RASULULLAH
TELADAN ABADI
PENGEMBAN
DA’WAH
S
|
tandar pijakan da’wah
Rasulullah SAW dalam mengemban da’wah Islamiyah, telah mengikuti suatu metode (thariqah) yang khas dan tetap. Thariqah
ini telah digariskan melalui Al-Wahyu yang telah ditentukan oleh Allah SWT
kepadanya. Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW agar menjalankan metode
da’wah tersebut pada setiap langkah, dari
rangkaian proses dan perjuangan langkah-langkah perjalanannya dalam
mengemban da’wah Islamiyah sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT:
“Katakanlah: inilah jalan (da’wah) ku.
Aku beserta orang-orang yang mengikutiku (yang) mengajak kalian kepada Allah
SWT dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang
musyrik ”. (QS
Yusuf 108)
Selama Rasulullah SAW dan para sahabatnya berada di makkah,
mereka berda’wah dengan jalan selalu mengadakan pergolakan pemikiran melawan
aqidah kaum musyrikin dan adat serta tradisi mereka. Di samping itu, Rasullulah
SAW juga menempuh perjuangan politik (kifahus
siyasi) untuk menghancurkan kekuatan mereka serta bertujuan untuk mengambil
alih kekuasaan dan mengambil pemerintah dari tangan mereka.
Semua itu ditempuh dalam rangka untuk membuka jalan da’wah
agar da’wah Islamiyah dapat sampai kepada bangsa lain, sehingga penduduknya
dapat memeluk Islam. Mereka pun akan hidup aman di negerinya sendiri yang telah
menjadi bagian dari Darul (negeri) Mukminin, tanpa ada seorang pun yang
merintangi perjalanan hidupnya setelah ia memeluk Aqidah Islamiyah.
Berda’wah Memang membutuhkan keberanian
Apabila kita kembali kepada Al-Quran dan sunnah terutama
sejarah kehidupan Rosulullah SAW, maka jelaslah bahwa untuk mengemban da’wah
Islamiyah dibutuhkan adanya keterusterangan (tidak menyembunyikan atau
menutup-nutupi kebenaran), keberanian, daya usaha, dan kekuatan pemikiran.
Keterusterangan itu tampak dari sikap Rosulullah SAW. Dalam setiap kata yang
diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya, ketika beliau mengajak kepada
manusia serta menyerukan agar berkumpul dihadapkannya. Hal itu nampak dalam
ucapan beliau di hadapan kaumnya dan penduduk Makkah:
“Sesungguhnya seorang
pemimpin tidak akan mendustakan kaumnya. Demi Allah, bahkan andaikan aku
berdusta kepada segenap manusia, seluruhnya, maka tidak akan berdusta kepada
kalian. Juga andaikan aku menipu manusia seluruhnya, maka tidak mungkin aku
menipu kalian. Demi Allah yang tidak mungkin aku menipu kalian. Demi Allah yang
tidak ada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian
khususnya dan kepada manusia seluruhnya. Demi Allah kamu akan mati sebagaimana
kamu tidur dan kamu bangun dari tidur dan dihisab atas segala apa yang kamu
kerjakan sehingga kamu akan dibalas dengan kebaikan atas amal baikmu dan dengan
keburukan atas amal buruknya. Adapun balasan itu berupa surga yang kekal atau
neraka yang langgeng.” (Sirah Al-Halabiyah I: 459).
Adapun kebenaran Rosulullah SAW. Yang paling menonjol dalam
menyampaikan da’wah secara terang-terangan, tampak sekali, antara lain pada
saat beliau masih seorang diri, tidak ada penolong (kecuali Allah SWT).
Pendukung atau pembelanya dan tidak ada harta dan senjata, melainkan hanya
keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Juga bekal beliau lainnya adalah
keyakinan yang bulat terhadap adanya pertolongan Allah SWT.
Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat
di dekat Ka’bah, tetapi beliau tidak memperdulikannya, bahkan kembali mengulang
shalatnya. Saat itu Abu Jahal mengancam
hendak menginjak leher beliau, ketika beliau sedang sujud. Namun tidak ada
seorangpun diantara mereka, baik Abu Jahal maupun pemimpin-pemimpin Makkah
lainnya, yang dapat menghentikan perbuatan Rosulullah SAW. Untuk shalat di
Ka’bah, walaupun mereka semua mengancam dengan maksud untuk mencegah beliau
shalat dan ini mereka lakukan kapan saja mereka kehendaki. Namun, Rosulullah
SAW tetap melakukan shalat di Ka’bah.
Demikianlah, dengan keberanian yang tinggi seperti ini,
Rasulullah SAW menghadapi makar para pemimpin Quraisy yang paling terpandang
sekalipun. Beliau menghadapi mereka di berbagai kesempatan, sampai-sampai pada
suatu hari beliau pernah berkata ketika mereka berusaha mengancam, menghalangi,
dan menyakiti beliau, ketika Rasulullah SAW yang melaksanakan thawaf :
“Apakah kalian mau
mendengarkan apa yang akan ku sampaikan, wahai kaum Quraisy ? ; Demi nyawaku
yang berada di tangan Alllah, aku
ingatkan kalian bahwa suatu ketika nanti aku akan membunuh kalian.”
(Sirah Ibnu Hisyam 1: 190)
Da’wah Memerlukan Keteguhan
Jiwa
Adapun kekuatan Rasulullah SAW tampak pada kekuatan dari kebenaran
yang beliau serukan melalui untaian kalimat yang jelas dan tegas, penuh percaya
diri. Begitu pula tampak pada keteguhan hati beliau dalam berda’wah tidak
pernah berkurang semangatnya, walaupun menghadapi berbagai kesulitan yang
menghadapi perjalanan da’wahnya atau rintangan dan kesulitan yang dihadapi
ketika melaksanakan da’wah.
Meskipun menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari
kaumnya agar beliau meninggalkan da’wah meskipun ditawarkan kepada beliau
kesenagan dunia berupa kekuasaan, harta benda, wanita dan pengobatan medis
gratis jika Rosulullah SAW “gila”
karena wahyu (menurut anggapan mereka), namun beliau tetap tegar secara
konsisten dan konsekuen.
Selain itu muncul ‘tekanan’ yang dilakukan oleh pamannya
sendiri (Abu Thalib) yang selama ini menjadi pelindung dan penolongnya.
Menyuruh beliau meninggalkan da’wah agar tidak menyulitkan posisi pamannya
dihadapan para pemimpin Quraisy. Tetapi dalam kenyataannya, beliau
memperlihatkan kesiapannya untuk berjuang dan menanggung resiko, walaupun
berwujud kematian dalam menegakkan da’wah yang telah Allah SWT turunkan
kepadanya. Beliau tidak bergeming dari pendiriannya itu dan tidak pula mundur
walau setapakpun dari tipu daya dan makar kaum Quraisy yang dilancarkan
terhadap beliau dan para pengikutnya. Bahkan beliau sempat menyampaikan
pernyataan yang masyhur di hadapkan pamannya, yaitu:
“Demi Allah, hai
pamanku. Seandainya mereka meletakan matahari pada tangan kananku dan bulan
pada tangan kiriku supaya aku tinggalkan perkara (da’wah) ini, tiadalah aku
tinggalkan sampai Allah memenangkan da’wah atau aku binasa karenanya.”
(Tarikh Tabari II:326; Tarikh Ibnu Atsar II:64)
Lebih dari itu, selama Rasulullah SAW dan para shahabatnya
mengemban da’wah ini di Makkah, mereka tidak pernah berdamai apabila bekerja
sama dengan seorang pemimpin atau pembesar manapun dan tidak pula peduli
terhadap perlakuan kasar dan keras dari pembesar tersebut. Semua ini dilakukan
dan dipertahankan dalam rangka menegakkan kebenaran. Bahkan mereka tentang
masyarakat, sekalipun kesulitan dan bahaya serta segala rintangan harus
dihadapi. Tidak terpekik dalam diri mereka, ketika mengemban da’wah ini,
keinginan untuk mendapatkan kedudukan, kebesaran, atau kemaslahatan diri mereka
serta keinginan-keinginan pribadi lainnya. Tidak ada perasaan takut ditentang
dalam keadaan hidup dan mati. Tidak
merasa khawatir dengan kedudukan duniawi. Tidak peduli dengan rezeki dan masa
depan mereka karena Allah SWT yang telah menentukan semua itu. Tidak pula goyah
sedikitpun pendirian mereka dalam menghadapi penghinaan, penderitaan, siksaan
dan kemiskinan. Dari semua sikap yang demikian itu, nampak sekali bagi kita
betapa kuatnya pribadi-pribadi mereka itu.
Da’wah Perlu Pemikiran dan
Pengetahuan
Pelaksanaan da’wahpun memerlukan pemikiran dan pengetahuan,
sebagaimana ayat pertama yang diturunkan:
“Bacalah dengan
menyebut nama Rabbmu yang menciptakan (segala sesuatu)” (QS Al-Alaq:1)
Lagi pula, Rasulullah SAW tidaklah menyeru manusia kepada
sesuatu apapun, melainkan sesudah turunnya Al-Wahyu. Sebab, seperti yang telah
dimaklumi bahwa wahyu telah diturunkan semenjak beliau masih berada di Makkah.
Al-Wahyu turun pula saat beliau senantiasa diperhatikan, dipelihara,
diselamatkan, dididik, dan diarahkan oleh Allah SWT. Juga ditentukan pula fase
dan tahapan langkah da’wah untuk beliau, sebagaimana Allah SWT juga telah
menentukan sasaran yang harus beliau capai pada setiap usaha dan kegiatan
da’wah. Firman Allah SWT:
“(Dan) bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu (berupa pertolongan
Allah). Sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan (perlindungan) Kami”. (QS
Ath-Thuur 48)
“(Dan ingatlah)
ketika orang-orang kafir (Quraisy) melakukan day upaya terhadap dirimu untuk
menangkap dan memenjarakan atau membunuhmu, atau pula mengusirmu (dari Makkah).
Mereka melakukan tipu daya, tetapi Allah menggagalkannya. Dan Allahlah
sebaik-baiknya pembahas tipu daya” (QS Al Anfal: 30)
Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat menginginkan untuk
mengajari para shahabatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran dan keseluruhan wahyu
yang diterimanya sebagai penjelasan, penafsiran atau perincian Al-Quran. Beliau
menyuruh mereka untuk memahami dan menghafalkannya dan membantu beliau untuk
menyebarluaskan kepada seluruh manusia, serta mengajarkan dan meneruskannya
kepada yang lain, secara jujur/amanah tanpa mengubah-ubah, baik dengan cara
menambah atau menguranginya. Para shahabat Rasulullah SAW telah menemukan nilai
pemikiran dalam kehidupan mereka, sehingga, misalnya Umar bin khaththab ra
pernah menyuruh kaum muslimin untuk mempelajari, mendalami, dan memahami
hukum-hukum agama Islam, sebelum mereka memperoleh kekuasaan dan pemerintahan
di muka bumi ini. Dalam hal ini, Umar bin khaththab ra berkata:
“Pahamilah
hukum-hukum agama, sebelum kamu menjadi pemimpin (penguasa)”. (HR Al Baihaqi)
Sikap Para Pengemban Da’wah
Ketika seorang pengemban da’wah telah mempunyai
pemikiran Islam yang kokoh dan jernih dan ditambah dengan sikap memiliki
kejelasan, keterusterangan, keberanian dan kekuatan pribadi maka da’wah yang
disampaikan harus mempunyai atau muncul dengan uslub ‘agresif’ yaitu, menentang setiap hal yang bertentangan dengan
aqidah, ide-ide, dan aturan memperhatikan hasil atau akibat/resiko yang akan
terjadi.
Demikianlah sikap dan cara yang harus ditempuh, tanpa
melihat kondisi yang dihadapi oleh da’wah dalam setiap marhalah/tahapan. Selain
itu, dihapuskan adanya kedaulatan yang mutlak bagi mabda Islam (Aqidah dan
Syariat Islam) tanpa melihat disetujui oleh rakyat banyak atau tidak, tanpa
melihat apakah berjalan sesuai dengan tradisi (adat) manusia atau bertentangan
dengannya, serta apakah diterima oleh masyarakat, ditolak atau ditentangnya.
Jadi, seorang pengemban da’wah tidak sepantasnya membujuk
rayu masyarakat, mengambil muka mereka, juga tidak diperbolehkan menjilat
orang-orang yang memiliki jabatan ataupun berbahasa basi terhadap mereka.
Setiap pengemban da’wah tidak boleh meniru adat-istiadat masyarakat yang salah
dan tidak dibenarkan berorientasi kepada hasil dengan cara memperhitungkan
diterima atau tidaknya da’wah hanyalah berpegang teguh kepada Islam, dengan
penuh keberanian mengungkapkan secara terus terang mengenai Islam tanpa
memperhitungkan apapun dan berjuang optimal meraih kemuliaan Islam.
Rasulullah SAW diutus Allah SWT ke dunia ini bersama
risalah-Nya adalah untuk menantang segala yang bertentangan dengan Islam agar
meyakini kebenaran apa yang dia serukan. Bahkan bila dianggap perlu beliau
memaklumkan jihad fisabililah terhadap semua bangsa manusia yang menentang
Islam, tanpa memperhitungkan segala sesuatu yang berasal dari adat dan tradisi
yang sedang berkembang, tidak pula memperhitungkan keberadaan atau sikap
masyarakat dan penguasa terhadap beliau.
Beliau tidak pernah memandang semua itu berdasarkan sesuatu
pertimbangan apapun selain dengan risalah Islam. Dalam gerak nyata da’wah di
tengah masyarakat, tindakan beliau dalam menghadapi kaum Quraisy adalah dengan
menyebut tuhan-tuhan mereka seraya mencela tindakan kaum itu. Beliau menantang
dan menjatuhkan keyakinan mereka pada saat beliau tidak pernah memperdulikan
apalagi mengikuti adat dan tradisi bangsa Arab, agama dan keyakinan mereka,
serta tidak berbasa-basi, kompromi, apalagi bekerjasama dengan mereka.
Demikianlah sikap dan tindakan Rasulullah SAW. Dengan
demikian, bagi setiap pengemban da’wah pada setiap zaman atau kurun haruslah
bersikap terbuka, menentang dan mendobrak adat, tradisi, pemikiran-pemikiran
yang merusak, serta pemahaman-pemahaman yang salah. Bahkan harus berani
menentang opini umum jika hal tersebut salah, walaupun harus menghadapi kecaman
dan serangan balik dari mereka. Begitu pula dia harus menentang segala aqidah
keyakinan, dan agama-agama mereka, meskipun harus berhadapan dengan kefanatikan
pemeluknya, serta permusuhan dan kebencian dari para penganutnya yang apatis
terhadap kesesatannya. Jadi keimanan dan keyakinan yang teguh terhadap Islam
tanpa menimbulkan keragu-raguan sedikitpun adalah suatu perkara yang wajib
dimilki oleh setiap pengemban da’wah karena hal itulah yang menjamin
keberlangsungan da’wah secara tepat.
Iman yang demikianlah yang mampu mendorong keberadaan
da’wah, terbuka, tegak menentang segala sesuatu yang salah dan menyimpang,
sehingga mampu mendorong adanya kedaulatan bagi mabda’ Islam sebagai
satu-satunya mabda’ yang benar dan menganggap mabda, lainnya adalah kufur; apapun
bentuk, dan macamnya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
“Sesungguhnya agama
yang diridhai Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imron 19).
Demikianlah pandangan Islam. Oleh karena itu setiap orang
yang tidak beriman kepada Islam adalah kufur. Dengan demikian tidaklah boleh
sama sekali bagi pengemban da’wah Islam, untuk mengatakan kepada orang-orang
yang mengemban pemikiran yang bertentangan dengan Islam, apakah itu dalam
masalah agama ataupun ideologinya, dengan mengatakan: “Silakan saja kamu.” Bahkan pengemban da’wah wajib menyeru mereka
kepada Islam dengan cara memakai hikmah (hujjah) dan nasehat yang baik, agar
mereka dapat tertarik dan kemudian memeluk Islam, sesuai dengan firman Allah
SWT:
“Serulah manusia
kepada jalan Tuhanmu (Islam) dengan hikmah (hujjah yang jelas) dan nasihat yang
baik. “(QS. An-Nahl 125)
Cita-cita,
Kesungguhan,
dan Ketegasan Pengemban
Da’wah
Demikianlah dengan keyakinan yang penuh terhadap
Islam, memastikan bahwa di dalam masyarakat dan dunia ini kedaulatan yang mutlak
hanyalah terletak pada mabda’ Islam, bukan pada mabda’ (ideologi) dan ajaran
agama yang lain.
Di samping itu, pengemban da’wah Islamiyah dituntut untuk
mempunyai cita-cita dan kesungguhan dalam melaksanakan Islam secara sempurna,
dan tidak boleh melalaikan pelaksanaan satu aturanpun meski bagaimanapun
kecil/remehnya agar mau meninggalkan pelaksanaan hukum atau menunda-nunda
pelaksanannya. Akan tetapi ia harus mengambil Islam secara kaafah dan segera
mewujudkannya, tanpa perduli terhadap sikap dan suara orang-orang yang tidak
setuju dan menghambat pelaksanaannya.
Dalam hal ini seorang pengemban wajib bercermin kepada
sifat dan tindakan Rosulullah SAW yang menolak usulan utusan Bani Tsaqif yang meminta beliau agar
(1). Membiarkan dan tidak menghancurkan berhala sembahan mereka selama tiga
tahun, dan (2). Membiarkan mereka meninggalkan shalat, berzina, meminum khamr,
melakukan aktivitas riba, apabila mereka telah masuk Islam. Beliau sama sekali
tidak menerima permintaan mereka itu, meski mereka menurunkan jumlah waktu
menjadi dua tahun, bahkan sebulan sekalipun. Beliau tetap menolak dengan keras
tanpa memberikan kelonggaran sedikitpun. Penolakan beliau sangat tegas, tanpa
sedikitpun keraguan.
Meski sikap tegas itu berlangsung tanpa kompromi, yaitu
menolak permintaan mereka untuk tidak menghancurkan berhala Latta dan lainnya,
namun ternyata ada garis kebijakan politik yang beliau lakukan yakni menugaskan
Abu Sofyan dan al Mughirah bin Syu’bah sebagai
wakil beliau untuk menghancurkannya. Kedua orang ini berasal dari luar suku
mereka. (Sirah Al-Halabiyah III ; 234).
Sasaran dan Tujuan Da’wah
Itulah fakta sejarah, dan sekaligus harus menjadi
uswah serta menunjukan betapa Rasulullah SAW tidak menerima keyakinan seseorang
melainkan dengan aqidahnya yang utuh sempurna, dibarengi dengan tuntutan
pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen. Dalam kasus di atas, hanya masalah
wasilah (perantara) serta teknik pelaksanaannya yang terlihat seolah-olah
beliau menerima usulan kabilah tersebut dalam bentuk ‘sinkritisme’ (kesatuan keyakinan) tetapi ternyata tetap saja dalam
masalah keyakinan dituntut utuh. Oleh karena itu da’wah Islamiyah haruslah
dalam bentuk usaha mempertahankan aqidahnya maupun fikrah Islam, serta
mempertahankan aqidah maupun fikrah Islam, serta mempertahankan pula
pelaksanaannya dengan sempurna, tanpa kompromi, tanpa adanya proses adaptasi,
dan tidak membiarkan terjadinya kelalaian dalam melaksanakan Islam. Dalam hal
ini, seseorang boleh saja mempergunakan teknik dan sarana apapun, sepanjang hal
tersebut ada kaitannya antara ide dengan hukum Islam.
Pengemban da’wah Islamiyah dituntut agar setiap amal atau
perbuatannya mengarah kepada tujuan tertentu. Ini merupakan hal yang teramat
penting. Selain itu, ia dituntut pula agar selalu mencamkan tujuan tersebut ke
dalam benaknya tanpa kenal istirahat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebab,
tentu ia tidak akan rela sekedar menerima ide (Islam) tanpa berusaha
mengamalkannya, menganggap bahwa semua itu hanya sebuah hayalan belaka.
Ia juga tidak rela terhadap pemikiran dan usaha yang tidak
mengarah kepada suatu tujuan karena hal tersebut seperti gerakan putaran
‘gasing’ yang hanya bergerak di tempat, sehingga usaha yang seperti itu akan
berakhir pada kejumudan dan keputusasaan. Bahkan, ia tidak akan henti-hentinya
berusaha mengaitkan pemikiran dan amal perbuatan, menjadi pemikiran dan
perbuatan yang mengarah pada tujuan yang dapat direalisasikan dalam kehidupan
nyata.
Rasulullah SAW mengemban qiyadah fikriyah (memimpin
ummatnya atas dasar ide-ide Islam) sejak beliau berada di Makkah. Saat itu
Rasulullah SAW mengajak ummat manusia untuk memeluk Islam, yaitu ‘laa ilaha illalah Muhammad Rasulullah’. Beliau mengarahkan pemikiran mereka menjadi
aqidah Islam sebagai landasan berfikir. Beliau juga berusaha untuk mendaulatkan
Islam sebagai satu-satunya sistem yang ditetapkan dalam masyarakat.
Rasulullah SAW mulai mendidik orang-orang yang telah
beriman yang kemudian menjadi shahabat-shahabatnya agar mereka memadukan antara
pemikiran dengan perbuatan. Beliau juga mengajarkan kepada mereka 10 ayat Al
Qur’an, dan tidak mengajarkannya yang lain, sampai mereka memagami maknanya dan
mengamalkan isinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan
para shahabat lainnya. (Muqaddimah Ibnu Taimiyah, dalam Kitab ushulut-Tafsir: 44)
Rasulullah SAW menggambarkan kepada mereka bahwa Allah SWT
akan memenangkan agama-Nya di seluruh penjuru Jazirah Arab sehingga seorang
yang berjalan dan memakai kendaraan dari Shan’an
(Yaman Utara) sampai Hadral Maut (Yaman Selatan) tidak akan merasa
takut, kecuali hanya kepada Allah SWT. Ia aman. (Shalih Bukhari, hadits no.
3852)
Untuk tujuan itu, Rasulullah SAW telah memulai da’wahnya
dari Makkah. Setelah terjadi pergolakan yang lama serta perjuangan yang penuh
dengan kesengsaraan, beliau lalu
menetapkan bahwa masyarakat Makkah tidak dapat dijadikan titik acuan (sentral)
untuk menerapkan sistem Islam. Oleh karena itu beliau berusaha mempersiapkan
masyarakat Madinah sampai beliau berhasil mendirikan masyarakat Islam,
menerapkan sistem Islam, mengembang
risalah-Nya, serta mempersiapkan ummatnya untuk mengembangkan risalah
tersebut sesudahnya, sejalan dengan metode yang telah digariskan. Selain itu,
beliau juga menjelaskan kepada kaum muslimin bagaimana caranya mengatur
jalannya pemerintahan, membentuk strukturnya, dan usaha menghimpun sumber
pendapatan dan belanja, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan
mekanisme pemerintahan. Beliau memerintahkan kaum muslimin sesudahnya untuk
tidak melewatkan satu kurun waktupun tanpa adanya Khalifah (Tartib Musnad Imam Ahmad XIII: 12); dan
tidak membiarkan waktu terluang tanpa adanya jihad dan futuhat daerah baru (Sunan Abu Daud III: 12; Sunan Ad-Dailami, Firdaus Al-Akhbar:
hal. 228).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar