SEJARAH
DA’WAH RASULULLAH
M
|
empelajari sejarah
Da’wah rosulullah SAW berarti mempelajari seluruh prilaku beliau. Kehidupan
Rasulullah SAW adalah nkehidupan da’wah, kehidupan penuh perjuangan menghadapi
berbagai pemikiran kufur dan kehidupan mengemban risalah yang diamanahkan Allah
SWT untuk disampaikan kepada manusia secara keseluruhan.
Dua puluh tiga tahun lamanya beliau
bersungguh-sungguh, tanpa mengenal lelah, berda’wah terus-menerus tanpa sekejap
pun berhenti, mengajak manusia kepada Islam dengan da’wah fikriyah, da’wah siyasiyah
dan da’wah askariyah.
Disebut da’wah fikriyah karena beliau
memulai da’wahnya dengan menyebarkan aqidah Islam seraya mendobak segala bentuk
pemikiran dan pandangan hidup yang menyesatkan dan menghancurkan segala bentuk
kepercayaan dan tradisi nenek moyang yang jahiliyah. disebut da’wah
siyasiyah karena da’wah ini mengarahkan
ummat pada suatu kekuatan sebagai pelindung da’wah agar bisa menyebar luas ke
seluruh pelosok sudut-sudut dunia. Disebut da’wah askariyah karena da’wah ini
membutuhkan taktik dan strategi dalam jihad fisabilillah.
Beliau begitu sukses dalam
mengembangkan da’wah ini, membina masyarakat, hingga mampu mendirikan daulah
(negara). Beliaupun berhasil menghimpun ummat yang terpecah belah,
berqabilah-qabilah menjadi ummat yang satu di bawah panji-panji Islam.
Sukses yang beliau raih bukan melalui
perubahan sosial terlebih dahulu atau perubahan moral, walaupun hal tersebut
sangat diperlukan., juga tidak melalui slogan slogan sukuisme, qoumiyah,
ashobiyah (fanatisme golongan) dan lain-lain. Akan tetapi beliau memulainya
dengan konsep aqidah “Laa ilaaha ilAllah
” . Aqidah inilah yang merubah pemikiran, pemahaman, perasaan dan pandangan
serta prilaku hidup masyarakatnya sehingga terwujud generasi sahabat yang mampu
meneruskan risalah da’wah ini tersebar luas keseluruh pelosok dunia.
Pada dasarnya kesempurnaan da’wah
Islamiyah itu telah terhenti sejak terhentinya penaklukan Islam. Dan ummat
Islam sebagai ummat wahidah sesudah itu terkoyak-koyak menjadi berbagai suku
bangsa yang lemah dan berdiri sendiri. Padahal pada mulanya merupakan satu
kekuatan yang disegani oleh musuh-musuhnya. Kini ummat sangat membutuhan orang
yang mau mengemban dan melanjutkan risalah da’wah Islamiyah untuk membangkitkan
kembali kekuatan itu, melalui suatu kebangkitan yang benar yang berdasarkan
Islam. Ummat saat ini sangat membutuhkan orang yang mau kembali menghimpun
barisan yang tercecer, shaf-shaf yang terbengkalai dan menyatukan seluruh
kekuatan yang ada agar tegak dan terbina masyarakat yang Islami serta untuk
memulai kembali misi da’wah ini keseluruh dunia untuk kedua kalinya.
Terwujudnya cita-cita ini hanya
tercapai dengan jalan da’wah, sebab hanya jalan inilah yang ditempuh oleh
Rosulullah SAW sehingga meraih kesuksesan yang luar biasa. Jejak langkah
tersebut kemudian diikuti oleh generasi sahabat, jalan yang ditempuh adalah
jalan yang lurus, sedangkan metode yang dipakai adalah metode yang benar
sehingga membuahkan hasil yang luar biasa. Metode yang beliau lakukan adalah
metode yang wajib diteladani dan jalan ini wajib ditempuh oleh Ummat Islam
dewasa ini dengan cermat dan teliti agar kita tidak terperosok di jalan yang
salah. Kesalahan sedikit saja dalam menganalogikan da’wah rosulullah atau
menyimpang dari jalan yang telah digariskan oleh beliau dapat mengakibatkan
kita tersesat di tengah jalan dan sekaligus awal kegagalan dalam meraih
cita-cita.
Agar tidak menemui kesulitan dalam
meniru gerak langkah da’wah Rasulullah SAW, maka kita harus kembali kepada Al-Quran
dan sunah Rasulullah, khususnya kembali kepada siroh Nabi SAW. Kita mesti
berhenti lama untuk memandang dan merenung dihadapan siroh Rasulullah SAW.
Untuk mengetahui apa yang beliau katakan dan yang beliau perbuat, dan untuk
mengetahui jalan yang pernah beliau tempuh ketika mengemban risalah da’wah ini
sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah SWT kepadanya. Kemudian kita
harus berjalan bersamanya meneguhkan niat untuk mengikuti tuntunannya, tetap
berada pada jejak langkahnya sehingga kita bersama seluruh Ummat Islam
senantiasa berada dipihak yang mengikuti jejak langkahnya.
Bila kita telah mengambil risalah
da’wah ini dan telah berbuat sesuai denagn garis perjuangan beliau, berjalan di
jalan yang telah beliau lalu,pasti kemenangan akan datang. Saat itu pertolongan
Allah SWT akan tiba sesuai dengan cita-cita dan harapan. Cita-cita tersebut
tiada lain adalah memulai kembali kehidupan Islam secara keseluruhan dengan
mewujudkan aturan Allah di muka bumi ini, serta mengemban da’wah Islamiyah ke
seluruh bangsa.
Oleh karena itu pemahaman tentang
sejarah da’wah Rasulullah SAW atau sirah Rasulullah secara keseluruhan mutlak
diperlukan oleh seluruh ummat Islam pemegang amanah Allah dan penerus Risalah
da’wah. Dengan demikian kejayaan Islam dapat direbut kembali dan Islam dapat
tegak di muka bumi ini. Pada akhirnya ummat dapat bergerak bebas dan merdeka
dalam menyampaikan da’wah Islamiyah di bawah naungan Khilafah Ar-Rosyidah.
Allah SWT telah menurunkan agama ini
bagi seluruh ummat manusia. Dialah yang menjadikan Islam sebagai Agama Fithrah.
Dia lah yang mengokohkannya dan dialah yang pasti akan menolongnya serta
memenangkannya terhadap agama atau ideologi lain walaupun orang-orang kafir
membencinya.
Periode Da’wah di Makah.
Dengan pengamatan yang jernih, akan
didapatkan bahwa Rasulullah SAW telah menjalankan da’wah di kota Makkah melalui
dua tahapan berturut-turut. Tahapan pertama, adalah tahap pembinaan dan pengkaderan, yakni pembinaan pemikiran
dan ruh. Dan tahap kedua , adalah tahap penyebaran da’wah ke masyarakat
secara Zhahir dan melakukan upaya perjuangan membentuk sistem masyarakat.
Pada tahap pertama dibutuhkan adanya
pemahaman dan penghayatan mendalam
terhadap ilmu-ilmu yang diberikan oleh Rasulullah SAW, untuk kemudian berlanjut
kepada pembentukan jama’ah yang terdiri dari kader-kader inti. Pada tahapan
kedua, pemahaman dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu tersebut berproses menjadi
suatu kekuatan pendorong dalam diri yang terwujud lewat sikap dan prilaku yang
menghasilkan da’wah terbuka dan perjuangan. Perubahan dari pemahaman menuju
tingkah laku ini sangat penting, agar pengetahuan yang diperoleh tidak hanya
tersimpan dalam benak sebagai pengetahuan teoretis yang menjemukan, bagaikan
buku-buku yang tertumpuk di dalam almari buku. Pada akhirnya nilai dan
manfaatnya tidak terasa disebabkan tidak segera diwujudkan dalam kehidupan yang
nyata.
Karena itulah, diperlukan suatu proses
perubahan dari satu konsep pemikiran kepada satu kekuatan pendorong dalam diri.
Perubahan tersebut terwujud dalam bentuk tingkah laku da’wah yang membangkitkan
pemahaman masyarakat awam serta mendorong mereka untuk dapat mengamalkan dan
memperjuangkannya. Dengan demikian tujuan dapat tercapai, yaitu terwujudnya
ajaran-ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Di sini kita melihat bahwa seandainya
pemikiran-pemikiran Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW tidak
dipahami dan dihayati secara mendalam serta tidak berubah menjadi suatu
kekuatan pendorong dalam diri, atau sering tidak diamalkan dan diteruskan kepada
masyarakat yang belum menerima da’wah, niscaya pemikiran-pemikiran tersebut
tidak akan terwujud menjadi suatu kekuatan yang dapat diamalkan dan disebarkan
ke seluruh pelosok dunia.
Jadi, pengamalan para sahabat terhadap
ajaran yang telah mereka terima merupakan perwujudan iman, hasil pemahaman dan
penghayatan melalui perjuangan yang berat yang penuh resiko dan ujian. Dengan
demikian da’wah Rasulullah di kota Makkah melalui dua tahap: tahap pembinaan dan pengkaderan, serta tahap interaksi kepada masyarakat dan
perjuangan.
1. Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah
Tastqiif)
Da’wah Rasulullah pada tahap ini
dilakukan secara sirriyah (rahasia) dalam waktu tiga tahun. Saat itu da’wah
belum dilakukan secara terbuka di depan umum, melainkan melalui individu-individu
dari rumah ke rumah. Mereka yang menerima da’wah Islam segera dikumpulkan di
rumah seorang sahabat bernama Arqom, sehingga rumah tersebut dikenal sebagai Darul Arqom (rumah Arqom). Disanalah
mereka dibina dan dikader dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus. Beberapa
dari mereka diutus untuk mengajarkan Islam kepada yang lain, diantaranya
Khabbab bin Arts yang mengajarkan Al-Quran kepada Fatimah binti Khaththab
bersama suaminya. Semakin hari semakin bertambah jumlah mereka hingga mencapai
empat puluh orang dalam waktu tiga tahun. Selama itu, Darul Arqom senantiasa
menjadi pusat pembinaan dan pengkaderan para sahabat pengemban da’wah, dimana
mereka berkumpul untuk mendengarkan dan menghayati ayat-ayat Al-Quran beserta
penjelasan dari Rasulullah SAW.
Memang menyampaikan sesuatu yang masih
asing dan belum terfikirkan oleh masyarakat hendaknya terlebih dahulu
dilaksanakan secara diam-diam, dengan lebih banyak bertatap muka hingga
mendapat dukungan dan kerelaan berkorban untuk meraih cita-cita yang diharapkan.
Dengan demikian apabila Rasulullah SAW menyampaikan da’wah pada tahap ini
secara diam-diam, hal tersebut bukan berarti beliau takut melaksanakan secara
terang-terangan, melainkan itulah yang dituntut untuk dilaksanakan. Ketika
turun ayat 1 dan 2 surat Al-Mudatsir:
“Hai
orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan”
Beliau makin bertambah yakin bahwa
tugas risalah dan perintah yang dibebankan padanya untuk dilaksanakan akan
mendapat perlindungan dari Allah SWT, dan bisa dilaksanakan secara
terang-terangan karena Allah pasti akan menolongnya. Setidaknya dari contoh ini
dapat diambil hikmah bagi para pengemban da’wah pelanjut risalah, bahwa segala
sesuatu senantiasa terikat dengan sebab dan musababnya. Da’wah senantiasa
memerlukan usaha dan ikhtiar, pemikiran dan program yang baik, tidak
semata-mata menyerahkan kepada nasib sepenuhnya (taqdir Allah).
Oleh karena itu, jumhur (mayoritas) ahli fiqh berpendapat jika kaum muslimin berada
dalam posisi yanag lemah, kekuatan yang rapuh dan dikhawatirkan mereka akan
binasa oleh kekuatan musuh, maka mereka harus memelihara diri dan agama dengan
cara da’wah sirriyah. Sebaliknya apabila terdapat kemungkinan untuk berda’wah
secara zhahriyyah (terang-terangan), maka hal ini lebih utama karena seorang
Muslim tidak boleh menyerah kepada kaum kuffar atau zhalim dan, dari berdiam
dari jihad melawan orang-orang kafir.
Hal ini terbukti, pernah beliau
lakukan pada permulaan da’wah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
kitabnya Tartib lil Musnad, bahwa
Rasulullah SAW bersama istrinya Siti Khadijah pernah diancam oleh Abu
Jahal tatkala shalat di depan Ka’bah dan dengan terang-terangan mencela
patung-patung berhala yang disembah oleh orang-orang Arab. Dan ketika di Mina
Rasul bersama Ali bin Abi Thalib menyampaikan kepada orang banyak bahwa suatu
saat Romawi dan Persia akan ditaklukkan oleh Islam.
Menurut pensyarah hadits ini, apa yang
telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya masih berjumlah tiga
orang itu adalah untuk menarik perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang
hakekat berhala yang dijadikan sebagai tuhan, sebagaimana da’wah Nabi Ibrahim
AS. Dari hal tersebut dapat pula diketahui bahwa sejak awal da’wah Rasulullah
SAW bukanlah da’wah ruhiyah (kerohanian)
semata, melainkan da’wah siasiyah, karena tidak mungkin kerajaan Romawi dan
Persia akan dapat ditaklukkan tanpa niat dan usaha kaum muslimin untuk
memperoleh kekuasaan yang berdaulat, kekuasaan yang mampu menggerakkan bala
tentara untuk menghancurkan kedua kerajaan itu.
2. Tahap Interaksi Dengan Masyarakat dan
Perjuangan (Marhalah Tafaa’ul wal Kiffah)
Marhalah ini merupakan bentuk dari
da’wah zhahriyah, karena Rasul dan para sahabatnya melakukan da’wah secara
terbuka kepada seluruh masyarakat jazirah Arab. Tahapan ini penuh dengan
rintangan dan perjuangan setelah Rasulullah dan para sahabatnya mendapat
perintah dari Allah SWT, sebagaimana ayat:
“Maka
sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu dan
berpalinglah dari orang-orang kafir” (QS. Al-Hijr 94)
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkan dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang yang beriman” (QS. As-Syu’araa 213-215)
Da’wah pada marhalah ini segera
mendapatkan reaksi keras dari kaum musyrikin. Siksaan dan penganiyayaan datang
bertubi-tubi. Pengikut Muhammad SAW mulai diuji keimanannya, sampai sejauh mana
kualitas iman mereka setelah tiga tahun mendapat pembinaan di Darul Arqom.
Rasulullah sendiri ketika sedang sholat
di depan Ka’bah didatangi oleh Uqbah bin
Mui’th dan mencekik leher beliau, sampai kemudian datang Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. melerainya
sambil berkata:
“Apakah kalian hendak membunuh orang yang berkata bahwa
Allah Tuhanku”
(HR. Bukhari)
Para sahabat Rasulullah mendapat
penganiyayaan bermacam-macam sehingga datanglah Khabab bin Arts menghadap Rasul
SAW dan berkata:
“Ya
Rasulullah, terlalu banyak sudah penganiyayaan yang datang dari kaum musyrikin,
mengapa engkau tidak berdo’a agar Allah menolong kita ? ” Rasul SAW menjawab:
“Lebih berat lagi penderitaan yang dialami orang-orang mukmin sebelum kamu.
Mereka disiksa dengan sisir besi sehngga terkelupas kulit kepala dan dagingnya,
namun mereka tidak pernah berpaling dari agamanya”
Istri Bilal bin Rabah disiksa sampai
meninggal, sedangkan Bilal sendiri dipaksa berbaring di siang hari bolong di
tengah teriknya matahari lalu ditindih dengan batu besar dan panas di dadanya,
sehingga tidak mampu lagi bersuara kecuali ucapan: “Ahad...Ahad...Ahad” , begitu pula Abu Bakar Shiddiq dan sahabat
yang lainnya mendapat penganiyayaan pula dari kaum Musyrikin.
Pada saat seperti ini Rasulullah
sangat mengharapkan munculnya beberapa orang kuat diantara para pengikutnya
yang mampu melindung da’wahnya. Sayyidina Hamzah, Paman Rasulullah telah masuk
Islam ketika mendengar bahwa Rasulullah SAW dianiyaya dan dicaci-maki oleh Abu
Jahal. Dan disaat masuk Islamnya Hamzah, Rasulullah berdo’a:
“Ya
Allah kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab”
Sebelumnya sebanyak enam belas sahabat
diperintahkan Rasulullah SAW agar berhijrah ke Habsyah karena tidak tahan
penganiyayaan kaum Musyrikin, mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan
empat orang wanita. Dan baru kembali ke Makkah setelah mendengar bahwa Umar bin
Khathab masuk Islam.
Beberapa pelajaran yang dapat kita
petik dari peristiwa yang terjadi yakni bahwasanya penderitaan, cobaan dan
ujian merupakan timbangan iman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil,
antara yang benar dan yang salah. Kepada da’i dan pejuang yang ikhlas
menegakkan Agama Allah, kisah-kisah seperti ini akan menjadi obat dan penawar
hati ketika ia sedang mengalami penganiyayaan dan siksaan dari penguasa zhalim,
atau tatkala sedang diancam maut karena siksaan yang biadab dan lain
sebagainya, maka ia akan ingat bahwa keadaan yang dialaminya bukanlah baru
terjadi pada dirinya, melainkan sesuatu yang lumrah yang biasa terjadi pada
diri orang-orang beriman penegak da’wah di kala menghadapi kezaliman kaum kafir
yang diperlakukan yang jauh lebih berat dari pada itu. Akan tetapi mereka tidak
putus asa, hingga ssemangat serta berbalik haluan. Inilah rahasia keberhasilan
da’wah orang-orang beriman sehingga mereka berhasil membebaskan manusia dari
penindasan dan penganiyayaan serta kedzaliman.
Do’a Rasulullah yang mengharapkan Umar
Ibnu khaththab masuk Islam, memberi pelajaran kepada kita bahwa da’wah
Islamiyah, dimana saja ia berkembang memerlukan adanya pendukung-pendukung yang
kuat yang mempunyai pengaruh dimata masyarakat sebagai pelindung-pelindung
da’wah. Dan kalaulah yang terbanyak dan pertama kali mengikuti seruan
Rasulullah terdiri dari kaum Mustadh’afiin maka inilah tabi’atnya da’wah dari
para Rasul-rasul Allah semenjak dahulu kala (lihat QS. Hud 26 QS. Al-A’raf 75
dan 137).
Hal
ini karena misi da’wah para Rasul bertujuan untuk membebaskan manusia dari
penghambattan kepada manusia terutama terhadap para penguasa kaumnya (QS.
At-Taubah: 31). Dan adalah wajar apabila orang-orang yang teraniaya dari
kalangan mustad’afiin adalah orang yang pertama kali harus dibebaskan dari
cengkraman kedzaliman (QS. Al-Qashshash
5).
Perintah Allah agar menyampaikan da’wah kepada kerabat
terdekat berarti bahwa tanggungjawab seorang da’i sebelum keluar rumah untuk
berda’wah hendaklah dimulai dari dirinya, kemudian istri dan anak-anaknya di
rumahnya kemudian keluarga yang terdekat. Atas dasar inilah Rasulullah SAW
pernah mengundang empat puluh lima orang keluarga Bani Hasyim untuk makan di
rumahnya, lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah
telah mengutus aku untuk seluruh ummat manusia dan kepada kalian khususnya, dan
aku menyuruh kepada kamu dengan dua kalimat yang ringan diucapkan dengan lidah
tetapi berat di timbangan yaitu: Bersaksi bahwa tiada ilaah selain Allah dan
aku adalah Rasulullah, dan siapa yang menerima seruanku ini untuk menolongku
dalam menegakkannya” (Lihat Siroh Al-Halabiah 1: 460)
Da’wah Rasulullah SAW pada marhalah ini merupakan suatu
pertarungan pemikiran antara alam pemikiran jahiliyah dengan alam pemikiran
Islam, antara adat-istiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang dengan Islam.
Hal ini terlihat dari ayat-ayat Makkiyah yang pada umumnya mengajak mereka
untuk meninggalkan adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang mereka,
seperti yang tercantum dalam surat Al-Zukhruf 21 - 24.
Begitu pula da’wah pada marhalah ini merupakan suatu
pengolakan politik antara pemimpin Arab yang terdiri dari para kepala suku dan
qabilah dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dari ucapan Rasulullah di
hadapan tokoh-tokoh Quraisy.
“Sesungguhnya Allah
SWT telah memerintahkan kepadaku untuk memberikan peringatan kepada keluargaku
yang terdekat, dan kalianlah orang-orang yang terdekat diantara kaum Quraisy.
Dan aku tidak dapat menolongmu dari sisi Allah di dunia ini dan juga diakhirat nanti, kecuali apabila
kamu mengucapkan ‘Laa ilaaha illa Allah’ maka bersaksikanlah kamu dengan
kalimat ini di sisi tuhanmu, semua orang Arab akan taat kepadamu” (Lihat
Kanzul Umam 1: 277)
Ucapan Rasulullah SAW ini merupakan bahasa diplomasi yang
mengandung makna bahwa kesedihan mereka
untuk menerima da’wah Rasulullah, kesediaan untuk masuk Islam, maka berati
bukan saja akan menjadi pemimpin-pemimpin Quraisy dan kaumnya tetapi juga
pemimpin-pemimpin bangsa Arab dan bahkan menjadi pemimpin-pemimpin dunia. Dan
hal ini telah terbukti bahwa masanya Islam pernah menguasai dunia selama
berabad-abad lamanya.
Walaupun marhalah pembinaan dan pengkaderan telah berpindah
ke marhalah tafa’ul dan kiffah (marhalah interaksi dan
perjuangan), tidak berarti bahwa pembinaan, dan pengkaderan terus dihentikan.
Justru pembinaan danpengkaderan dilakukan secara terang-terangan. Kalau
sebelumnya halaqoh-halaqah atau kelompok-kelompok pengajian diadakan secara
sembunyi-sembunyi di rumah para sahabat dan di Darul Arqam, maka setelah Hamzah
dan Umar bin Khatab masuk Islam, pengajian dilakukan secara terbuka di sekitar
Ka’bah dengan lebih intensif. Tempat pembinaan dan pengkaderan justru dilakukan
di Masjidil Haram sesuai dengan riwayat dari Shuhaib:
“Barang siapa ketika
Umar masuk Islam kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah” (Sirah
Al-Halabiah II: 21)
Dari Anas ra. Beliau berkata:
“Apabila mereka
selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok membaca Al-Quran dan
mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang sunnah.” (Lihat Majmauz Zawaid
I: 32).
Marhalah ini berjalan selama sepuluh tahun lamanya dan
rumah Rasulullah menjadi pusat perhatian pengikut-pengikut beliau, tempat
mereka menimpa ilmu dan menerima wahyu Allah yang turun kepada Nabi. Darul
Arqam sebagai pusat pembinaan dan pengkaderan ummat, dilaksanakan lebih selektif, intensif dan kontinu
dengan memilih orang-orang yang dianggap cocok dan mampu mengemban da’wah.
Pengetahuan yang mereka peroleh dari Rasulullah SAW tidak
hanya berkisar hanya kepada masalah Aqidah, akan tetapi lebih luas lagi
menyangkut masalah ekonomi, sosial, hukum pidana, nasib kaum dhua’fa, fukara’ dan masakin dan
sebagainya. (Lihat QS. Ar-Ruum: 39, tentang Riba, Al-Isra: 35; Al-An-aam: 152
hukum pidana; Al-Ma’uun dan Al-An’aam: 152 tentang anak yatim dan lainnya).
Da’wah Rasulullah semakin gencar, ruang lingkupnya semakin
luas, sasarannya lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok jamaah di
tempat-tempat yang ramai seperti pasar di musim haji, di Ka’bah tempat orang
melakukan thawat dan lain-lainnya.
Lebih dari empat belas qabilah yang berada di sekitar
Makkah didatangi oleh Rasulullah dan hal ini menimbulkan kekhawatiran
dikalangan Quraisy terutama jika diantara qabilah itu ada yang menerima da’wah
Rasulullah SAW dan berdiri mendukung Rasul serta mengadakan perlawanan terhadap
kaum Quraisy. Hal ini akan merusak citra mereka di mata masyarakat Arab,
terlebih lagi apabila kepercayaan agama nenek moyang serta budaya mereka dihina
atau dicaci maki. Oleh karena itu mereka mengutus Walid bin Mughirah, Ash bin
Wailli, Aswad bin Muthalib dan Umayya bin Khalaf menghadap Rasulullah SAW dan
menawarkan kerjasama dalam beragama, yaitu kaum Quraisy akan menyembah apa yang
disembah kaum Muslimin, akan tetapi kaum Muslimin pun harus menyembah apa yang
disembah kaum Quraisy. Maka turunlah wahyu Allah sebagai penolakan atas tawaran
ini, serta Rasulullah membacakan surat Al-Kafirun (Siroh Al-Halabiyah).
Beberapa kali pula mereka mendatangi Abu Thalib agar
bersedia membujuk Rasulullah agar meninggalkan da’wahnya. Mereka menawarkan
hartanya, pangkat, kedudukan, dan wanita cantik, tetapi semua itu ditolak
Rasulullah dengan jawaban:
“Demi Allah!
Sekalipun matahari diletakan di tangan kananku dan rembulan di kiriku, maka aku
tak akan meninggalkan da’wah ini hingga
agama ini tegak atau aku mati karenanya”.
Demikianlah, seorang da’i penegak da’wah, tidak selayaknya
mencampur adukan antara haq dan bathil, pantang menjual aqidah atau
silau oleh bujuk rayu harta benda,
kedudukan dan wanita.
Pada marhalah yang penuh rintangan ini, ruang gerak da’wah
Rasulullah di Makkah semakin sempit dan dihalangi kaum Quraisy, lebih-lebih
setelah meninggalnya Sayyidati Khadijah (istrinya) dan Abu Thalib (pamannya).
Dua orang inilah yang setia dan gigih melindungi dan menyokong da’wah beliau.
Kemudian Rasulullah berusaha mencari pendukung di kota Thaif, tetapi tidak
berhasil bahkan disampaikan dengan penghinaan dan penganiayaan fisik.
Tahun-tahun tersebut merupakan saat paling sulit bagi Rosulullah dan para
pengikutnya. Kemanapun Rasulullah pergi selalu diikuti oleh Abu Lahab dan
kawan-kawannya yang selalu mengatakan kepada kaum yang didatangi Rasulullah,
bahwa beliau adalah seorang pendusta dan pembohong yang ingin mengubah agama
nenek moyang mereka. Hal ini menyebabkan sering Rasulullah menyendiri,
mengadukan persoalannya kepada Allah SWT sampai beliau menjalani Isro dan
Mi’raj, menumbuhkan kembali kekuatan ke dalam dirinya, bahkan kekuasaan Allah
meliputi segala sesuatu.
Suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan orang
dari suku Aus dan Khajraj dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini
digunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan da’wah. Ketika rombongan ini
mendengar ajakan Rasulullah SAW, satu sama lain saling berpandangan sambil
berkata:
“Demi Allah, dia ini
seorang nabi seperti yang dianjurkan orang-orang Yahudi kepada kami.”
Kemudian mereka menerima da’wah Rasulullah SAW sambil
berkata ;
“Kami tinggalkan kaum
kami disana dan tidak ada pertentangan serta permusuhan antara kaum kami dengan
kaum yang lain, mudah-mudahan Allah SWT mempertemukan mereka denganmu. Kami
akan sampaikan berita ini kepada mereka. Dan bila Allah mempertemukan mereka
denganmu dan menerima da’wahmu, maka tidak ada lagi orang yang paling mulia
darimu” (Sirah Ibnu Hisyam I: 428)
Tahun kedua belas kenabian, dua belas orang dari Madinah
datang dan masuk Islam. Mereka membai’at Rasulullah SAW yang isinya:
“Tidak menyekutukan
Allah, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak kecil, tidak
berbohong serta tidak menentang Rasulullah dalam perbuatan ma’ruf.”(HR
Bukhari).
Bai’at ini selanjutnya terkenal dengan sebutan Bai’at
Aqabah I
Sekembalinya mereka dari haji, Rasulullah mengutus seorang
sahabat bernama Mush’ab bin Umair bersama mereka ke Madinah untuk mengajarkan
Al-Quran dan hukum agama. Karena semakin banyak penduduk Madinah yang masuk
Islam maka Mush’ab bin Umair mengirimkan surat kepada Rasulullah SAW di Makkah
tentang keinginannya untuk mengumpulkan
mereka seperti kebiasaan penduduk Yahudi yang mengumpulkan anak dan istrinya
pada hari sabtu (Hari Sabbath). Rasulullah memberi izin tetapi dilakukan hari
Jum’at dan memerintahkan shalat dua rakaat (Sirah Al-Halabiyah II: 168).
Dengan demikian, Mush’ab bin Umair adalah orang pertama
yang melakukan shalat Jum’at di Madinah, walaupun pada waktu itu belum
difardukan kepada ummat Islam, kecuali sesudah Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Musim haji berikutnya, tahun ketigabelas kenabian, Mush’ab
bin Umair kembali ke Makkah bersama tujuh puluh lima orang Islam. Dua diantaranya adalah wanita dan mereka mengadakan baiat
kepada Rasulullah SAW. Baiat ini dinamakan Bai’atul Aqabah II.
Isi Bai’at Aqabah II ini pada dasarnya tidak berbeda dengan
yang pertama, yaitu mereka akan tetap berpegang teguh kepada Islam dan berjanji
untuk patuh dan taat dengan ikhlas kepada Allah serta meninggalkan
larangan-Nya. Namun demikian ada sedikit perbedaan diantara keduanya. Pada
Bai’at Aqabah I tidak ada isyarat jihad, sedangkan pada Bai’atul Aqabah II
mengandung isyarat tegas tentang kesediaan mereka untuk berjihad dan membela
Rasulullah SAW dengan jalan apapun, dalam rangka da’wah ilAllah, Selesai
melakukan bai’at Rasulullah menunjuk dua belas orang untuk bertindak sebagai
pimpinan masing-masing qabilah mereka. Abbas bin Ubadah salah seorang dari
mereka berkata pada Rasulullah:
“Demi Allah yang
mengutusmu dengan benar, bila engkau mengizinkan, kami akan perangi penduduk
Mina besok pagi dengan pedang-pedang kami”.
Jawab Rasulullah:
“Kita belum
diperintahkan untuk itu, dan lebih baik kembalilah ke kendaranmu masing-masing.”
(Sirah Al-Halabiyah II: 176).
Jelas bahwa sebelum hijrah ke Madinah dan membangun daulah
di sana, kewajiban jihad dalam Islam belum diperintahkan. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa da’wah Rasulullah dalam periode Makkah adalah da’wah
dalam rangka memperkenalkan Islam melalui da’wah fikriyah kemudian membina
ummat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan untuk kemudian hijrah Islamiyah
serta mengumumkan perang kepda orang-orang yang menentang da’wah Islam.
Berdasarkan kajian yang mendalam
terhadap langkah da’wah Rasulullah di Makkah ini, terdapat diketahui bahwa
dalil-dalil yang mendasari thariqah da’wah Rasul, mewajibkan seluruh kaum
Muslimin saat ini untuk mencontohnya.
Periode Da’wah di Madinah
Da’wah di Madinah telah tersebar selama dua tahun
sebelum Rasulullah SAW hijrah ke sana. Awalnya adalah berimannya tujuh penduduk
Madinah yang sengaja dijumpai Rasulullah ketika musim haji di Mina. Tahun
berikutnya datang dua belas orang lagi yang mengadakan Tahun berikutnya datang
dua belas orang lagi yang mengadakan Bai’atul aqabah I, lalu disusul
orang-orang Madinah mengadakan Bai’atul aqabah II dalam jumlah yang besar,
yaitu tujuh puluh lima orang sebagaimana diuraikan tadi. Kesediaaan penduduk Madinah menerima kedatangan
Rasulullah dan menyerahkan segala urusan kepada beliau, merupakan awal
tumbuhnya benih Khilafah Islamiyah. Beliau memerintahkan pengikut-pengikutnya
berhijrah terlebih dahulu ke Madinah yang kemudian diikuti beliau dan Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
Hijrahnya kaum Muslimin ke Madinah adalah sebagai awal mula
marhalah da’wah ketiga, yaitu marhlah Tathbiq
Ahkaamul Islam (inilah periode pelaksanaan Syariat Islam) dengan
diproklamirkannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana Hukum Islam dan sebagai
pengemban risalah da’wah kesegenap penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah.
a.
Membangun Masjid
Tugas pertama yang dilakukan Rasulullah SAW di
Madinah adalah membangun masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam, tempat
shalat tempat bermusyawarah tempat belajar-mengajar, tempat mengatur strategi
da’wah dan Jihad juga tempat menyelesaikan segala bentuk perselisihan dan
sengketa. Masjid juga menjadi menjadi tempat pelepasan para prajurit ke medan
jihad dan tempat menyelesaikan semua urusan umat yang menyangkut ekonomi, hukum
dan sebagainya. Pembangunan masjid mempunyai arti yang sangat penting bagi
pembangunan masyarakat Islam yang terdiri dari individu-individu Muslim yang
senantiasa berpegang teguh kepada aqidah dan syariat Islam, pancaran semangat
ke-Islamannya.
Sistem Islam sangat mementingkan ukhuwah Islamiyah
antar sesama warga masyarakat dan ini tidak akan terpenuhi secara maksimal
melainkan dimulai dari masjid, tempat ummat Islam bertemu muka dan bertukar
informasi serta menjalin persaudaraan sehingga lengkaplah dengan sendirinya
tembok-tembok pemisah antara yang kaya dan miskin, warna kulit dan keturunan.
Sistem Islam menghendaki adanya kesamaan dan keadilan bagi seluruh ummat.
Mereka bertemu dalam suatu barisan, berdiri tegak bersama-sama dihadapan Allah
SWT, untuk menghubungkan jiwa, dapat menyingkirkan sifat ananiyah (egoisme) dan saling menanggung atas dasar ukhuwah
Islamiyah yang terbina di mesjid.
b.
Membina Ukhuwah Islamiyah
Tugas kedua yang dilakukan Rasulullah adalah
mempersaudarakan antara Anshar dan Muhajirin. Persaudaraan ini bukan sekedar
slogan kosong tanpa makna, tetapi pesaudaraan yang digambarkan oleh Rasulullah
SAW ibarat satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh tertimpa sakit maka
seluruh tubuhnya merasakan sakit. Persaudaraan yang mendarah daging mengalir
dalam tubuh setiap ummat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk fanatisme,
golongan, suku dan ras. Persaudaraan yang sebenar-benarnya sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah tidak mungkin terwujud tanpa didasari Aqidah Islam dan
melalui masjid, sesuai dengan firman Allah:
“Dan Allah-lah yang
mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman) walaupun kamu membelanjakan
semua kekayaan yang berada di bumi, pasti kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Anfal 63)
Rasulullah mempersaudarakan Bilal yang berkulit hitam dari
Afrika dan Abu Ruwaim Al-Khutsa’mi, Salman Al-Farisi dari Parsi dengan Mush’ab
bin Umair dan lain sebagainya. Pesaudaraan itu sampai batas waris mewarisi
harta bahkan istri (saat itu belum ada larangannya), sebagaimana yang terjadi
antara Sa’ad bin Rabi dari kaum Anshar dengan Abdurrahman bin ‘Auf dari kaum
Muhajirin, sehingga kata Sa’ad bin Rabi:
“Aku adalah orang Anshar
yang paling kaya, inilah hartaku, aku bagikan antara kita berdua. Aku punya dua
istri, kuceraikan seorang dan kawinilah olehmu” (Sirah Al-Halabiyah:
292).
Persaudaraan ini sebelumnya telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW, yakni ketika mempersaudarakan antar sesama kaum muhajirin selama berada di
Makkah. Baru setelah hijrah, kaum Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan di
Madinah. Dengan demikian ikatan ukhuwah Islamiyah bertambah kuatnya apalagi
setelah dinaungi sebuah sistem Islam di bawah kepemimpinan Rasululllah SAW yang
menerapkan sistem Islam.
c.
Menyusun Piagam Perjanjian (Wastiqoh)
Tugas ketiga yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menyusun
piagam perjanjian (watsiqoh). Istilah sekarang disebut undang-undang dasar .
Kitab sejarah Ibnu Hisyam menyebut
sebagai Undang-Undang Negara Pemerintahan Islam pertama. Watsiqoh ini
menyangkut hak dan kewajiban Muslim dan non Muslim yang tinggal di wilayah
kedaulatan Islam, hubungan Daulah dengan masyarakat atau antara masyarakat
dengan Daulah. Dr Musthafa Asy-Syiba’i
dalam bukunya “Siroh Nabawiyyah Duruus
wal Ibrar” mengemukakan pokok-pokok isi watsiqoh tersebut berikut ini:
1.
Persatuan
ummat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras.
2.
Persamaan
hak dan kewajiban bagi seluruh warga masyarakat.
3.
Gotong
royong dalam segala hal yang bukan untuk kedzaliman, dosa dan permusuhan.
4.
Kompak
dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam.
5.
Membangun
suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya.
6.
Melawan
orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya.
7.
Melindungi
orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat
dzalim kepadanya.
8.
Ummat
non Islam bebas melaksanakan agamanya dan tidak boleh dipaksa masuk Islam serta
tidak diganggu harta bendanya.
9.
Ummat
non-Islam harus ambil bagian dalam pembiayaan daulah sebagai ummat Islam.
10. Ummat non Islam harus saling
membantu dengan ummat Islam untuk menolak bahaya yang mengancam negara.
11. Ummat non Islam harus ikut
membiayai perang apabila daulah dalam keadaan perang dengan negara lain.
12. Ummat Islam dan non Islam tidak
boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara.
13. Warga negara bebas keluar masuk
negara selama tidak merugikan negara.
14. Ikatan sesama anggota
masyarakat didasarkan prinsip tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan
tidak atas dosa dan aniaya.
15. Dasar-dasar tersebut ditunjang
oleh dua kekuatan. Kekuatan ruh(spiritual) yang imannya kepada Allah SWT,
keyakinan akan pengawasan dan perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik.
Begitupula ditunjang oleh kekuatan materifisik yaitu kepemimpinan negara yang
dipimpin oleh Rasulullah.
d. Strategi Politik dan Militer
Dalam rangka menyebarkan da’wah Islamiyah ke luar Negeri
Madinah, sekaligus memaklumatkan kepada bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain
mengenai berdirinya Daulah Islamiyah dengan kepala negaranya adalah Rasulullah
SAW sendiri. Maka diambil beberapa langkah lanjutan setelah urusan di dalam
negeri terselesaikan. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.
Mengirim
surat kepada kepala-kepala negara/kerajaan, pimpinan Qabilah/suku yang ada
disekitar jazirah Arab seperti kekaisaran Romawi, Kisra di Persia, Muqauqis di
Mesir dan lain-lain untuk mengajak mereka memeluk Islam.
2.
Memaklumatkan
perang kepada orang-orang yang menentang da’wah Islamiyah khususnya kaum Quraisy
di Makkah dengan jalan menghadang kafilah-kafilah dagang yang melewati kota
Madinah dan sekitarnya seperti yang terjadi dalam Perang Badr.
3.
Memerangi
qabilah-qabilah yang mengkhianati perjanjian damai bersama kaum Muslimin
seperti qabilah-qabilah Yahudi yaitu Bani Quraidzhah, Bani Qoinuqo, dan Bani
Nadhir.
4.
Menjadikan
Daulah Islamiyah sebagai sesuatu kekuatan yang disegani dan ditakuti oleh
lawan-lawannya.
Dari contoh langkah da’wah Rasulullah SAW sejak periode
Makkah hingga Madinah, bisa disimpulkan bahwa periode Makkah, beliau lebih
bersikap sebagai seorang Da’i, Mubaligh, Imam dan sekaligus tokoh politik dan
sekaligus pemimpin jama’ah kaum muslimin. Sedang pada periode Madinah, beliau
bukan hanya sebagai seorang Rasul, tetapi juga sebagai kepala negara
pemerintahan Daulah Islamiyah.
Keberhasilan para Da’i penerus risalah da’wah sangat
ditentukan oleh sejauh mana kesetiaannya mengikuti jejak langkah da’wah
Rasulullah mudah-mudahan kita selalu dianugrahi taufiq dan hidayah dari-Nya
dalam menegakkan Islam di bumi Allah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar