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi jalan
tengah—yang juga berbau kompromistik—pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian
tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina: satu untuk Arab dan satu lagi
untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini tampak jelas pula dalam berbagai
masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara Kapitalis; seperti
dalam masalah Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.
Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu
pada kedustaan dan penghindaran diri dari masalah; tidak ditujukan untuk
memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja,
entah sedikit atau banyak. Artinya, prinsip tersebut tidak ditujukan untuk
meraih semua hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak.
Prinsip demikian ditempuh bukan karena benar, melainkan karena mempertimbangkan
kondisi kekuatan dan kelemahan setiap pihak. Pihak yang kuat mengambil bagian
yang diinginkannya jika memang mampu, sedangkan pihak yang lemah melepaskan
bagian yang tidak mampu didapatkannya (prinsip take and give).
Alih-alih mengkritik serta membongkar kekeliruan atau kepalsuan ide jalan
tengah, sebagian kaum Muslim malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide
tersebut juga ada dalam ajaran Islam. Islam bahkan,
menurut mereka, berdiri di atas prinsip jalan tengah. Mereka selanjutnya
menyatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan materialisme,
di antara individualisme dan kolektivisme, di antara sikap ‘realistis’ dan
‘idealis’, serta di antara kemapanan dan perubahan. Lebih jauh, Islam, kata
mereka, tidak mengenal sikap berlebih-lebihan atau sikap lalai; tidak juga
melampaui batas atau kurang dari batas; dan seterusnya.
Untuk membuktikan pendapatnya,
mereka lalu melakukan pengkajian terhadap segala fakta yang ada. Mereka
menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai dua ujung dan titik tengah. Titik
tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua ujung selalu terancam bahaya
dan kerusakan. Titik tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesetaraan dan
keseimbangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau jalan tengah memiliki
keistimewaan-keistimewaan ini, maka tidak aneh jika prinsip jalan tengah
senantiasa tampak dalam setiap segi ajaran Islam. Walhasil, kata mereka, Islam
adalah pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, antara hukum dan akhlak,
dan seterusnya.
Setelah melakukan analogi melalui jalan rasionalisasi
terhadap hukum-hukum Islam dengan fakta benda-benda yang ada, mereka mencari
bukti lain dalam nash-nash syariat. Mereka lantas memperkosa nash-nash syariat
tersebut, dan kemudian menundukkannya di bawah pemahaman baru mereka agar bisa
cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka selanjutnya mengutip firman Allah Swt:
]وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا[
Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat
yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian. (TQS. al-Baqarah [2]: 143)
Mengenai ayat tersebut, mereka
menyatakan bahwa kedudukan pertengahan umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizhâm) umat yang bersifat tengah-tengah.
Di dalamnya, tidak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi atau sikap meremehkan
ala Nasrani. Mereka mengatakan bahwa kata wasath
artinya adalah adil. Adil,
menurut sangkaan mereka, adalah pertengahan antara dua ujung yang saling
bertentangan. Dengan demikian, mereka mengartikan adil
dalam konteks ‘perdamaian’ (shulh)
demi mendukung prinsip jalan tengah.
Padahal, makna yang shahih
untuk ayat itu adalah, bahwa umat Islam itu merupakan umat yang adil. Sementara
itu, keadilan (‘adâlah) adalah
termasuk salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Dengan kata lain, ayat di
atas mengandung makna bahwa umat Islam kelak akan menjadi saksi yang adil bagi
umat-umat lain (pada hari Kiamat) karena umat Islam telah menyampaikan risalah
Islam kepada mereka. Meskipun berbentuk kalimat berita (ikhbâr), ayat ini mengandung tuntutan (thalab) dari Allah Swt kepada umat Islam agar menyampaikan Islam
kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan
berdosa. Dengan demikian, umat Islam akan menjadi hujjah (saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama halnya
dengan Rasulullah saw yang kelak akan menjadi hujjah (saksi yang adil) atas umat Islam karena beliau telah
menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
]لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ[
Supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian. (TQS al-Hajj [22]: 78)
Ayat di atas menerangkan bahwa
Rasulullah saw akan menjadi hujjah
atas umat Islam pada hari Kiamat nanti, karena beliau telah menyampaikan risalah
Islam kepada mereka. Rasulullah saw juga telah memerintahkan umat Islam
untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah saw
bersabda:
Perhatikanlah,
hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.
Selain itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah Swt:
]وَالَّذِينَ إِذَا
أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا[
(Hamba-hamba
Allah yang baik adalah) orang-orang yang jika membelanjakan harta, mereka tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula kikir; pembelanjaan itu berada di tengah-tengah
yang demikian. (TQS. al-Furqan [25]: 67)
Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam konteks pembelanjaan
harta (infak), ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (isyrâf) dan kikir (taqtîr, bakhil).
Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infak, yaitu pertengahan (qawam). Sikap demikian, menurut pandangan
mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam berinfak.
Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah bahwa terdapat 3
(tiga) macam infa, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan.
Berlebih-lebihan (isyrâf, tabdzîr)
adalah tindakan membelanjakan harta dalam perkara-perkara yang haram, baik
sedikit ataupun banyak. Jika seseorang membelanjakan harta satu dirham saja
untuk membeli khamar, atau untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka tindakan
demikian termasuk tindakan berlebih-lebihan (isyrâf). Hukumnya adalah haram.
Kikir (taqtîr, bakhil) adalah
mencegah diri untuk menginfakkan harta dalam perkara yang wajib. Artinya,
kalau, misalnya, seseorang tidak membayar satu dirham dari ketentuan zakat mal
yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri
nafkah, maka ini adalah kikir. Hukumnya juga adalah haram.
Sementara itu, infak yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan harta sesuai dengan tuntunan
hukum-hukum syariat, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan seorang tamu dengan
menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor unta, adalah infak
yang pertengahan. Hukumnya adalah halal. Sikap
demikian didasarkan pada potongan firman Allah Swt:
]وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ[
.…di antara yang demikian itu.... (TQS. al-Furqan [25]: 67)
Ayat di atas tujuannya untuk
menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infak, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan
pertengahan. Satu dari ketiga macam infak itu adalah perkara yang dituntut oleh
syariat, yaitu yang pertengahan (qawam).
Allah tidak mengatakan bayna dzalikumâ
(di antara keduanya) untuk menunjukkan pertengahan di antara dua hal yang
berbeda.
Atas dasar itu, dalam Islam,
tidak ada yang namanya sikap kompromi atau jalan tengah. Sebab, Allah Swt—Yang
menciptakan manusia dan mengetahui hakikatnya dengan suatu pengetahuan yang
tidak mungkin diketahui oleh manusia itu sendiri—adalah Zat satu-satunya Yang
mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat dan teliti yang tidak akan
mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah datang dengan batas-batas
yang tegas, tidak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya ada kompromi atau
jalan tengah. Sebab, memang tidak ada kompromi atau jalan tengah dalam
nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash dan hukum
Islam sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya. Karena itulah, Allah
menamakannya dengan istilah hudûd
(batas-batas) karena ketelitian dan kecermatan di dalam hukum-hukum-Nya. Allah
Swt berfirman:
]وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ[
Itulah hukum-hukum Allah; diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 230)
]وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ
حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ[
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka,
sedangkan ia kekal di dalamnya. (TQS. an-Nisa’ [4]: 14)
Adakah kompromi atau jalan
tengah dalam sabda Rasulullah saw kepada pamannya, Abu Thalib, ketika kaum
Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat, harta, dan kehormatan agar beliau mau
meninggalkan Islam? Yang ada pada saat itu justru ketegasan sikap Rasulullah
saw ketika beliau berkata:
Demi Allah, wahai Paman, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan
kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam),
niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu
atau aku binasa karenanya.
Adakah pula sikap moderat atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada
kabilah ‘Amir ibn Sha’sha’ah ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau
sebagai kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau? Pada
saat itu pun, secara tegas Rasulullah saw menyatakan:
«الأَمْرُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَضْعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ»
Perkara ini
(kekuasaan) adalah milik Allah azza wa jalla
yang akan diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Walhasil, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing
dalam pandangan Islam. Ide semacam ini disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh
orang-orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum Muslim. Mereka memasarkan
ide tersebut kepada kaum Muslim atas nama keadilan dan toleransi. Tujuannya
adalah untuk menyimpangkan kaum Muslim dari berbagai ketentuan dan hukum Islam
yang telah jelas batas-batasnya.
NEGARA ISLAM, SEPERTI APA?
Apakah negara-negara seperti
Iran, Sudan, dan Arab Saudi termasuk negara Islam (Daulah Islamiyah)?
Banyak kaum Muslim yang salah kaprah dalam menggunakan istilah negara Islam (Daulah Islamiyah). Di antara mereka banyak yang menganggap bahwa negara-negara seperti Iran,
Sudan, dan Arab Saudi sebagai negara Islam. Menurut mereka, sebutan tersebut
pantas diberikan karena, paling tidak, tampak dalam pelaksanaan sebagian
hukum-hukum Islam; seperti hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi
pelaku zina, hukum cambuk bagi peminum khamar (minuman keras), dan sejenisnya.
Untuk mengetahui jawaban atas
pertanyaan di atas, kita mesti mendalami lebih dulu apa yang dimaksud dengan
negara Islam (Daulah Islamiyah), dan apa yang menjadi ciri-ciri sebuah negara
sehingga dapat digolongkan sebagai negara Islam.
Kata negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata daulah, sebenarnya merupakan kata asing.
Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Arab pada masa
jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam. Wajar, jika kata tersebut—yang
dipadankan dengan kata negara dalam
bahasa Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn
al-Mandzur (w. 711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkatan orang Arab asli
di dalam kamusnya yang amat terkenal, Lisân
al-‘Arab, juga membuktikan bahwa kata daulah
tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya
mengatakan bahwa kata daulah atau dûlah sama maknanya dengan al-‘uqbah fî al-mâl wa al-harb
(perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan secara bergilir
menggantikan kumpulan yang lain. Kata daulah
dan dûlah memiliki makna yang
berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah
al-ghâlabah (kemenangan). Adâlanâ
Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari musuh kami)
merupakan arti dari kata daulah1.
Kepastian tentang kapan kata daulah digunakan oleh orang Arab dengan
pengertian negara tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (ditulis
tahun 779H) terdapat kata daulah
dengan pengertian negara. Kata ini tercantum dalam bab fî ma‘nâ al-khilâfah wa al-imâmah2.
Meskipun kata daulah
dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunah, bukan
berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam. Alasannya, nash
menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah,
yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah
(negara). Di dalam banyak hadits dapat dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadits berikut: